Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA menit sebelum pukul dua belas siang, lonceng besar di dua gereja Kota Heemskerk mulai berdentang. Sahut-menyahut, bunyinya semarak seperti mengusik ketenangan kota kecil di barat laut Amsterdam itu. Tepat pada tengah hari, entakan djembee—alat musik perkusi khas Afrika—mendadak memenuhi udara. Suaranya bertalu-talu, berbaur dengan dentang lonceng gereja. Dalam sekejap, kota kecil yang bisa dijangkau dengan kereta api dalam setengah jam dari Amsterdam itu berubah meriah.
Hari itu, Sabtu pekan pertama Mei, seperti sudah menjadi tradisi mereka dalam tiga dasawarsa terakhir, warga Heemskerk merayakan Hari Perdagangan Adil alias Fairtrade Day. Pada hari itu, mereka meneguhkan lagi komitmen untuk berbagi kemakmuran dengan para petani dan perajin dari negara-negara miskin di belahan selatan bumi.
Toko Wereldwinkel—artinya toko dunia atau world shop dalam bahasa Inggris—di pusat Kota Heemskerk adalah sentral perayaan pesta rakyat tahun ini. Di teras toko yang khusus menjual aneka barang dan makanan dengan sertifikasi fairtrade inilah, tiga pria asal Ghana dengan bersemangat menabuh djembee.
Atraksi mereka dengan cepat membentuk kerumunan di depan toko. Saat itulah sejumlah sukarelawan Wereldwinkel—dengan pakaian tradisional asal negara masing-masing—mulai berkeliling mengedarkan penganan kecil. Seorang ibu berkebaya merah dengan lincah menawarkan lumpia dan tahu isi ala Indonesia, sedangkan seorang wanita lain menyajikan kue-kue kering ala Afrika. Beberapa pengunjung mulai menari mengikuti alunan ritmis musik, suasana makin semarak.
”Kami ingin membuat semua orang berbaur dan merasakan sendiri makna solidaritas antarbangsa,” kata Marianne Dijkstra, sukarelawan Wereldwinkel yang mengorganisasi pesta kecil hari itu. Perempuan 60 tahun ini mantan guru sekolah dasar di Heemskerk. Sekarang dia sehari-hari menjadi manajer toko di sana. Marianne berharap, pesta tahun ini membuat warga kotanya lebih memahami filosofi Toko Wereldwinkel dan kelak bersedia mampir lagi ke toko mereka.
Harga produk yang dijual di Toko Wereldwinkel memang sedikit lebih mahal dibanding harga produk sejenis yang dijual di supermarket, misalnya. ”Tapi bukan berarti kami mencetak untung,” kata Direktur Wereldwinkel di Heemskerk, Wienus van Oosterum. ”Keuntungan itu kami kembalikan ke para petani dan produsen barang-barang ini,” kata Wienus.
Dengan penduduk kurang dari 38 ribu jiwa, Heemskerk memang tergolong kota yang mungil. Karena tak punya banyak penduduk itulah, Wienus mengaku kewalahan menjaga omzet tokonya bertahan di angka aman. ”Untuk menutup ongkos sewa dan listrik, kami harus punya omzet 10 ribu euro per bulan,” katanya menjelaskan. Untung saja, tak ada satu pun anggota staf toko itu yang dibayar. ”Kami semua sukarelawan,” katanya.
Motivasi mereka untuk meluangkan waktu dan energi bagi perjuangan mempromosikan toko fairtrade ini sederhana saja. Marianne, misalnya, mengaku Max Havelaar adalah tokoh idolanya. Dia tergerak untuk berbuat sesuatu, setelah membaca buku itu di bangku sekolah. ”Dia pahlawan saya,” kata Marianne berterus terang.
Wienus juga sama. Dia bisa bercerita dengan detail bagaimana nasib petani di Lebak, seperti yang dikisahkan dalam novel Havelaar. ”Multatulilah yang pertama kali memberi tahu kita tentang adanya ketidakadilan dalam sistem perdagangan,” katanya. Dia merasa terpanggil untuk mengubah keadaan. Caranya? Paling tidak dengan memastikan Toko Wereldwinkel di Heemskerk tak bangkrut dan mulai mencetak laba. ”Kami harus menjaga warisan Multatuli,” katanya.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo