Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari 200 tahun perbudakan membelenggu Afrika Selatan. Hak-hak penduduk berkulit hitam dibatasi, bahkan hanya untuk melintas ke pusat kota. Kondisinya kian mengerikan saat politik apartheid mulai diberlakukan pada 1948, dengan semakin banyaknya warga kulit hitam yang ditahan dan dibuang.
Apartheid memang telah dihapus pada 1990. Namun akibat dari politik segregasi itu masih terlihat di berbagai tempat di Afrika Selatan. Sebagian warga kulit hitam pun masih hidup dalam kemiskinan. Pada November 2017, wartawan Tempo Stefanus Pramono menelusuri jejak-jejak apartheid di sejumlah tempat di Johannesburg dan Cape Town.
JESTER tak pernah berhenti ditampar gelombang. Berlayar dari Victoria & Alfred Waterfront, Cape Town, Afrika Selatan, Rabu keempat November tahun lalu, feri dua tingkat dengan kapasitas sekitar 300 penumpang itu melanting-lanting saat ombak menepuknya.
Hari itu seharusnya masih musim panas di Afrika Selatan. Langit masih biru dan menjadi latar yang mempercantik guratan Gunung Meja (Table Mountain). Tapi matahari justru tak terik meski sudah lewat pukul sembilan pagi. Sebagai gantinya, angin laut nan dingin terus merambah ke seluruh penjuru kapal.
Sebelum kapal melaut, seorang petugas meminta semua penumpang memperhatikan cara menggunakan pelampung. "Semoga kita tak perlu menggunakannya," kata si petugas. Para penumpang yang tak tahu kondisi laut tertawa. Tawa itu tak lagi muncul sepuluh menit kemudian.
Ke Robben Island, Jester melaju. Menjadi tempat pembuangan tahanan politik Afrika Selatan pada masa apartheid-politik pemisahan penduduk berdasarkan warna kulit dengan kaum negro berada di posisi terbawah dan diperbudak-pulau itu menjadi salah satu tujuan favorit para turis asing. Jaraknya sebenarnya tak sampai 7 kilometer dari Cape Town. Namun ganasnya laut dan cuaca buruk membuat Robben ditutup untuk umum sehari sebelumnya. Tak terbayang bagaimana para narapidana Afrika Selatan dikirim ke pulau itu pada masa lalu dengan kapal yang lebih kecil.
Sedikit demi sedikit, dataran Pulau Robben yang berluas sekitar 500 hektare kian berwujud. Pasir putih menghampar di sepanjang pantai. Pepohonan dan semak-semak lebat yang menghijau terlihat jelas saat kapal berlabuh. Begitu juga tembok-tembok penjara yang tersusun dari batu. Sekilas, pulau terisolasi ini mirip Alcatraz di Teluk San Francisco, Amerika Serikat, yang memiliki penjara dengan keamanan tingkat tinggi yang tersohor.
Di pulau inilah Nelson Rolihlahla Mandela menghabiskan 18 tahun hidupnya atau dua pertiga masa tahanannya selama 27 tahun. Di pulau ini pula ditahan dua narapidana yang kemudian menjadi Presiden Afrika Selatan setelah Mandela: Kgalema Motlanthe dan Jacob Zuma.
Mandela dalam autobiografinya, Long Walk to Freedom, buku yang mulai ditulis secara sembunyi-sembunyi saat ditahan di Robben, menyebutkan masa penahanannya di pulau itu sebagai tahun-tahun kegelapan. Ketika kembali ke pulau ini-dia sempat ditahan sementara pada 1963-pada Juni 1964, Mandela berjumpa dengan para sipir berkulit putih. Mereka berteriak, "Inilah pulaunya. Di sinilah kalian akan mati."
ITUMELENG Makwela, 52 tahun, mengenang tujuh tahun di Pulau Robben sebagai masa terkelam dalam hidupnya. Dia ditahan polisi pada 1982 karena terlibat dalam Tombak Bangsa, gerakan bersenjata dari African National Congress (ANC), partai yang didirikan pada 1912 oleh golongan kulit hitam. Selama dipenjara, Makwela kerap disiksa. Pernah dia ditelanjangi, tangan dan kakinya diikat di kursi, lalu disetrum.
Setahun kemudian, pada usia 18 tahun, Makwela dikirim ke Robben dan ditahan di Blok F, yang berupa barak. Tak ada ranjang dan bantal, hanya dua lapis selimut berbahan seperti karung. "Kami harus tidur di lantai. Saat musim dingin, lantai menjadi jauh lebih dingin," ujarnya. Tiada pula nama Itumeleng Makwela. Yang ada hanya nomor tahanan. "Kami selalu dipanggil dengan nomor, bukan nama," kata pria berkepala plontos yang menjadi pemandu di dalam penjara ini.
Nelson Mandela, misalnya, mendapat nomor 466/64, yang berarti dia menjadi tahanan ke-466 yang masuk pada 1964. Ditahan di blok B nomor 5, Mandela yang dihukum seumur hidup mendapat ruang khusus. Kamarnya hanya 2 x 2 meter, juga tanpa ranjang. Hingga kini, kamar dengan pintu dan dua jendela berjeruji itu tertata rapi.
Kamar itu nihil air bersih dan toilet. Dalam autobiografinya, Mandela menulis, jika para tahanan sudah masuk sel pada pukul delapan malam, aktivitas buang hajat dilakukan di dalam kamar dengan ember keramik sebagai wadah. Barulah pada pagi hari para narapidana membersihkan isi ember tersebut.
Menurut Makwela, perlakuan terhadap tahanan kulit hitam sangat berbeda dibanding napi berkulit putih-biasanya ditahan di Robben karena kasus kriminalitas berat. Kulit hitam hanya mendapat sarapan dua potong roti. Siang menjelang sore, mereka mendapat sup dan roti. Tak ada makan malam. Kadang kala mereka hanya makan tepung yang dicampur air. Sedangkan kulit putih bisa makan lebih banyak dengan lauk daging.
Para tahanan kulit hitam menjalani kerja paksa mulai pukul tujuh hingga sore hari. Sebagian di antaranya, termasuk Mandela, bekerja di tambang batu kapur sambil diawasi sipir bersenjata. Mereka dijemur di bawah matahari, kadang suhunya bisa mencapai lebih dari 40 derajat Celsius, dan nyaris tak diberi air. "Banyak yang mati karena tak kuat," ujar Tabo, pemandu yang membawa rombongan turis ke lokasi penambangan.
Bukan hanya tubuh yang disiksa, mata pun merasakannya. Mandela bercerita dalam bukunya, sinar matahari terpantul langsung ke mata melalui batu kapur. Debu akibat penambangan dan cahaya itu membuat matanya berair. Setelah dibebaskan dari penjara pada 1990, Mandela dalam konferensi pers meminta wartawan tak menggunakan lampu kilat saat memotretnya. Matanya tak lagi kuat berhadapan dengan cahaya benderang.
Itumeleng Makwela beruntung. Dua tahun di Robben, dia dipindahkan ke bagian dapur untuk memasak makanan. "Tapi banyak teman saya yang tak beruntung dan mati," kata pria yang dibesarkan di Cape Town itu. Tahun 1990, bersama para pejuang kebebasan Afrika Selatan lainnya, dia bebas.
Sempat bekerja di partai yang dibelanya, ANC, Makwela belakangan memilih mundur. Dia menilai sejumlah koleganya di partai telah berkuasa dan menjadi kaya tanpa peduli kepada mereka yang menjadi korban apartheid. Makwela kini tinggal di Robben sebagai pemandu tur. "Sampai sekarang masih ada keluarga narapidana yang datang untuk mencari kuburannya. Kebanyakan tidak berhasil menemukan," ujarnya.
SEJARAH menunjukkan Robben bukan sekadar tempat pembuangan. Diambil dari bahasa Belanda "Robbeneiland" yang berarti pulau anjing laut, Robben juga menjadi tempat penghabisan napas. Jauh sebelum napi politik Afrika Selatan dibuang ke sini, Robben sudah menjadi tempat penahanan para pelaut yang memberontak pada abad ke-15.
Kala Belanda bercokol di Cape Town pada 1652-1800, banyak tahanan politik di negeri jajahan dibuang ke sini, termasuk dari Nusantara. Situs resmi Pulau Robben menyebutkan salah satunya adalah Pangeran Chakraningrat IV asal Madura, yang meninggal di sana pada 1754. Chakraningrat IV memberontak terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kini, di Robben, terdapat situs keramat untuk mengenang Chakraningrat.
Buku Robben Island karya jurnalis Afrika Selatan, Charlene Smith, menyebutkan Raja Bolaang Mongondow, Eugenius Manoppo, juga mendekam di pulau itu. Ada pula nama Yusuf Abdul Mahasin Tajul Khalwati asal Sulawesi Selatan. Syekh Yusuf dibuang karena membantu Kesultanan Banten melawan VOC.
Kepala Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada Sri Margana, yang kerap meneliti sejarah Indonesia masa VOC, membenarkan kabar bahwa banyak orang Indonesia dikirim ke Afrika Selatan, termasuk ke Robben, karena dianggap memberontak. "Afrika Selatan dipilih agar para tahanan asal Indonesia tak bisa kembali ke Tanah Air," kata Margana.
Belakangan, pulau ini diperuntukkan bagi penderita sakit yang tak tersembuhkan hingga tahun 1931. "Mereka yang sakit mental, kanker, dan terkena lepra dibuang ke pulau ini," ujar Tabo, pemandu wisata setempat. Tak sampai 1 kilometer dari gerbang masuk pulau, terdapat permakaman khusus penderita lepra. Ada lebih dari 300 nisan muslim dan Kristen di kompleks berpagar tersebut. Sebagian besar nisan sudah rusak dan tak kokoh menancap di tanah. Nama yang tertoreh di sana pun tak terbaca lagi.
PULAU Robben bukan satu-satunya penjara untuk para tahanan politik. Di seantero Afrika Selatan, tersebar berbagai tempat penahanan. Tapi, di Kota Johannesburg, terdapat Bukit Konstitusional yang dianggap sebagai "Pulau Robben di Johannesburg". Di tempat inilah para aktivis anti-apartheid seperti Nelson Mandela dan pengacaranya, Bram Fischer; mantan Presiden ANC, Albert John Lutuli; serta pemimpin Partai Komunis Afrika Selatan, Joe Slovo, dipenjara.
Para tahanan politik dan kulit hitam ditempatkan di kawasan yang disebut sebagai "nomor empat". Sementara Pulau Robben menghasilkan tiga Presiden Afrika Selatan, blok nomor empat menghasilkan dua peraih Nobel Perdamaian, yaitu Lutuli pada 1960 dan Mandela, yang dianugerahi pada 1993. Mandela berbagi penghargaan itu dengan Frederik Willem de Klerk, Presiden Afrika Selatan yang membebaskan Mandela dan menghapus apartheid.
Di Bukit Konstitusional, perempuan penolak perbudakan seperti Albertina Sisulu dan istri Mandela, Winnie Madikizela, juga dipenjara. Pejuang kebebasan di India, Mahatma Gandhi, pun ditahan di tempat yang kini menjadi pengadilan konstitusi Afrika Selatan itu. Patung Gandhi separuh badan kini ditempatkan di dekat salah satu bangunan sel isolasi.
Jejak apartheid masih terlihat di museum ini. Dalam satu sel, perlakuan untuk tahanan kulit putih dan kulit hitam sangat berbeda. Napi berkulit terang bisa mendapatkan ranjang, kasur tipis, bantal, tiga helai selimut, dan seprai. Sedangkan tahanan kulit hitam hanya bisa tidur di lantai keramik dengan dua tikar dan tiga selimut.
Di tempat ini juga sipir berkulit hitam diperlakukan berbeda. Dalam testimoni yang ditempel di salah satu ruangan, Martin Shabangu, sipir yang bekerja pada 1973-1980, menyebutkan gaji sipir kulit hitam lebih rendah. "Saat kami ada di blok nomor empat, rasanya saya sendiri yang menjadi tahanan," tulisnya. Menurut Shabangu, para sipir di penjara itu kerap memeras dan menerima suap dari tahanan. Mereka juga "menjual" tahanan baru ke pemimpin geng di penjara untuk kebutuhan seksual.
Yang terburuk dari semua sel di tempat ini adalah belasan ruangan yang disebut sebagai "emakhulukhuthu" atau lubang dalam dan gelap. Berada di bagian terbelakang dan tertutup tembok rapat, tiap sel isolasi hanya berukuran 1 x 1,5 meter. Nyaris tak ada cahaya masuk ke tempat ini. Narapidana hanya bisa mengintip dari lubang kecil di pintu. Tertulis di papan informasinya: tahanan yang masuk sini harus berada di sel selama 23 jam setiap hari dengan hanya diberi air beras. Beberapa narapidana menghabiskan waktu 30 hari. Tapi ada juga yang dihukum lebih dari setahun.
Di Johannesburg juga terdapat Museum Apartheid, yang menampilkan masa-masa kelam yang dialami warga kulit hitam Afrika Selatan sejak orang Eropa masuk ke wilayah itu. Tertulis di salah satu temboknya: "Sewaktu orang Eropa datang, mereka memiliki Alkitab dan kita memiliki tanah. Setelah itu, kita memiliki Alkitab dan mereka memiliki tanah kita."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo