Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMPUNG Ciseel, Desa Sobang, Kabupaten Lebak, belum dilalui listrik dan hanya bisa dijangkau sepeda motor. Namun di sanalah antara lain cerita yang ditulis oleh Douwes Dekker alias Multatuli itu mengambil tempat.
Selasa pekan lalu, pukul empat sore, hujan mengguyur kampung itu. Di depan sebuah rumah berukuran 5 x 2,5 meter, dua puluhan pasang sandal jepit berbagai warna dengan noda tanah cokelat berserakan. Para pemiliknya sedang asyik berdiskusi. Duduk di lantai, masing-masing menggenggam sebuah buku: Max Havelaar.
Itulah pertemuan mereka yang ke-12. Setiap minggu, anak-anak—sebagian besar duduk di bangku SMP, ada juga yang masih SD—mendiskusikan buku itu. Mereka bertanya satu-dua kata atau kalimat yang tidak dipahami. Si pemandu diskusi, Ubaidillah Muchtar, menjelaskan dengan telaten. Kadang ia harus menggunakan bahasa Sunda untuk menjelaskan kata yang dimaksud.
Diskusi pun tidak sepenuhnya serius. Ada anak di bawah sepuluh tahun yang memilih membaca buku lain di ruangan itu. Ketika seorang kawan mereka buang gas, tawa pun memecah keheningan. ”Agak sulit untuk mengajak mereka serius terus,” kata Ubaidillah, yang mengelola Taman Baca Multatuli di rumah itu.
Pada saat diskusi, sebuah buku merah diedarkan. Di lembarannya, mereka mengisi daftar hadir dan menulis pesan-kesan diskusi. ”Aku sangat bangga pada Max Hapelar”; ”Saya suka buku ini tapi saya tida suka sama Adipati. I love riding grup (maksudnya reading group)”; atau ”Kalau saya jadi bupati, saya ngga akan jahat sama rayat”. Begitulah pesan-pesan yang tertulis di situ.
Ubaidillah, guru asal Sawangan, Depok, menghabiskan tiga hari dalam sepekan di Sobang. Ia mengatakan Max Havelaar adalah roman pertama yang dibaca di dusun itu. Ia merasa perlu mengenalkan buku itu karena di Lebak tak ada sekolah yang memperkenalkan atau membahas karya Eduard Douwes Dekker itu. ”Ini peninggalan Multatuli yang layak mereka ketahui,” katanya. Diskusi berlangsung dua jam, hingga azan magrib memanggil.
Tak mudah mencari jejak Multatuli di Lebak. Satu-satunya ”peninggalan” yang tersisa hanyalah sebuah tembok di Rumah Sakit Umum Daerah Adjidarmo, yang terletak di Rangkasbitung. Tembok itu masih kukuh. Lebarnya 6 meter, tingginya 5 meter, melampaui atap genting rumah di sekitarnya. Tebalnya mencapai 60 sentimeter, tapi tak mulus lagi. Sebagian kapur dan semen yang melindunginya terkelupas sudah, sehingga tampaklah batu bata merah yang menyusun tembok itu. Cat kremnya pun kusam, dikotori grafiti vandal bertulisan ”Rambo” dan ”Bontot” di bagian tengah. Rumput liar yang di—sertai serakan sampah plastik mengelilinginya. Entah sejak kapan dan bagaimana caranya, satu pohon kersen tumbuh di bagian kiri atas tembok.
Dinding itu kini bersatu dengan tembok yang lebih baru. Meski sama-sama kusam, mereka membentuk rumah kecil di area rumah sakit, kontras dengan bangunan baru tiga lantai yang mengelilinginya. Tak ada yang tahu kapan rumah asli diruntuhkan. ”Sejak saya kecil, bangunannya sudah seperti itu,” kata Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Budaya Kabupaten Lebak, Syaifullah Saleh, yang kini berusia 43 tahun.
Meski rumahnya telah runtuh, Multatuli tetap diabadikan di Lebak. Ia menjadi nama jalan sepanjang satu kilometer, nama sekolah dasar (meskipun Max Havelaar tak pernah dipelajari di sekolah ini), apotek, dan gedung utama kantor pemerintah Lebak. ”Dia orang besar, tokoh dunia,” kata Syaifullah.
Namun ketokohan Multatuli ini tak sepenuhnya diterima. Keturunan Raden Adipati Karta Natanagara, yang dituding Multatuli dalam Max Havelaar sebagai bupati pribumi nan kejam, menilai pengabadian Multatuli terlalu berlebihan. Raden Adang Bachtiar Sastranagara, keturunan kelima sang bupati, mengatakan bahkan gedung Multatuli berdiri di wilayah yang dibangun Natanagara. Dan pengabadian nama Multatuli itu akhirnya semakin menorehkan stigma bagi kakek buyutnya. ”Seolah-olah Multatuli itu pahlawan dan leluhur saya penjahat,” kata Adang.
Pada saat Max Havelaar tiba di negeri ini, keluarga Natanagara memang dibuat kalang-kabut. Adang menceritakan kakeknya, Raden Nur Sastranagara marah besar membaca tuduhan Multatuli. Paman Adang sempat membuat surat penolakan kepada pemerintah daerah ketika film Max Havelaar diputar di Lebak pada 1970-an. Meski tak ada penghinaan langsung dari masyarakat terhadap keturunan Natanagara, Adang mengaku sampai sekarang perasaannya selalu tak enak setiap mendengar nama Multatuli.
Iroh Siti Zahroh, istri Adang yang juga kerabat jauh Natanagara, menyayangkan buku Multatuli diterima begitu saja sebagai sejarah. Padahal Max Havelaar adalah roman yang tak lepas dari khayalan pengarangnya, kadang khayalan itu bisa dilebihkan sesuai dengan selera pengarangnya. Menurut Iroh, tuduhan Multatuli fitnah belaka. Kerja paksa seperti disebutkan Dekker sebenarnya bantuan masyarakat terhadap bupati yang mau menyambut saudaranya yang menjadi Bupati Cianjur. Saat itu, kata Iroh, sangat wajar masyarakat mengabdi pada Natanagara yang keturunan ningrat. Iroh bercita-cita membuat buku tandingan Max Havelaar dari sisi Natanagara. Seluruh keluarga sudah mendukungnya meski belum mulai disusun. ”Semoga saja terwujud,” ujarnya.
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan Max Havelaar sebagai karya sastra sangat sah. Multatuli menggunakan personifikasi untuk tokoh-tokohnya, yang juga digunakan Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novelnya. Seperti karya Pramoedya, Max Havelaar juga mengundang kontroversi. Bahkan di Belanda ada yang menganggap Dekker sebagai penipu. Bonnie menduga Dekker dipengaruhi pemikiran liberal-radikal yang saat itu berkembang di Belanda, menentang kolonialisme. Saat itu kaum ini masih minoritas.
Memang tak tertutup kemungkinan Multatuli melebih-lebihkan cerita. Apalagi ada rentang waktu empat tahun setelah ia kembali ke Belanda lalu melahirkan Max Havelaar. Bonnie sendiri tak yakin semua data yang disampaikan merupakan hasil penelusuran Multatuli. Pasalnya, dia hanya menjabat asisten residen selama tiga bulan. ”Minimal butuh enam bulan atau setahun untuk bisa mendapat cerita seperti itu,” kata lulusan sejarah Universitas Diponegoro yang sering menulis soal Max Havelaar ini.
Lepas dari kontroversinya, Bonnie melanjutkan, Max Havelaar menjadi roman utama yang mempengaruhi perjuangan bangsa ini. Kartini dan Soekarno, misalnya, ikut membaca Max Havelaar. ”Roman ini menjadi inspirasi kemerdekaan bangsa ini,” ujarnya.
Tangan Siti Alfiah, 17 tahun, masih memegang Max Havelaar. Sejak pertama berkenalan dengan novel ini, Siti langsung tertarik dan mengagumi Max Havelaar, yang suka menolong masyarakat Lebak. Hampir setiap diskusi ia hadir. Gadis berkerudung ini mengaku kecewa jika tak bisa mengikuti diskusi.
Siti baru saja lulus SMP dan akan melanjutkan sekolah di Cipanas, sekitar 10 kilometer dari Ciseel, dan tak mungkin ditempuh pulang-pergi karena kondisi jalan yang sangat rusak. Ia ingin bisa pulang pada saat diskusi. Di Ciseel, keinginan Multatuli agar bukunya dibaca banyak orang kesampaian. Ada Siti Alfiah dan kawan-kawan dalam kelompok diskusi itu yang mengaguminya.
Pramono (Lebak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo