Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Nazaruddin di Partai Biru

AWALNYA terkesan serba kebetulan, tapi insting tajam jurnalis investigasi dan kegigihan menelusuri semua petunjuk potensial membuat Tempo berhasil mengendus megaskandal korupsi di Partai Demokrat, sebulan sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi meledakkannya ke publik.

Semua bermula lima tahun lalu. Ketika itu, keberuntungan mempertemukan wartawan Tempo dengan tersangka kasus penipuan bernama Daniel Sinambela. Suami Joy Tobing, pemenang adu bakat menyanyi Indonesian Idol perdana, itu dijebloskan ke bui akibat ulah politikus muda dari Partai Demokrat bernama Muhammad Nazaruddin.

Dari balik terali besi, Daniel "bernyanyi". Dia menceritakan kiprah Nazaruddin mengatur pengadaan batu bara untuk PLN dan berbagai proyek yang menggunakan anggaran negara. Berbekal petunjuk awal itu, Tempo mengarahkan radar ke sejumlah proyek yang disebut sebagai ladang korupsi Nazaruddin bersama koleganya di partai dan pemerintahan.

Pada saat bersamaan, KPK juga bergerak. Satu demi satu petinggi Demokrat pun tumbang akibat kasus ini. Dalam Pemilihan Umum 2014, publik menghukum Demokrat dengan telak.

Yang menarik, skandal korupsi Nazaruddin yang telah menyeret begitu banyak elite Demokrat—dari Anas Urbaningrum, Andi Alfian Malarangeng, hingga Angelina Sondakh—belum bisa dinyatakan sepenuhnya berakhir. Catatan keuangan perusahaan Nazaruddin yang salinannya diperoleh Tempo masih menyimpan banyak cerita. Ada sederet nama pejabat publik yang sampai kini belum terungkap.

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Kisah Nazaruddin di Partai Biru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PULUHAN wartawan hanya bisa terpana ketika tiga orang tak dikenal main selonong ke mimbar ruang jumpa pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Tanpa menunggu dipersilakan, satu orang lalu ribut berkoar tentang perlakuan tak adil petugas kepolisian terhadap seseorang bernama Daniel Sinambela itu.

Siang itu, Jumat, 11 Februari 2011. Jurnalis sebenarnya sedang menunggu para komisioner Komnas HAM yang berencana mengumumkan rencana mereka melindungi perekam video penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Setelah menjelaskan duduk perkara pengaduan mereka ke Komnas HAM di hadapan para pewarta, ketiga orang tersebut beringsut meninggalkan ruangan. Sambil berlalu, salah seorang dari mereka—yang belakangan diketahui sebagai Kamaruddin Simanjuntak, pengacara Daniel—tak berhenti cuap-cuap. Beberapa kali nama Joy Tobing keluar dari mulutnya. Begitu juga nama Muhammad Nazaruddin, yang disebut-sebut sebagai petinggi Partai Demokrat.

Ketika itu Setri Yasra, yang magang Redaktur Pelaksana Kompartemen Nasional, tengah duduk anteng di barisan awak media. Pekan ituTempo memang sedang menyiapkan laporan utama tentang peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah yang terjadi sepekan sebelumnya.

Nama Daniel Sinambela tak akrab di telinga Setri. Namun dua nama lain yang disebut Kamaruddin menarik perhatiannya. Siapa tak mengenal Joy Tobing, pemenang kontes bakat menyanyiIndonesian Idolmusim perdana. Adapun Nazaruddin adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sebelumnya ramai diberitakan terlibat dugaan pelecehan seksual seusai Kongres II Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010. Beberapa kali sumberTempojuga menggunjingkan orang yang sama karena pengusaha yang pernah menjadi calon legislator dari Partai Persatuan Pembangunan ini mendadak diangkat sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat.

Mendengar dua nama itu sayup-sayup disebut, Setri bergegas ke luar ruangan menghampiri rombongan Kamaruddin yang sedang bersiap meninggalkan kantor Komnas HAM. Dua orang lain yang bersama Kamaruddin adalah orang tua Daniel Sinambela. Sebulan terakhir Daniel, suami Joy Tobing, dibui di Kepolisian Daerah Metro Jaya atas dugaan penipuan yang dituduhkan Nazaruddin. "Tukar kartu nama deh, Bang, kapan nanti saya kontak," kata Setri mengenang pembicaraan singkatnya dengan Kamaruddin, lima tahun lalu.

Selama dua pekan Setri mengabaikan kartu nama Kamaruddin yang tersimpan di dompetnya. Setelah peristiwa Cikeusik, tim Kompartemen Nasional menyiapkan laporan utama tentang ancaman Front Pembela Islam kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dinilai lamban memutuskan pembubaran Ahmadiyah. Berita politik juga sedang hangat menyusul beredarnya kabar tentang pecahnya Sekretariat Gabungan—koalisi pendukung Yudhoyono.

Hingga tibalah masa paceklik, ketika isu-isu mulai kering. Tak ada lagi berita yang menarik perhatian pada pekan itu. Iseng-iseng, Setri menghubungi Kamaruddin dan mengajaknya bertemu.Bersama Nanda Sugiono, mahasiswa ilmu jurnalistik Universitas Padjadjaran yang baru sepekan magang diTempo, dia pergi ke kantor si pengacara di Jelambar, Jakarta Barat.

Alangkah terkejutnya Setri dan Nanda melihat kantor Kamaruddin yang hanya berupa bangunan kayu di atas tanah sengketa Pertamina. "Alamat kita tidak mendapat bahan apa-apa nih, Nanda," kata Setri sebelum menemui Kamaruddin. Keduanya belum tahu, sampai empat tahun ke depan, sejumlah berita besarTempokelak bakal bermula dari pertemuan siang itu.

* * * *

VOLUME suara Setri yang tinggi meramaikan rapat perencanaan majalah Tempo, awal Maret 2011. Waktu itu awak redaksi masih berkantor di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Dengan bersemangat, Setri mempresentasikan cerita di balik sengketa bisnis Nazaruddin dan Daniel Sinambela, yang mengungkap dugaan adanya kongkalikong dalam tender pengadaan batu bara PT PLN.

Sepekan sebelumnya, dari kantor Kamaruddin, Setri membawa pulang berita acara pemeriksaan Daniel. Di dokumen itu tampak jelas siapa yang melaporkan bos PT Matahari Anugrah Perkasa ini kepada polisi. Adalah Yulianis, bendahara Grup Permai, kelompok usaha milik Nazaruddin, yang mengadukan Daniel ke aparat penegak hukum dengan tuduhan penipuan.

Kepada polisi, Daniel menjelaskan perkongsiannya dengan Nazaruddin dimulai setelah dia diperkenalkan oleh Sutan Bhatoegana, anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi Demokrat. Dia juga mengaku pernah bertemu dengan Nazaruddin, Sutan, dan Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji di Hotel Ambhara, Blok M, Jakarta Selatan. Pertemuan itu, menurut Daniel, membicarakan rencana Matahari Anugrah Perkasa menjadi peserta tender pasokan batu bara PLN.

Budi Setyarso, Redaktur Pelaksana Nasional yang kini menjadi Redaktur Eksekutif Majalah Tempo, masih ingat waktu itu rapat redaksi tertarik karena ada nama Sutan Bhatoegana. Politikus Demokrat ini memang populer karena gaya bicaranya yang jenaka. "Nazaruddin belum dikenal," kata Buset—panggilan Budi Setyarso.

Cerita dalam BAP Daniel cukup detail menguatkan dugaan permainan Nazaruddin dan petinggi Demokrat dalam proyek PLN. Namun rapat redaksi meminta Kompartemen Nasional menghidupkan cerita tersebut langsung dari mulut Daniel. Sepekan itu, diaturlah strategi untuk bertemu dengan Daniel di penjara Polda Metro Jaya. Tujuan itu tercapai setelah Setri, dibantu adik Daniel, masuk ke rumah tahanan mengaku sebagai anggota keluarga yang datang menjenguk.

Di selasar penjara, Daniel menceritakan kasusnya dari awal. Dari wawancara itu pula Tempomengetahui sepak terjang Nazaruddin di banyak permainan proyek pemerintah untuk mendanai Demokrat. Khusus untuk proyek batu bara PLN, Daniel mengungkapkan adanya perjanjian di atas meterai soal pembagian keuntungan: 50 persen untuk partai, 35 persen untuk Nazaruddin, dan 15 persen untukDaniel.

* * * *

UPAYA klarifikasi dugaan kongkalikong proyek PLN kepada Sutan dan Nur Pamudji boleh dibilang tanpa hambatan. Namun menemui Nazaruddin dan Yulianis tak semudah membalik telapak tangan. Keduanya bak lenyap ditelan bumi. Tim pun disebar. Sunudyantoro, redaktur Kompartemen Nasional, bertugas mengejar Nazaruddin. Adapun Nanda Sugiono diperintahkan menemui Yulianis.

Nanda Sugiono teringat ketika suatu pagi Sunudyantoro menyerahkan sepucuk surat. "Berikan ini ke Yulianis. Kalau bertemu, langsung saja wawancara," kata Nanda mengenang perintah Sunudyantoro. Nanda girang karena sebagai awak magang dia akhirnya dipercaya melaksanakan tugas mencari seseorang sebagaimana yang biasa dilakukan wartawan Tempo.

Perasaan antusias Nanda berubah jadi tegang ketika tiba di gedung Tower Permai. Tiga orang petugas keamanan, perawakannya berasal dari Indonesia timur, mendekat dan menanyakan tujuan Nanda. Tak habis akal, Nanda mengaku sebagai kawan lama yang sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan Yulianis.

Tapi respons para penjaga itu justru tak seperti yang diharapkan Nanda. Satu petugas keamanan mencengkeram bahunya dan menggiring Nanda ke luar gedung. Si penjaga menegaskan bahwa tak ada pegawai yang bernama Yulianis di sana. Jantung Nanda berdegup kencang. Ketika terus dicecar, dia akhirnya mengaku bahwa dia wartawanTempoyang diutus menyerahkan surat permohonan wawancara.

Alih-alih meredam emosi para petugas keamanan, pengakuan Nanda malah memancing petugas keamanan lain berdatangan. Meski Nanda pamit dan beranjak pergi, mereka tetap berkerumun di halaman gedung. Ketika Nanda mampir di sebuah warung rokok seberang gedung dan pura-pura membeli sesuatu, para penjaga keamanan itu terus memelototi gerak-geriknya.

Merasa situasi tak kondusif, Nanda menelepon Sunudyantoro, yang akhirnya memerintahkan dia segera kembali ke kantor. "Sepanjang jalan menuju kantor, saya berulang kali berhenti, lihat ke belakang, takut dikuntit," kata Nanda pekan lalu sambil tertawa menceritakan pengalaman tersebut. "Saking takutnya, malam itu saya enggak pulang."

Upaya Sunudyantoro menemui Nazaruddin di kantornya, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, juga tanpa hasil. Dia putar otak dengan menghubungi sejumlah kolega yang bekerja sebagai staf ahli anggota Dewan. Seseorang akhirnya menyebut nama dan nomor telepon seluler Nuril Anwar, anggota staf khusus Nazaruddin di Dewan Perwakilan Rakyat.

Setelah beberapa kali berkomunikasi via pesan pendek, Sunu dan Nuril bertemu di sebuah rumah makan di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Pada akhir pertemuan, Nuril menyodorkangoody bagyang sejak tadi tampak tergeletak di lantai. "Sudahlah, terima saja. Kami tahu bagaimana hidup wartawan. Ini titipan Pak Nazaruddin," kata Sunu menirukan ucapan Nuril. Tanpa tahu isi tas itu, Sunu menolak pemberian Nuril dengan halus.

Belakangan, ketika bertemu dengan Tempo setahun kemudian, Yulianis mengungkapkan tas itu sebenarnya berisi uang Rp 250 juta. Yulianis juga tahu ada seorang anak muda yang mengaku sebagai teman kuliahnya yang mencarinya ketika awal kasus Nazaruddin terungkap. "Saya ada di lobi waktu itu," ujarnya sambil tertawa ketika ditemui di sela-sela sidang Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu dua pekan lalu. "Lagian, pura-pura jadi teman, wongguekagak kenal."

Setelah sepekan mengejar bahan dan merampungkan penulisan, laporan utama majalah Tempo yang pertama kali mengungkap permainan proyek Nazaruddin terbit dengan judul "Bara di Kantong Partai Biru" pada Senin, 13 Maret 2011. Edisiini juga dilengkapi dengan wawancara Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, yang mulai disebut oleh sejumlah sumber di jajaran internal partai sebagai penyokong utama Nazaruddin di lingkaran elite Demokrat.

Sebulan berselang, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap anak buah Nazaruddin lainnya, Mindo Rosalina Manulang. Peran sejumlah nama petinggi Demokrat dalam berbagai proyek pemerintah, yang sebelumnya telah disebut Daniel Sinambela, satu per satu mulai menghiasi cover majalahTempo.


Taktik Kuntit Lalu Salip

Kasus pidana Nazaruddin di KPK mendorong Tempo untuk terus mendalami setiap informasi. Catatan keuangan Grup Permai menjadi puncaknya.

SETELAH laporan utama berjudul "Bara di Kantong Partai Biru" terbit pada 13 Maret 2011, sejumlah awak redaksi majalah Tempo sempat ragu terhadap keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut korupsi petinggi Partai Demokrat. "Maklum, waktu itu Demokrat kan partai penguasa," kata Anton Aprianto, redaktur Kompartemen Nasional, yang lima tahun lalu masih menjadi redaktur magang di Kompartemen Hukum.

Namun keraguan itu tak terbukti. Sebulan kemudian, pada Kamis sore, 21 April 2011, KPK menangkap Mindo Rosalina Manulang, Direktur Pemasaran PT Anak Negeri, yang didirikan Nazaruddin. Penangkapan dilakukan sesaat setelah Mindo menyerahkan duit kepada Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam.

Waktu itu Anton kebagian menulis detail penangkapan Mindo dalam laporan sepanjang lima halaman. Dua di antaranya berupa cerita bergambar. Anton menemukan bahwa suap kepada Wafid ternyata diberikan sebagai komisi pemenangan PT Duta Graha Indah dalam tender pembangunan Wisma Atlet SEA Games XXVI di Jakabaring, Palembang.

Pengakuan Mindo di depan penyidik KPK mengenai keterlibatan Nazaruddin pun tak sulit diperoleh. Kebetulan Mindo sempat menunjuk Kamaruddin Simanjuntak sebagai pengacara yang mendampingi dalam pemeriksaan di KPK.

Kamaruddin bukan orang baru di jejaring narasumber Tempo. Dialah pengacara Daniel Sinambela, rekan bisnis Nazaruddin dalam permainan proyek batu bara PLN, yang sebulan sebelumnya intens berkomunikasi dengan tim Kompartemen Nasional.

Ketika Kompartemen Hukum menulis laporan panjang berisi peristiwa penangkapan Mindo, tim Kompartemen Nasional bergerilya mencari cerita yang lebih dalam. Belakangan, diketahui Mindo sempat ditahan satu sel dengan Daniel di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kamaruddin bilang, Mindo "bernyanyi" di balik jeruji.

Setri Yasra, yang magang Redaktur Pelaksana Kompartemen Nasional, pun kembali menemui Daniel di rumah tahanan Polda Metro seperti dilakukannya saat menulis proyek batu bara PLN. "Sebagian informasi awal liputan Nazaruddin ini memang bermula dari hoki," kata Setri mengenang asal-muasal laporan utama bertajuk "Olah Dana Komisi Olahraga" yang terbit tiga pekan setelah penangkapan Mindo.

Dalam edisi itu terungkap cerita Daniel yang merekonstruksi bagaimana Mindo terus berurai air mata selama di dalam bui. Mindo, kata Daniel, juga berulang kali menyebut keterlibatan politikus Demokrat, Angelina Sondakh, dan politikus PDI Perjuangan, Wayan Koster. Keduanya anggota Komisi Olahraga DPR.

Empat tahun setelah kasus ini menyeruak, pada Desember 2015 Mahkamah Agung menghukum Angelina sepuluh tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara dalam kasus Wisma Atlet Palembang. Sebelumnya, Mahkamah memvonis Nazaruddin tujuh tahun penjara plus denda Rp 300 juta.

* * * *

Sejak membongkar kasus suap proyek Wisma Atlet Palembang lima tahun lalu, KPK terus mengembangkan kasus-kasus korupsi Nazaruddin. Selama itu pula Tempo terus menguntit—sesekali mendahului—penyidikan KPK. Sedikitnya 35 edisi majalah Tempo memuat laporan utama dan laporan panjang tentang kasus ini.

Juru bicara KPK saat itu, Johan Budi Sapto Pribowo, membenarkan bagaimana penyelidik dan penyidik kerap menjadikan pemberitaan media sebagai tambahan informasi. "Kadang-kadang laporan in-depth Tempo bisa dikembangkan KPK," ujar Johan, yang kini menjadi juru bicara Presiden Joko Widodo.

Tak terkecuali ketika Nazaruddin melarikan diri ke Singapura pada pertengahan Mei 2011, sehari sebelum KPK menetapkannya sebagai tersangka. Sebelum Interpol menangkapnya di Cartagena, Kolombia, pada awal Agustus 2011, Nazaruddin berulang kali menebar informasi lewat layanan BlackBerry mengenai adanya aliran dana ke sejumlah politikus Senayan, terutama elite Demokrat.

Nyanyian Nazaruddin selama di pelarian itu melahirkan laporan utama bertajuk "Salak dan Apel dalam Catatan Nazaruddin" pada medio Juli 2011, yang mengungkap dugaan aliran dana ke Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, dan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Sepekan sebelumnya laporan utama "Pistol di Singapura, Peluru di Mampang" terbit, berisi dugaan fulus Nazaruddin ke sejumlah perwira Markas Besar Kepolisian RI.

Belum puas, Budi Setyarso, yang waktu itu menjadi Redaktur Pelaksana Kompartemen Nasional, memerintahkan timnya memperoleh catatan lengkap keuangan Grup Permai. Yulianis menjadi target utama karena Nazar sempat menyebut perempuan itu sebagai pencatat keluar-masuknya duit perusahaan.

Seluruh sumber daya Tempo dikerahkan, tak terkecuali Kompartemen Nasional Koran Tempo, yang sejak awal menggeber kasus ini dalam berita harian. Dibantu Rusman Paraqbueq, reporter yang saban hari ngepos di kantor KPK di Kuningan, anggota staf redaksi Anton Septian berupaya mendekati sejumlah narasumber di KPK. Mereka juga memanfaatkan kondisi psikis anak buah Nazaruddin yang tertekan akibat kasus ini, untuk mengorek informasi tentang keberadaan catatan tersebut.

Setelah setengah tahun, diselingi tujuh edisi pernak-pernik kasus Nazaruddin, pencarian terhadap catatan keuangan Nazaruddin mulai berbuah pada awal 2012. Dari seorang anak buah Nazaruddin, Anton Septian menerima catatan keuangan bagian pertama Grup Permai. Belakangan, seorang sumber lain mengirim pesan ke e-mail pribadi Setri Yasra dengan kode "Rendang", yang berisi catatan keuangan bagian kedua.

Dari catatan-catatan itulah terungkap betapa besar bisnis Grup Permai milik Nazaruddin, yang mengendalikan 37 perusahaan dengan keuntungan Rp 1,4 triliun setahun. Catatan pengeluaran juga merekam luasnya jejaring proyek pemerintah yang dikuasai Nazaruddin. Setiap proyek diembel-embeli "biaya support" alias sogokan kepada mantan menteri, anggota DPR, direktur badan usaha milik negara, hingga kepala daerah.

Dua laporan utama Tempo pada Februari 2012, yakni "Brankas Mengalir Sampai Jauh" dan "Jeger Proyek Ceger", merangkum temuan itu. Catatan yang sama juga mengkonfirmasi pengakuan Nazaruddin tentang adanya aliran dana hasil sejumlah proyek dalam Kongres II Partai Demokrat di Bandung pada Mei 2010.

Setelah beberapa pekan Tempo membongkar catatan tersebut, Yulianis, yang semula tak tersentuh, akhirnya melunak. Perempuan yang selalu bercadar ketika muncul di depan publik ini mau ditemui Tempo di sebuah mal di Jakarta Selatan. Yulianis enggan membenarkan tapi juga tak membantah kebenaran catatan keuangan Grup Permai yang dimiliki Tempo. "Dia hanya menjawab semua catatan itu sudah di tangan KPK," kata Anton Septian, yang kini menjadi redaktur Pusat Peliputan Tempo.

Yulianis mengaku bersedia bertemu dengan Tempo setelah aliran dana ke sejumlah perwira tinggi Polri terungkap. Karena ketakutan, dia sempat memprotes ke KPK karena dokumen catatan keuangan Grup Permai yang dia sampaikan justru bocor ke media. "Waduh, itu kan Bareskrim," kata Yulianis, menirukan ucapan KPK, ketika ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu dua pekan lalu.

Siang itu Yulianis kembali menjadi saksi kasus Nazaruddin, yang didakwa menerima hadiah Rp 40 miliar dari dua kontraktor: PT Nindya Karya dan PT Duta Graha lndah. Nazaruddin juga didakwa dengan dugaan pidana pencucian uang senilai Rp 711,45 miliar selama 2009-2014.

Di persidangan, Nazaruddin bertanya kepada mantan anak buahnya itu tentang aliran duit untuk membiayai Kongres Demokrat. "Katanya ada US$ 3 juta dan US$ 2 juta, itu dari mana?" ujarnya. Tanpa ragu Yulianis menjawab, total dana senilai Rp 293 miliar untuk suksesi Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat diserahkan lewat Aan Ikhyauddin dan Iwan, sopir Nazaruddin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus