Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhanuddin Muhtadi*
Dalam kosmologi Jawa, kekuasaan dan kepemimpinan selalu diselimuti aura spiritual dan mistis. Irasionalitas kekuasaan itu dikaitkan dengan sosok pemimpin yang sakral karena melibatkan campur tangan kekuatan gaib. Seseorang menjadi pemimpin karena dikaruniai wahyu keprabon atau guratan tangan sebagai raja. Alkisah, dalam sejarah Kerajaan Singasari, isyarat wahyu keprabon terpancar dari kaki Ken Dedes yang bersinar. Banyak yang meramalkan keturunan Ken Dedes bakal menjadi raja-raja Jawa. Inilah yang mendorong Ken Arok memperistri Ken Dedes dengan terlebih dulu membunuh Tunggul Ametung, suami Ken Dedes.
Demikian pula kisah Sarwo Edhie, yang tak lepas dari mitologi seputar wahyu keprabon. Sejarah perjalanan Sarwo Edhie adalah sebuah kontradiksi. Namanya melambung tinggi seiring dengan keberhasilannya sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat dalam melumpuhkan basis Partai Komunis Indonesia di Halim dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia juga berperan dalam pemberangusan basis terkuat PKI di Jawa Tengah.
Alih-alih mendapat ganjaran setimpal, Sarwo Edhie malah "dibuang" jauh dari Jakarta. Dengan dalih terlalu frontal menuntut Sukarno diadili, Sarwo Edhie ditugaskan jauh dari pusat kekuasaan, yakni sebagai Panglima Kodam Bukit Barisan. Inilah awal kemenangan faksi Soeharto. Sarwo Edhie dan sayap garis keras militer makin termarginalisasi (Crouch, 1986: 263-264). Bukannya surut, Sarwo Edhie malah meneriakkan pembubaran Partai Nasional Indonesia karena partai ini dinilai menganut ajaran marxisme. Ini jelas berseberangan dengan instruksi Penjabat Presiden Soeharto saat itu, yang meminta PNI diberi kesempatan melakukan konsolidasi (Kasenda, 1991).
Sarwo Edhie lalu "dilempar" ke ujung timur Indonesia pada 1968 sebagai Panglima Kodam Cenderawasih. Namun, bukannya tenggelam, pamornya malah makin bersinar. Ia dinilai sebagai tokoh penting di balik keberhasilan integrasi Irian Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia saat Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Hanya, anehnya, ia kemudian malah "dikotakkan". Dia hanya "diganjar" jabatan Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia hingga akhirnya memutuskan mengundurkan diri pada 1974.
Konon, Sarwo Edhie sengaja dipinggirkan dan "dikandangkan" karier militer serta politiknya karena Soeharto percaya Sarwo Edhie memiliki wahyu keprabon. Dia dianggap mengantongi suratan takdir sebagai pemimpin yang bisa "mengganggu" keberlangsungan kepemimpinan Soeharto. Meski dihalang-halangi sedemikian rupa oleh Soeharto, pada akhirnya pulung wahyu tersebut kembali ke Sarwo Edhie. Memang bukan Sarwo Edhie yang menikmatinya, melainkan menantunya: Jenderal (Purnawirawan) Dr Susilo Bambang Yudhoyono.
Prospek Elektoral
Bagaimana prospek elektoral trah Sarwo Edhie setelah Yudhoyono tidak bisa maju lagi pada 2014? Sarwo Edhie memiliki lima putri dan dua putra. Di antara mereka, Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono) dan Pramono Edhie-lah yang lebih mungkin maju dalam Pemilu 2014. Ani Yudhoyono adalah Ibu Negara, yang setia mendampingi suaminya, sementara Pramono Edhie anak kandung Sarwo Edhie yang mengikuti jejak ayahnya berkarier di dunia militer.
Saudara Ani Yudhoyono yang lain kurang begitu tampil di depan publik. Kita lebih mengenal dua menantu Sarwo Edhie. Erwin Sudjono adalah mantan Panglima Kostrad. Publik juga lebih mengenal Hadi Utomo, yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Kedua putra Yudhoyono juga layak diberi perhatian sebagai pelanjut dinasti Sarwo Edhie. Sang putra sulung Agus Harimurti Yudhoyono berkarier di dunia militer. Agus mengantongi dua gelar master dari Harvard University dan Nanyang Technological University, Singapura. Adiknya, Edhie Baskoro, kini menjabat Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Jika tak ada aral melintang, Ibas akan meminang putri Hatta Rajasa. Sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional dan menteri senior di kabinet Yudhoyono, Hatta sudah digadang-gadang Amien Rais sebagai calon presiden 2014.
Terlalu prematur memprediksi trah Sarwo Edhie akan berlaga pada 2014. Namun, jika itu terjadi, popularitas Presiden Yudhoyono menjadi variabel penting apakah trah Sarwo Edhie laku dijual atau tidak. Jika Yudhoyono sukses, trah Sarwo Edhie bisa kecipratan popularitas. Namun perkembangan politik dua tahun terakhir ini menunjukkan gejala sebaliknya. Jagat politik Indonesia tak pernah sepi dirundung kontroversi sejak menit pertama Yudhoyono dilantik sebagai presiden periode kedua.
Psikologi publik yang mengalami disilusi dikonfirmasi oleh survei beberapa lembaga. Hasil survei mutakhir Lingkaran Survei Indonesia pada Oktober 2011 menyebutkan tingkat kepuasan publik atas kinerja Yudhoyono merosot hingga menjadi 46,2 persen. Meski tidak sepesimistis Lingkaran Survei, pada awal Juli 2011 Lembaga Survei Indonesia menyebutkan job approval rating Yudhoyono tinggal 57 persen, terkoreksi 28 persen dibanding masa awal pemerintahan Yudhoyono jilid kedua. Waktu pengumpulan data memang berbeda, tapi keduanya mencatatkan tren penurunan kepuasan publik. Jika Yudhoyono gagal melakukan recovery, trah Sarwo Edhie bisa terkena getahnya.
Dinasti Politik
Prospek elektoral trah Sarwo Edhie juga dipengaruhi psikologi publik Indonesia yang cenderung negatif terhadap politik dinasti karena dinilai nepotisme. Respons publik Indonesia terhadap dinasti politik tidak seramah reaksi pemilih di India, Filipina, atau Amerika Serikat. Studi Dante Simbulan (2007) terhadap elite politik di Filipina pada 1946 hingga 1963 menunjukkan, dari 169 keluarga berpengaruh, lahirlah 584 pejabat publik, termasuk tujuh presiden, dua wakil presiden, 42 senator, dan 147 anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Dinasti politik tidaklah tabu. Di India, Filipina, dan Amerika Serikat, dinasti politik malah dianggap proses mentorship, di mana tokoh politik akan menularkan pengalaman dan "proses pembelajaran" secara langsung kepada anggota keluarganya. Sebaliknya, di Indonesia publik lebih menyoroti aspek negatif politik dinasti, yakni macetnya sirkulasi kepemimpinan dan munculnya oligarki karena dominasi segelintir elite. Yudhoyono, misalnya, berkali-kali disibukkan oleh tudingan miring di balik melesatnya karier militer Erwin Sudjono, Pramono Edhie, dan Agus Harimurti. Yudhoyono juga disorot saat Hadi Utomo terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2005-2010 dan Ibas sebagai Sekjen Demokrat periode 2010-2015.
Karena itu, dapat dipahami Yudhoyono buru-buru menangkis rumor istrinya akan maju dalam Pemilu 2014. Tapi pernyataan Yudhoyono dalam forum Indonesian Young Leaders beberapa waktu lalu masih menyisakan tanda tanya. Benar Yudhoyono mengatakan istri dan anaknya tak akan mencalonkan dalam Pemilu 2014. Tapi bagaimana jika ada pihak yang mencalonkan istrinya? Bagaimana dengan iparnya? Apalagi pernyataan Yudhoyono masih bersayap, yakni dengan tambahan kata-kata "biarlah rakyat yang memilih secara demokratis" dan "setiap orang berhak running for RI-1".
Kecurigaan publik semacam itulah yang menyulitkan langkah trah Sarwo Edhie untuk berlaga di pentas pemilu nanti. Ini penting karena pencalonan presiden berkaitan dengan akseptabilitas di tingkat elite dan massa. Popularitas Ani Yudhoyono memang cukup tinggi. Selain sibuk sebagai Ibu Negara, aktivitasnya menumpuk di Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu, program Indonesia Pintar yang digagasnya, dan lain sebagainya. Tapi popularitas saja tidak cukup. Jika berniat maju, harus diikuti peningkatan angka kedisukaan dan elektabilitasnya.
Adapun Jenderal Pramono Edhie harus berjuang meningkatkan popularitasnya terlebih dulu sebelum berpikir jauh soal tingkat kedipilihannya. Penunjukannya sebagai Kepala Staf TNI AD tentu bisa menjadi "karpet merah" untuk mengerek kedikenalannya di mata publik. Kedekatannya dengan Megawati karena pernah menjadi ajudan Mega tentu menjadi kredit tersendiri. Secara psikologis, Pramono juga tidak sedilematis kakaknya karena dia bukan keluarga inti Presiden Yudhoyono.
Intinya, jadi atau tidaknya trah Sarwo Edhie meramaikan perhelatan pemilihan presiden 2014 sangat ditentukan oleh elektabilitas mereka di mata pemilih. Sejauh ini pasar calon pemimpin masih sangat terbuka dan cair. Pemilih masih bersikap wait and see. Situasi ketidakpastian (unpredictability) masih tinggi. Isyarat wahyu keprabon belum terlihat apakah masih terus menaungi trah Sarwo Edhie atau malah justru hinggap ke tokoh lain.
*) Pengajar FISIP UIN, Jakarta, dan peneliti Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo