Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Damai Pedakwah Nusantara

DARI berbagai penjuru, sebelas ulama berdakwah ke sejumlah wilayah Nusantara. Menghadapi berbagai tantangan, seperti ganasnya ombak dan keterasingan di wilayah baru, mereka menyebarkan Islam. Dengan ilmu dan kearifan, mereka merangkul masyarakat yang tak satu kepercayaan. Seperti para wali yang menjadi pendahulunya, mereka menyebarkan Islam yang damai dan penuh welas asih.

23 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Liputan Khusus Wali Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tak hanya di Pulau Jawa, sejumlah tokoh menyebarkan Islam di berbagai wilayah Nusantara.

  • Mereka membawa pesan toleransi dan tidak menggunakan kekerasan.

  • Karya mereka masih terlihat hingga sekarang.

MEMEGANG otoritas tertinggi di bidang hukum dan agama di Kesultanan Aceh sekitar 1660-an, Abdurrauf al-Singkili menghadapi perkara pelik. Ia harus menghentikan konflik antar-kaum muslim yang membuat Serambi Mekah banjir darah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kala itu, para pengikut Syekh Nuruddin ar-Raniri memburu penganut paham Wahdatul Wujud yang dipimpin Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin al-Sumatrani. Nuruddin dan pendukungnya menuding penganut Wahdatul Wujud sebagai kaum sesat yang harus bertobat. Karya-karya Hamzah Fansuri dibakar, cucuran darah pengikutnya dianggap halal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti ditulis guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Oman Faturrahman, dalam artikel berjudul “Ulama Santun dari Serambi Mekah”, Abdurrauf yang kerap dipanggil Syiah Kuala tidak menggunakan kalimat tajam atau menghakimi. Meskipun bisa, ia memilih tidak menggunakan otoritasnya untuk memberi perintah yang harus ditaati. “Abdurrauf meminta agar semua kubu tidak sembarangan menuduh orang atau kelompok lain sesat dan kafir,” tertulis dalam artikel tersebut. Konflik panjang selama lebih dari 20 tahun itu berakhir.

Makam Datuk Ri Tiro di Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, 13 Mei lalu. TEMPO/Didit Hariyadi

Pembaca, pada pengujung Ramadan 2020 Tempo membuat liputan khusus tentang para tokoh Islam di Nusantara yang memiliki kearifan seperti Abdurrauf al-Singkili. Kisah mereka menjadi penting dengan kondisi intoleransi yang kian tinggi di negeri ini. Sigi Lembaga Survei Indonesia yang digelar pada September 2019, misalnya, menunjukkan sekitar 53 persen dari 1.550 responden menolak pembangunan rumah ibadah agama lain di daerahnya. Sekitar sepertiga di antaranya bahkan meminta pemeluk agama lain mengikuti kemauan umat Islam.

Di tengah intoleransi yang kian tak malu menunjukkan diri, rasanya perlu kita melihat kembali berbagai cerita yang menunjukkan bahwa Islam—tentu juga agama lain—pada dasarnya mengajarkan kasih dan damai. Termasuk juga terhadap mereka yang tidak memeluknya. Justru tanpa kekerasan, agama apa pun menjadi lebih mudah diterima, dijalankan, bahkan dinikmati.

Pada pertengahan April lalu, awak redaksi majalah ini berdiskusi untuk mengangkat cerita para tokoh yang menyebarkan Islam dengan jalan damai pada masa lampau, terutama setelah era Wali Sanga berlalu. Bagaimanapun, penyebaran agama tak akan pernah berhenti meski tokoh sentral telah mangkat. Akan ada tokoh baru yang mampu menumbuhkan nilai keislaman di wilayahnya. Dengan tingkat keilmuan yang dalam dan pendekatan yang humanis, mungkin juga disertai karamah, dakwah mereka tentu membawa manfaat untuk masyarakat di wilayahnya.

Menelusuri jejak tersembunyi para ulama itu, kami menggelar riset dan membaca sejumlah literatur. Setelah mendapatkan sejumlah nama, tim liputan khusus berdiskusi dengan para guru besar dan peneliti tokoh-tokoh Islam. Mereka adalah guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra dan Jajat Burhanuddin, serta Muhammad Adlin Sila, yang menjadi peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama. Kami juga berdiskusi dengan George Quinn, dosen di The Australian National University.

Dari diskusi tersebut, kami mendapatkan berbagai informasi dan data tambahan soal tokoh-tokoh setelah era Wali Sanga. Jajat Burhanuddin, misalnya, menyebutkan bahwa di berbagai daerah ada banyak gelar dan panggilan untuk mereka yang dianggap sebagai wali. “Menelusuri soal ulama di Nusantara ini bagus untuk menunjukkan bahwa para wali itu sebenarnya tak hanya ada di Pulau Jawa,” kata Jajat pada Senin, 11 Mei lalu.

Muhammad Adlin Sila mencetuskan empat nama yang berperan dalam penyebaran Islam di wilayah timur Indonesia. Sedangkan George Quinn, penulis Bandit Saints of Java yang belasan tahun berkeliling ke makam-makam keramat di Pulau Jawa, merekomendasikan seorang perempuan, Zainab, yang ikut menyebarkan Islam. Hasilnya, kami memperoleh sebelas ulama yang warisan budaya dan nilainya masih terlihat hingga sekarang.

Dari Sulawesi, ada Syekh Yusuf al-Makassari. Tak hanya di Sulawesi, ia menyebarkan Islam di Banten dan di luar negeri. Sebelum Syekh Yusuf, tiga datuk asal Aceh, yaitu Datuk ri Bandang, Datuk ri Pattimang, dan Datuk ri Tiro, lebih dulu masuk ke Sulawesi dan mengislamkan raja-raja di wilayah itu. Di ujung Sumatera, Syekh Abdurrauf al-Singkili menjadi ulama pertama yang menerjemahkan Al-Quran ke bahasa Melayu. Toleransinya teruji dengan tak mempersoalkan kepemimpinan perempuan di Kesultanan Aceh.

Dua murid Abdurrauf, Burhanuddin Ulakan dan Abdul Muhyi, meneruskan jejak sang guru. Syekh Burhanuddin mampu mengislamkan Kerajaan Pagaruyung. Para penerusnya rutin menggelar rangkaian zikir, tahlil, dan tahmid hingga sekarang. Sedangkan Syekh Haji Abdul Muhyi tak hanya menyebarkan agama, tapi juga mengenalkan metode bercocok tanam kepada penduduk Tasikmalaya dan sekitarnya.

KH Tubagus Muhammad Falak di Pesantren Pagentongan, Bogor, sekitar tahun 1960an. Dok. Keluarga

Dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang memodernisasi metode islamisasi. Ia menulis sejumlah kitab berbahasa Melayu yang masih dipakai sampai sekarang. Tokoh lain yang berada di periode paling muda adalah Tubagus Muhammad Falak bin Abbas dari Pagentongan, Bogor, Jawa Barat. Ia menjadi guru dari sejumlah pendiri organisasi keislaman di Indonesia.

Cucu Sunan Giri dan Raja Giri IV, Sunan Prapen, juga ikut menyebarkan Islam hingga ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sedangkan Waliyah Zainab menjadi satu-satunya ulama perempuan yang mendirikan masjid pertama di Pulau Bawean. Hingga sekarang, pengikutnya masih ada di wilayah itu.

Kami lalu menyebar wartawan dan koresponden ke berbagai wilayah untuk menelusuri jejak mereka. Dalam kondisi pandemi, ada sejumlah kesulitan yang harus dihadapi. Menjangkau Bawean, misalnya, sulit dilakukan karena Pemerintah Kabupaten Gresik melarang kapal berlayar menuju pulau tersebut setelah Jawa Timur memberlakukan pembatasan sosial berskala besar.

Kesulitan lain adalah menemukan lukisan wajah para ulama tersebut. Pada masanya, hampir semua tokoh itu tak terekam foto. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tomy Christomy, yang menyusun disertasi tentang Syekh Abdul Muhyi, bercerita, ia tak menemukan satu pun gambar wajah ulama tersebut. Ia juga ragu terhadap gambar-gambar sejumlah ulama masa lampau yang beredar di masyarakat. “Foto Wali Sanga yang selama ini ada juga hanya imajinasi,” ujarnya.

Kami tak menihilkan adanya ulama lain yang juga membawa pesan damai dan kasih tapi luput dari pantauan. Dakwah mereka tentu ikut memperbesar nama Islam di Nusantara. Kami berharap kisah mereka yang tertulis pada edisi ini bisa bermanfaat untuk memaknai kembali nilai keislaman yang tidak saling menghujat dan menganiaya, tapi mendekatkan kita kepada Pencipta.


 

• Penanggung jawab: Stefanus Pramono, Kurniawan
Kepala proyek: Mustafa Silalahi, Abdul Manan
Penulis: Abdul Manan, Agung Sedayu, Febriyanti, Hussein Abri Dongoran, Khairul Anam, Kukuh S. Wibowo, Linda Trianita, Mustafa Silalahi, Riky Ferdianto
Penyunting: Agoeng Wijaya, Anton Septian, Bagja Hidayat, Kurniawan, Stefanus Pramono
Penyumbang bahan: Abdul Latif Apriaman (Mataram), Akhyar M. Nur (Bima), Didit Hariyadi (Makassar), Febriyanti (Padang), Iil Askar Mondza (Aceh), Irwanda Saputra (Padang), Iqbal T. Lazuardi (Bandung), Kukuh S. Wibowo (Gresik), Muhammad Robby (Banjarmasin), Nurhadi (Gresik), Shinta Maharani (Yogyakarta)
Ilustrator: Imam Yunni
Periset foto: Ratih Purnama Ningsih (koordinator), Jati Mahatmaji, Gunawan Wicaksono
Penyunting bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Desainer: Djunaedi, Munzir Fadly, Lukmanul Hakim, Kuswoyo

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus