Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT puluh tahun lalu, semuanya dimulai. Seorang jurnalis Belanda, Dirk Scherpenzeel, baru kembali dari perjalanan jurnalistiknya ke New Delhi, India, dan menemukan kenyataan yang mengusik nuraninya.
Ekonomi India tidak bisa berkembang karena negara-negara di Eropa dan Amerika tak mau membuka pasar mereka. Kalaupun dibuka untuk produk tertentu, berbagai tarif dan aturan dibuat sampai harga produk asal India jadi berlipat kali lebih mahal dari asalnya. Ironisnya, sebagian besar keuntungan itu tak pernah sampai ke para petani dan perajin yang bergelut peluh.Dirk merasa sudah saatnya ini berubah.
Beberapa bulan sepulang dari India, pada 1 April 1969, Dirk membuka "Toko Dunia" atau Wereldwinkel yang pertama di Braukelen, sebuah kota kecil di Provinsi Utrecht, Belanda. Dia menjual barang-barang dari dunia tak berpasar itu. Produk pertama yang dia impor adalah kopi dan gula.
"Saat itu toko kami hanya bertujuan membuka akses pasar Eropa untuk produk dari negara berkembang," kata Danielle de Jong, anggota staf komunikasi eksternal Wereldwinkel, yang ditemui Tempo di Amsterdam, awal Mei lalu. Tidak muluk-muluk memang.
Barulah dalam jangka panjang, Dirk bermimpi ingin membuat orang Belanda sadar akan ketimpangan perdagangan dunia dan bagaimana buruknya kondisi buruh serta petani yang membuat barang-barang yang mereka konsumsi sehari-hari. "Kami ingin menggugah kesadaran sosial warga," kata Danielle.
Ide Dirk dengan cepat mendapat dukungan. Dalam satu tahun saja, 40 toko baru bermunculan dalam jejaring Wereldwinkel. Satu dekade kemudian, pada 1980, sudah ada 180 toko Wereldwinkel di Belanda. Kini, setelah 40 tahun beroperasi, Wereldwinkel punya sekitar 400 toko yang tersebar di Negeri Kincir Angin. Total konsumennya ada sekitar 2,5 juta dengan omzet penjualan 30 juta euro pada 2008.
Nah, salah satu produk yang menjadi ciri khas semua toko Wereldwinkel adalah kopi. Mereka memang menjual kopi khusus, yang dijamin pengolahannya bebas dari praktek pengisapan buruh dan petani. Merek kopi itu adalah Max Havelaar.
Dengan kemasan ciamik berlatar putih bersih, kopi Max Havelaar menjadi ikon toko-toko fairtrade di Belanda. Saking besarnya permintaan, kopi "zonder penindasan" ini juga sudah dijual di berbagai supermarket terkemuka seperti Albert Heijn-tidak lagi terbatas hanya di Wereldwinkel.
Kisah kopi merek Havelaar dimulai pada 1986. Ketika itu Nico Roozen, Direktur Solidaridad-sebuah lembaga nonpemerintah untuk kerja sama pembangunan yang berbasis di Utrecht, Belanda-menerima telepon dari seorang petani kopi Meksiko. "Terima kasih atas donasi Anda," kata si petani nun jauh di Amerika Latin itu. "Namun kami lebih suka dibantu mendapatkan harga yang adil untuk kopi kami."
Percakapan itu membekas di benak Nico dan memberinya inspirasi untuk membuat merek kopi khusus. Dia bekerja sama dengan seorang pendeta Belanda yang juga aktif di koperasi petani di Meksiko, Frans van der Hoff, untuk menciptakan label produk fairtrade yang pertama di dunia.
Semua produk yang mendapat label spesial ini harus melewati prosedur yang ketat untuk memastikan petani mendapatkan porsi keuntungan yang adil dari penjualan produk mereka. Misalnya saja, harus ada standar harga minimum yang memungkinkan petani melanjutkan usahanya. Standar harga ini tak boleh terpengaruh oleh fluktuasi harga produk itu di pasar. Selain itu, sebagian uang pembelian harus disetor di muka, sehingga posisi tawar petani pun kuat.
Nama Max Havelaar dipilih karena dinilai pas sebagai simbol perjuangan Solidaridad untuk memperoleh keadilan bagi petani kopi di Meksiko. Persis sama dengan perjuangan Havelaar memperjuangkan nasib petani kopi di Lebak pada 1856. Merek kopi Max Havelaar diluncurkan secara resmi pada 15 November 1988 di Amsterdam.
Seperti Wereldwinkel, perkembangan label fairtrade Max Havelaar pun relatif cepat.Tiga tahun setelah kemunculannya, pada 1991, Solidaridad sudah mengembangkan mekanisme merek dagang adil berskala internasional, Fairtrade Labelling Organization (FLO).
Organisasi inilah yang diserahi tanggung jawab melakukan inspeksi dan verifikasi atas klaim fairtrade dari perusahaan penyedia produk-produk di seluruh dunia. Di luar Eropa, mereka punya jejaring di 23 lembaga penyedia label fairtrade di Amerika, Australia, hingga Asia.
Tak hanya itu. Kini label halal "Havelaar" pun sudah meluas, dan itu tak hanya diterapkan pada kopi, tapi juga teh, gula, cokelat, madu, dan banyak produk makanan lain. Beberapa produsen makanan besar, seperti perusahaan es krim ternama Ben and Jerry's, memutuskan 100 persen menggunakan bahan baku yang mendapat label fairtrade.
Untuk produk buah-buahan, Nico dan rekan-rekannya mengembangkan label lain bertajuk Oke. Sekarang perusahaan dagang mereka untuk produk buah-buahan-AgroFair Ltd.-adalah yang terbesar di Eropa dengan tingkat penjualan di atas 60 juta euro per tahun.
Wienus van Oosterum, direktur sebuah toko Wereldwinkel di Heemskerk, Belanda, mengaku amat tertolong dengan makin mapannya sistem perdagangan adil di negerinya. Untuk mendapatkan pasokan barang, dia tinggal datang ke Culemborg, sekitar satu setengah jam perjalanan ke tenggara Amsterdam. "Biasanya saya datang setiap bulan, mencari produk yang cocok dengan tema etalase kami saat itu," katanya.
Di Culemborg, ada pusat grosir Wereldwinkel yang menjadi sentra pemasok produk untuk ratusan toko jejaring ini. Semua produk di sana sudah mendapat label Max Havelaar atau FLO. "Suasananya seperti supermarket raksasa. Para manajer toko tinggal datang dan memilih produk sesuai dengan kebutuhan masing-masing," kata Wienus. Beragam barang ada di sana, mulai kerajinan kayu asal Indonesia, patung tanah liat dari India, sampai pakaian dan aksesori dari Amerika Latin.
Meski sudah mulai diterima sebagai gaya hidup, gerakan promosi perdagangan adil ini tak surut langkah. Kini semua organisasi pendukung fairtrade di Belanda tengah gencar melakukan kampanye fairtrade town alias kota perdagangan adil. Di sejumlah kota, warganya berbondong-bondong mendesak wali kota dan parlemen lokal mereka untuk meneken kontrak politik baru yang mengharuskan semua toko di sana hanya menjual produk berlabel Max Havelaar. Saat ini sudah ada empat kota yang menandatangani kontrak macam ini, termasuk Rotterdam dan Groningen.
Perlawanan bukannya tak ada. Tiga tahun lalu, sebuah pabrik kopi, Douwe Egberts, menggugat keputusan pemerintah di Groningen yang memberikan kemudahan untuk kopi berlabel fairtrade. Mereka menilainya sebagai praktek persaingan usaha yang tidak sehat. Namun gugatan ini ditolak pengadilan setempat.
Efek samping kesuksesan gerakan ini cuma satu: kini sebagian orang Belanda mengenal Max Havelaar bukan hanya sebagai judul karya sastra yang mengubah nasib sebuah bangsa. Havelaar kini juga identik dengan merek kopi ternama. Apa boleh buat.
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo