Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manuver Komandan Baret Merah
Menguasai pasukan khusus, Sarwo Edhie bergerak cepat mengendalikan Jakarta. Dimanfaatkan Soeharto melibas Gerakan 30 September.
PAGI masih gelap. Lampu jalan menyala temaram. Kristiani Herrawati sedang mengerjakan tugasnya, menyapu ruang tamu. Ketukan keras mengejutkan remaja sekolah menengah pertama itu. Karena tak mendapat sahutan, sang tamu menggedor. Dengan hati-hati, Kristiani membuka pintu. Seorang pria berdiri tegak. "Ada Papi?" suara lelaki itu bergetar menanyakan ayahnya, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit, Ani—panggilan Kristiani—menggambarkan situasi Jumat pagi, 1 Oktober 1965, itu penuh teka-teki. Ia mengenal lelaki itu, Mayor Subardi. Ketika Ani mempersilakannya duduk di teras, ajudan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani itu malah menerobos ke ruang tamu. Sunarti Sri Hadiyah, ibu Ani, kemudian memanggil suaminya, yang sedang di kamar.
Masih mengenakan piama, Sarwo menemui Subardi. Sambil menangis, sang Mayor menceritakan musibah yang menimpa Jenderal Yani. Menurut Subardi, atasannya ditembak dan dibawa sekelompok tentara menjelang subuh. "Ia minta agar saya mencari Pak Yani," kata Sarwo dalam wawancara dengan Tempo pada Oktober 1978.
Subardi ke Cijantung setelah melapor ke Panglima Daerah Militer Jakarta Raya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah. Ia disarankan mengabari Sarwo sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Selain itu, Yani dan Sarwo memiliki hubungan erat. Mereka pernah satu kesatuan di Pembela Tanah Air (Peta), pasukan bentukan Jepang, dengan pangkat shodancho. Ketika Yani Komandan Batalion V Brigade IX Divisi Diponegoro, Sarwo menjabat komandan kompi.
Kolonel Sarwo Edhie mengumpulkan para perwira. Karena rumahnya di Jalan Flamboyan 59 tak terlalu besar, mereka menghadap bergantian. Sarwo menghitung kekuatan. Sebagian pasukan RPKAD bertugas di Kalimantan Utara dalam operasi Dwikora dan di Papua untuk meredam pemberontakan. Kepada Komandan Batalion I Mayor Chalimi Imam Santosa, Sarwo memerintahkan menarik seluruh pasukan yang sedang mengikuti latihan upacara peringatan Hari ABRI di Senayan.
Penarikan personel RPKAD sempat membuat gaduh. Ketegangan terjadi antara pengawas latihan yang marah dan Santosa. "Nanti Laksamana akan tahu sendiri apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi," kata Santosa dengan tegas, seperti ditulis Hendro Subroto, dalam buku Dewan Revolusi PKI.
Setiba di Cijantung, mereka membentuk pertahanan melingkar menghadap jalan Jakarta-Bogor. Sarwo dan beberapa perwira berkumpul menanti berita Radio Republik Indonesia. Pukul tujuh, Letnan Kolonel Untung menyiarkan Gerakan 30 September dan pembentukan Dewan Revolusi. Mereka menyimpulkan: terjadi kudeta.
Dalam situasi tegang itu, Kapten Herman Sarens Sudiro datang naik panser. Membawa secarik surat, Herman mengaku diperintah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto. Isinya: "Keadaan sangat gawat, pasukan supaya dikonsinyir. Dan lekas temui saya di Kostrad."
Sarwo tak percaya begitu saja. Walau surat itu terlihat asli, ia tak yakin Soeharto dalam kondisi selamat. Dalam benaknya, bisa jadi surat itu dibuat di bawah tekanan. Karena itu, dia melucuti Herman.
Sekitar sejam kemudian, Kapten Daryono, perwira yang dikirim ke Kostrad, kembali. Ia membenarkan Herman utusan Soeharto. Maka senjata dan perlengkapannya diserahkan kembali. Mengendarai kendaraan lapis baja, sebelum zuhur, Sarwo dan Herman berangkat menemui Soeharto.
DI Markas Kostrad di Jalan Medan Merdeka Timur, Sarwo dan Soeharto membahas situasi. Sarwo, yang mempunyai pasukan organik, menyatakan siap bergerak mengamankan tempat-tempat vital. Namun, hingga pukul satu, belum ada komando melancarkan aksi. Tanpa setahu Soeharto, Sarwo memerintahkan pasukan baret merahnya bergerak ke Kostrad.
Perjalanan dari Cijantung ke Medan Merdeka Timur tak mendapat rintangan. Di Markas Kostrad, mereka mengambil posisi siaga satu. Baru pada sore hari Soeharto memerintahkan merebut RRI dan Kantor Telekomunikasi. Batalion 454/Diponegoro dan 530/Brawijaya, yang menjaga kedua tempat itu, telah menyingkir. Yang tinggal hanya Pemuda Rakyat—organisasi kepemudaan Partai Komunis Indonesia.
Kompi Tanjung ditugasi merebut RRI, sedangkan Kompi Urip menguasai Kantor Telekomunikasi. Begitu masuk jam malam, pukul 18.00, kedua kompi itu bergerak. Letnan Dua Sintong Panjaitan memimpin satu peleton menyerbu RRI. Ketika mendekati sasaran, anak buahnya melepaskan tiga tembakan. Mendengar letusan, para anggota Pemuda Rakyat tunggang-langgang.
Tak sampai setengah jam, Sintong dan anak buahnya mengambil alih RRI. Keberhasilan itu ia laporkan ke Sarwo, yang memantau dari Markas Kostrad bersama Feisal Tanjung, komandan kompi. Bukan menerima ucapan selamat, Sintong mendapat bentakan. "Laporanmu tidak benar! Tangkap dulu semua orang di situ," Sintong mengingat ucapan Sarwo, Senin dua pekan lalu.
Rupanya, Sarwo masih mendengar siaran RRI. Ternyata, itu berasal dari tape recorder yang sedang berputar. Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Soebroto, yang ikut tim ini, kemudian membacakan pidato tertulis Panglima Kostrad. "Bukan Soeharto yang siaran," kata Sintong.
PANGKALAN Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jumat, 23.30. Beriringan, tiga kendaraan meninggalkan Halim menuju Istana Bogor. Mobil pertama membawa Panglima Kepolisian Jenderal Soetjipto Joedodihardjo. Di belakangnya menyusul mobil biru bernomor B-3739, dinaiki Presiden Sukarno, Wakil Perdana Menteri Dr Leimena, dan Kolonel Bambang Widjanarko. Kendaraan paling akhir membawa Komandan Resimen Cakrabirawa Brigadir Jenderal Mochamad Sabur dan wakilnya, Kolonel Maulwi Saelan.
Waktu itu tepat setengah jam sebelum ultimatum Soeharto. Ancaman agar Sukarno meninggalkan Halim disampaikan melalui Bambang, yang pada siangnya menemui Soeharto di Markas Kostrad. Sejatinya, kedatangan Bambang itu untuk mencari Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodro, Asisten III Panglima Angkatan Darat. Dalam rapat di Halim, yang dihadiri beberapa petinggi negara, Pranoto diangkat sebagai penjabat Panglima Angkatan Darat. Namun Soeharto menolak keputusan itu.
Pada saat bersamaan, di Markas Kostrad, dengan gelisah Sarwo menunggu perintah. Soeharto belum memutuskan waktu penyerangan. Akhirnya, Sarwo menyerobot masuk ruang Panglima. Di dalam sudah ada Menteri Koordinator Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Soeharto tampak mondar-mandir. "Ini bagaimana, Pak? Kita jadi ke Halim apa tidak?" kata Sarwo. "Kalau jadi, harus bergerak sebelum fajar."
"Mau bikin semacam Mapanget kedua, ya?" tukas Nasution. Dia merujuk pada operasi penghancuran Permesta. Pada 1957, Sarwo membebaskan lapangan udara Mapanget di Manado, dengan pendadakan total. "Siap. Begitulah kira-kira, Jenderal," jawab Sarwo. Soeharto berhenti mondar-mandir: "Ya, laksanakan!"
Sarwo segera bermanuver. Untuk mengecoh musuh, pasukan kavaleri bergerak sepanjang malam di dalam kota. Regu lain masuk secara diam-diam dari arah Klender. Tepat pukul 06.00, semua kompi bergerak ke area lapangan udara. Kurang dari seperempat jam, Halim dikuasai tanpa perlawanan berarti. "Lawan terkecoh. Tak menyadari akan diserang dari belakang," Feisal Tanjung menggambarkan gerakan pagi itu dalam buku Terbaik untuk Rakyat, Terbaik bagi ABRI.
Sekitar pukul 10.00, Sarwo berangkat ke Halim. Ia hendak menemui Sukarno. Informasi yang ia terima, Presiden masih di sana. Mayor Santosa menyarankan atasannya itu melalui Klender, jalur yang sudah disterilkan. Namun, dengan alasan mengejar waktu, Sarwo akan lewat Pondok Gede.
Benar, setelah mereka melewati pertigaan Hex, terjadi kontak senjata. Sebuah peluru melesat tak jauh dari Sarwo. "Panser yang mengawal saya juga ditembak dengan bazoka," katanya. Ia tiarap, lalu memerintahkan seorang prajurit melambaikan baret sebagai tanda agar jangan menembak. Nahas, ia malah tertembak. "Santosa bilang prajurit itu cuma kena tembak. Belakangan saya ketahui ia gugur. Andaikata saya tahu sejak semula, pasti saya marah sekali dan saya perintahkan membalas."
Sarwo dan pasukannya lalu menyingkir ke Pos Komando di Pondok Gede. Di sana, dia bertemu dengan beberapa perwira tinggi Angkatan Udara, seperti Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang dan Komodor Dewanto. Dari mereka, Sarwo mendapat informasi, Sukarno sudah di Bogor. Maka mereka terbang ke Istana Bogor dengan helikopter kepresidenan Sikorsky S-61.
Di Bogor, Sarwo melihat seorang lelaki tua berpakaian piama biru muda keluar dari Istana. Setelah dekat, baru ia tahu itulah Bung Karno. "Kalau tak pakai peci dan pakaian lengkap, kan kelihatan tua sekali," ujar Sarwo.
Dari pertemuan itu, Sarwo Edhie kecewa terhadap Bung Karno, yang menganggap remeh hilangnya sejumlah jenderal. Menurut Sukarno, hal itu hanya sebuah riak kecil dalam revolusi. Karena itu, dia menugasi Sarwo menghentikan kontak senjata. Dengan membawa surat Sukarno, Sarwo kembali ke Halim dan memerintahkan baku tembak disudahi.
Penerbangan dan pertemuan Sarwo-Sukarno tanpa seizin Soeharto ini memancing kecurigaan di kalangan Angkatan Darat. Apalagi dia terbang bersama perwira Angkatan Udara yang saat itu ditengarai dekat dengan PKI. Dalam buku Gerakan 30 September, Julius Pour menyebutkan, Letnan Kolonel Ali Moertopo melaporkan kejadian itu kepada Soeharto untuk diwaspadai. "Mengapa dia bergegas ke Bogor? Untuk apa?" kata Ali.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan kejadian itu mengawali perseteruan terpendam antara Soeharto dan Sarwo. "Tentu ada peran Ali Moertopo juga yang melebih-lebihkan," ujar Asvi. Namun Soeharto tetap memanfaatkan Sarwo dalam memberantas pasukan yang mendukung Gerakan 30 September, karena Sarwo memiliki tim khusus yang bisa bergerak cepat.
Pengamat militer Salim Said juga melihat ketidaksukaan Soeharto atas pertemuan Sarwo dan Bung Karno. Sejak itulah hubungan mereka menjadi dingin. Apalagi Ali Moertopo sering menggosok-gosok. "Namun tidak benar jika karena peristiwa itu Sarwo Edhie jadi pro-Bung Karno," kata Salim akhir bulan lalu.
LUBANG Buaya, Ahad pagi 3 Oktober. Sukitman mengerjap. Dia kaget ketika beberapa prajurit RPKAD membangunkannya. Kerumunan massa PKI yang menculik dia, dua hari sebelumnya, sudah tak ada. Ketika sedang berpatroli di Jalan Iskandarsyah, anggota Kepolisian Sektor Kebayoran Baru itu diringkus sekelompok militer dan dibawa ke Lubang Buaya. Dia berhasil lolos dan bersembunyi di kolong truk yang terparkir di depan rumah, hingga tertidur pulas.
Pasukan khusus yang sedang mencari para jenderal itu membawa Sukitman ke Cijantung untuk dilaporkan ke Sarwo Edhie. Awalnya, dia menolak menceritakan pengalamannya tiga hari terakhir. Namun, setelah Sarwo meyakinkan bahwa banyak yang bergantung padanya, Sukitman membeberkan lokasi markas PKI di Lubang Buaya.
Berdasarkan petunjuk Sukitman, Sintong dan anak buahnya menemukan tanah gembur yang mencurigakan. Setelah digali, ternyata tempat itu sumur tua. Pada kedalaman sepuluh meter, mereka menemukan potongan kaki, lalu terkuaklah keberadaan para jenderal yang hilang.
Menjelang sore, rencana pengangkatan jenazah dihentikan. Selain butuh tabung oksigen agar tak terkena gas beracun, Sarwo menyuruh pengangkatan ditunda karena Pangkostrad Soeharto akan menyaksikan keesokan harinya.
Namun, menurut Maulwi Saelan dalam biografinya, lokasi sumur Lubang Buaya ditemukan bersama-sama antara pasukan RPKAD dan Cakrabirawa. Kata dia, seorang agen polisi dalam kondisi bingung ditemukan patroli Cakrabirawa di depan Kantor Penas, daerah Cipinang, pada Jumat sore. Setelah diperiksa, polisi tadi, yakni Sukitman, diserahkan ke Kodam Jaya, lalu diteruskan ke Kostrad.
Berdasarkan informasi Sukitman ini, Resimen Cakrabirawa melapor ke Presiden. Bung Karno lalu menyuruh mencari jenderal-jenderal yang diculik. Dalam usaha tersebut, mereka bersua dengan pasukan RPKAD, lalu bersama-sama menemukan sumur tempat pembuangan jenazah. Namun informasi ini dibantah Sintong. "Dari awal, hanya pasukan kami yang mencari dan menemukannya."
Setelah memberi instruksi penundaan, Sarwo mendapat gambaran apa yang menimpa Jenderal Yani. Dia begitu murung. Hari itu ia pulang larut malam. Ani melihat pemandangan yang menyentak hatinya. Di depan foto Ahmad Yani, ayahnya berkaca-kaca. Makin lama ia memandangi foto, matanya kian basah. Setangkai bunga diletakkan di samping gambar tadi. "Esoknya, ia melakukan hal yang sama," kata Ani.
Menurut Rais Abin, sahabat Sarwo sejak mengikuti pendidikan militer di Australian Army Staff College, Yani-Sarwo seperti kakak-adik. "Hubungan itulah yang mendorong Sarwo bergerak," ujar Rais, Rabu dua pekan lalu. Dorongan inilah yang dimanfaatkan Soeharto untuk menumpas Gerakan 30 September yang dituduh didalangi PKI. Apalagi Sarwo menggenggam pasukan elite Angkatan Darat.
TIM liputan khusus SARWO EDHIE WIBOWO
Penanggung Jawab: Arif Zulkifli Kepala Proyek: Wahyu Dhyatmika Koordinator: Yandhrie Arvian, Muchamad Nafi, Agoeng Wijaya Penyunting: Amarzan Loebis, Arif Zulkifli, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, Seno Joko Suyono, Nugroho Dewanto, L.R Baskoro, Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, Setri Yasra, Bina Bektiati Penulis: Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Purwani Diyah Prabandari, Muchamad Nafi, Yophiandi Kurniawan, Agoeng Wijaya, Anton Septian, Budi Riza, Cheta Nilawaty, Ninin P. Damayanti, Oktamandjaya Wiguna, Reza Maulana, Sandy Indra Pratama, Sapto Pradityo, Stefanus Teguh Pramono, Yuliawati Penyumbang bahan: Fery FIrmansyah, Tito Sianipar, Hari Tri Wasono (Kediri), Soetana Monang Hasibuan (Medan), Jerry Omona (Papua), Nanda Sugiono (Bandung), Sohirin (Semarang), SG Wibisono (Kutai Barat), Addi Mawahibun Idhom, Muh. Syaifullah (Yogyakarta) Bahasa: Uu Suhardi, Habib Rifa'i, Sapto Nugroho Periset Foto: Dwi Narwoko Desain: Eko Punto Pambudi, Ehwan Kurniawan, Aji Yuliarto, Kiagus Auliansyah, Rizky Lasuardi, Agus Darmawan Setiadi, Triwatno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo