Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr Asvi Warman Adam*
Saat sang ayah pulang, tubuhnya tampak kurus, letih, dan kulitnya menghitam. Itulah ingatan Ani Yudhoyono atas sosok ayahnya, Sarwo Edhie Wibowo, pada hari-hari setelah 1 Oktober. Namun, dalam biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit, Ani hanya sedikit menjelaskan bagaimana sang ayah memimpin operasi militer ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali itu. Tidak terdapat pendapat dan perasaannya terhadap pembunuhan massal terbesar yang banyak disangkutpautkan dengan ayahnya dalam sejarah Indonesia.
Ani hanya sempat menyatakan, saat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, ia pernah meminjam tengkorak dari laboratorium dan dibawa ke rumah. Sang ayah kaget karena melihat ada tengkorak di kamar putrinya.
Sarwo Edhie dan Resimen Para Komando Angkatan Darat, kita tahu, awalnya ditugasi melumpuhkan kawanan pasukan Diponegoro yang terlibat Gerakan 30 September. Pasukan Sarwo Edhie memasuki Semarang pada 19 Oktober 1965, selanjutnya ke Magelang dan Yogyakarta. Dalam rapat umum di Boyolali, Sarwo Edhie bertanya, "Siapa yang mau dipotong kepalanya, saya bayar lima ribu." Tidak ada jawaban, Sarwo menambah bayaran, "Siapa yang mau dipotong kepalanya, saya bayar seratus ribu." Sang komandan kemudian menukas, "Dibayar seratus ribu saja tidak ada yang mau dipotong kepalanya. Agar kepala Saudara-saudara tidak dipotong dengan gratis, PKI harus dilawan."
Karena pasukannya terbatas, Sarwo memberikan latihan kemiliteran kepada para pemuda selama dua atau tiga hari. Selanjutnya, "Mereka kami lepas untuk menumpas komunis sampai ke akar-akarnya." Sarwo tidak ragu-ragu mengeluarkan perintah tembak terhadap mereka yang melawan, termasuk penduduk yang memprotes penembakan, seperti yang terjadi di Solo.
Pembunuhan massal pada 1965 itu digambarkan antara lain dalam buku Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Dua tulisan terbaru mengenai Sarwo Edhie diajukan dalam seminar "The 1965-1966 Indonesian Killings Revisited" di Singapura pada 17-19 Juni 2009. Tulisan itu disampaikan David Jenkins ("Fifteen Hundred Assassinations per Day: Three Aspects of the Mass Killing in Indonesia in 1965-1966") dan Douglas Kammen ("Sarwo Edhie’s Travels in Java and Bali, October-December 1965"). Untuk menelusuri rute operasi militer, David Jenkins menggunakan arsip Australia dan Inggris, sedangkan Douglas Kammen memanfaatkan berita-berita di surat kabar pada masa itu.
Berapa jumlah korban sebenarnya? Menurut Robert Cribb, ada beberapa cara menghitung jumlah korban. Pertama, mengutip keterangan resmi pemerintah. Menurut Fact Finding Commission, yang dibentuk setelah peristiwa berdarah tersebut, jumlah korban 78 ribu orang. Tapi Oei Tjoe Tat, salah satu anggota komisi itu, mengatakan angka tersebut terlalu dikecilkan. Lebih tepat bila ditambah dengan satu angka nol di belakangnya (maksudnya 780 ribu).
Cara kedua adalah menghitung jenazah korban pembantaian. Ini bisa dilakukan dengan membongkar kuburan massal yang tersebar di mana-mana di Indonesia. Tapi jumlahnya pasti tidak akan akurat karena sebagian korban dicampakkan ke hutan dan dimakan binatang buas atau dibuang ke sungai serta laut. Upaya penggalian kembali yang dilakukan Ibu Sulami dan kawan-kawan di Wonosobo serta Blitar lebih merupakan pengambilan "sampel" dari demikian banyak kuburan massal di Tanah Air.
Metode ketiga adalah meminta kesaksian korban yang kebetulan selamat, orang yang menyaksikan pembunuhan, atau pelakunya sendiri. Ini dapat dan perlu dilakukan walaupun akan memakan waktu cukup lama.
Cara keempat menggunakan teknik demografi, membandingkan jumlah penduduk suatu daerah sebelum dan sesudah kejadian. Jadi angka pembunuhan massal itu diperoleh melalui selisihnya. Kelemahan teknik ini adalah angka sensus yang tersedia mencakup periode yang jauh lebih panjang, yaitu dari 1961 hingga 1971. Selain itu, tidak semua yang meninggal akibat pembunuhan. Bisa juga mereka mati wajar atau karena sakit.
Metode kelima mengandalkan intuisi. Angka yang diperoleh bersifat moderat di tengah-tengah, tidak terlampau kecil dan tidak terlampau besar. Robert Cribb menyebut 500 ribu sebagai angka yang wajar. Jumlah tersebut didukung oleh teknik keenam yang dibuat Iwan Gardono dengan menjumlahkan semua angka pada 39 artikel atau buku yang pernah mengulas pembantaian 1965/1966 dan membagi dengan 39, sehingga diperoleh angka rata-rata 430.590 orang. Namun statistik itu merupakan angka yang dingin, tidak mewakili perasaan yang dicekam ketakutan dan kengerian menyaksikan orang dibunuh atau diperkosa di depan mata kepala sendiri.
Apakah pembunuhan massal itu dapat dikategorikan sebagai genocide, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat? Istilah genocide pertama kali diperkenalkan oleh Raphael Lemkin, ahli hukum Amerika Serikat asal Polandia, pada 1944. Pada 1948, istilah ini diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Konvensi Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Genosida (Convention Pour la Prevention et la Repression du Crime de Genocide).
Tapi konvensi ini agak sulit diterapkan pada banyak kasus pembantaian, kecuali kasus holocaust dalam Perang Dunia II. Peristiwa 1965 adalah peristiwa yang terjadi pada wilayah yang sangat luas dengan pelaku sangat banyak, dari militer sampai kelompok masyarakat, yang telah bertikai sebelum peristiwa G-30-S meletus. Sangat sulit membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional atau ke pengadilan HAM ad hoc.
Apakah Sarwo Edhie bertanggung jawab atas pembantaian massal itu? Peter Kasenda, dalam tulisannya di majalah Prisma pada 1991 berjudul "Perintis Orde Baru yang Tersisih", berpendapat Sarwo adalah pelaku atau orang yang membiarkan pelanggaran HAM terjadi secara masif tapi ia kemudian menjadi korban.
Setelah mampu membebaskan Radio Republik Indonesia dan mengamankan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, tujuan pasukan Sarwo Edhie ke Bali dan Jawa sesungguhnya justru menghentikan pembunuhan (mengekang pemuda tidak melakukan perbuatan yang kelewat batas). Celakanya, di berbagai tempat di Jawa, pembunuhan massal yang tidak terkendali terjadi bersamaan atau setelah datangnya pasukan militer dari Jakarta. Para pemuda anti-PKI seakan-akan mendapat suntikan keberanian dari militer.
Julius Pour melihat, setelah Sarwo Edhie tampil di pentas sejarah, Soeharto merasa tersaingi. Bagi Soeharto, tidak boleh ada matahari kembar. Benih perpecahan Sarwo Edhie dan Soeharto timbul sejak awal. Benih ketidaksenangan ini bermula ketika pada 1 Oktober 1965, Sarwo Edhie tanpa direncanakan naik helikopter bersama Sri Mulyono Herlambang ke Istana Bogor menemui Presiden Sukarno. Soeharto terkesan dilangkahi karena ia tidak memerintahkan hal tersebut. Itu sebabnya, Jenderal Soeharto selanjutnya menyingkirkannya. Dengan kata lain, secara umum, Sarwo juga termasuk korban kekuasaan.
*) Penulis, sejarawan LIPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo