Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak-jejak di pinggir semesta

Perlombaan petualangan ruang angkasa as & soviet semakin gencar. keduanya sama-sama unggul. prestasi as dari peluncuran satelit-satelit buatan sampai kepenerbangan berawak columbia dan musibah challenger.

22 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAPE CANAVERAL, FLORIDA, 12 APRIL 1981. Sejak parak subuh, ratusan ribu khalayak berkerumun di sepanjang pantai dan jalan raya. Amerika Serikat sedang bersiap memancangkan tonggak baru dalam sejarah petualangan di ruang angkasa. Tepat pukul tujuh pagi waktu setempat, Columbia melesat ke angkasa. Hanya dalam enam detik, semburan nyala dan asap menerangi menara peluncuran setinggi 348 kaki. Itulah pesawat ulang alik pertama sepanjang tarikh umat manusia. Seluruh penjuru negeri bersorak. Sedangkan di Moskow, Uni Soviet, orang sedang memasuki peringatan penerbangan Yuri Gagarin, manusia pertama di ruang angkasa, tepat 20 tahun yang lalu. Begitu pentingkah Columbia, terutama dalam rally antariksa yang memacu AS dan Soviet? Yang jelas, dengan pesawat ulang alik ini sebuah impian mewujud di depan mata. Columbia memang membuka babak kedua era ruang angkasa. Dirancang untuk meluncur seperti roket, dan "berlayar sbagaimana layaknya kapal antariksa pesawat ini bisa pulang sendiri dan mendarat di landasan dengan fasilitas yang dituntut pesawat terbang. Tidak diperlukan lagi kapal-kapal pencari, yang bertugas menemukan kapsul setiap kali seorang -- atau beberapa -- antariksawan balik ke bumi dan terapung di laut lepas. Revolusi besar yang dipersembahkan teknologi pesawat ulang alik ialah kenyataan bahwa pesawat itu bisa diterbangkan lagi untuk misi berikutnya, cukup dengan perbaikan dan pembaruan sederhana. * * * Sejarah petualangan di ruang angkasa mungkin bisa ditarik dari 300 tahun yang silam. Ya. Sejak awal 1600-an, ketika Johannes Kepler, ilmuwan Jerman, membangun hukum keplanetan dan mencoba memetakan orbit benda-benda angkasa. Hingga sekarang, hukum itu digunakan untuk menentukan orbit satelit buatan dan merencanakan perjalanan kapal antariksa. Pada 1687, Sir Isaac Newton mempublikasikan karyanya, Hukum-Hukum Gerak. Menggunakan karya Kepler sebagai basis, Newton mencoba meletakkan batu tapal perencanaan penerbangan ke langit itu. Dalam "hukum yang ketiga"-nya, misalnya, Newton menyatakan, "Untuk setiap aksi akan timbul reaksi yang sepadan dan berlawanan." Hukum inilah yang kemudian menerangkan tingkah laku roket. Di Rusia, seorang guru sekolah bernama Konstantin E. Tsiolkovsky mengguratkan namanya pada 1903. Guru ini mempublikasikan makalah ilmiah pertama yang membahas penggunaan roket untuk penerbangan antariksa. Namun, tidak banyak yang tertarik pada paparan yang lebih dipandang sebagai "khayalan" ini -- di zaman itu. Baru beberapa tahun kemudian, Robert H. Goddard, seorang Amerika, dan Hermann Oberth, seorang Jerman, berhasil membangkitkan semangat ilmiah tentang perjalanan di ruang angkasa. Bekerja secara independen, kedua orang ini menyerang masalah-masalah teknik peroketan dan riset ketinggian ekstrem. Mereka kemudian dijuluki "bapak-bapak penerbangan antariksa". Pada 1919 Goddard menerangkan bagaimana roket dapat dipakai untuk mencapai atmosfer, melalui makalahnya, "Sebuah Metode Mencapai Ketinggian Ekstrem". Makalah ini juga berbicara tentang kemungkinan merengkuh bulan dengan menembakkan roket. Empat tahun kemudian Oberth mengumumkan karyanya, Roket Menuju Angkasa Antarplanet. Dalam buku ini Oberth mendiskusikan sejumlah masalah teknis penerbangan antariksa. Ia bahkan mencoba menggambarkan wujud kapal langit di masa depan. Di Jerman karya Oberth ini merangsang berdirinya Lembaga Jerman untuk Perjalanan Ruang Angkasa. Anggota-anggota lembaga inilah yang turut membangun rudal pertama di tengah Perang Dunia II. Di Amerika Serikat, para ilmuwan yang senang bereksperimen mendirikan American Interplanetary Society, 1930. Tiga tahun kemudian lembaga yang sama berdiri di Inggris. Para anggota lembaga mulai terlibat dalam perencanaan dan peluncuran roket-roket eksperimental. Mereka juga mulai membicarakan gagasan menjelajahi luasan kosmos. Sepanjang 1930-an, penelitian roket berkembang pesat di AS, Jerman, dan Uni Soviet. Goddard berada di barisan depan para peneliti AS, sedangkan Oberth memimpin berbagai percobaan di Jerman. Di Soviet tercatat nama-nama F.A. Tsander dan I.A. Merkulov. Pada awal 1930-an, program-program penelitian roket sudah ditangani pemerintah, baik di Jerman maupun di Soviet. Sebaliknya, pemerintah AS baru tertarik pada roket ketinggian ekstrem setelah sepuluh tahun kemudian. Fakta ini, kelak, banyak diungkit-ungkit ketika orang mencari jawaban mengapa -- dalam beberapa hal -- AS ketinggalan dari Uni Soviet dalam perlombaan di ruang angkasa. Dalam Perang Dunia II, di bawah arahan Wernher Magnum Maximillian von Braun, para pencinta roket Jerman membangun rudal V-2. Sejumlah rudal jenis ini kemudian disita AS, yang memenangkan perang, dan dikirim ke Amerika untuk diteliti. Setelah perang usai, Von Braun dan beberapa ilmuwan Jerman hijrah ke AS untuk meneruskan penelitian mereka mengenai roket. Beberapa ahli Jerman lainnya menyeberang ke Rusia. Hasil "pengungsian" ini agaknya tidak percuma. Pada akhir 1940-an Amerika membangun dua roket penelitian yang penting, Viking dan Aerobee. Pada 1949 negeri itu meluncurkan sebuah roket kecil yang diberi nama WAC Corporal. Roket ini, yang dipasang sebagai tingkat kedua rudal V-2, berhasil mencapai ketinggian 402 kilometer -- rekor baru masa itu. Pada 1955, perlombaan ke ruang angkasa memasuki tahap yang sesungguhnya. AS dan Uni Soviet mengumumkan rencana mereka meluncurkan satelit buatan. Benda-benda yang merupakan bulan artifisial ini dijadwalkan mengapung di saat Tahun Geofisika Internasional, 1957. Soviet, ternyata, menepati janjinya. Pada 4 Oktober 1957 mereka meluncurkan Sputnik I, satelit buatan yang pertama dalam sejarah manusia. Tanpa mau kehilangan waktu, pada 3 November 1957 mereka melepas lagi Sputnik II. Satelit ini membawa penumpang: seekor anjing bernama Laika. Dialah hewan pertama yang pergi ke langit -- dan yang namanya pernah dikenal di Indonesia, di masa Bung Karno, sebagai merk kamera buatan Rusia. Sementara itu, Amerika harus menelan kekalahan. Mereka baru meluncurkan satelitnya yang pertama, Explorer I, 31 Januari 1958. Satelit kedua, Vanguard I, diluncurkan 17 Maret tahun itu juga. Kedua bulan buatan ini lebih kecil ketimbang Sputnik. Soalnya, konon, kendaraan-kendaraan peluncur yang digunakan AS tidak sekuat yang dimiliki Soviet. Tetapi AS tidak berpangku tangan menghadapi kenyataan. Mereka lebih banyak mengorbitkan satelit ilmu pengetahuan, dan mulai memanfaatkan ruang angkasa untuk keperluan praktis. Desember 1958, negeri itu meluncurkan satelit komunikasi yang pertama melalui penerbangan yang dinamakan Project Score. Februari 1959, satelit cuaca pertama, Vanguard II, mengirimkan gambar-gambar awan ke bumi. Satelit-satelit Rusia, sementara itu, tidak segencar AS. Namun, rupanya mereka mengubah jurus: lebih memusatkan perhatian pada perencanaan dan pembangunan kapal-kapal angkasa yang lebih besar dan lebih berat, ketimbang AS. Pada awal 1959, Soviet lebih dahulu meluncurkan pesawat-pesawat yang menembus daya gravitasi bumi, dan baru AS. Luna 1 milik Soviet, dan Pioneer IV punya AS, ditembakkan ke bulan. Kedua pesawat ini berhasil melalui bulan, kemudian masuk ke orbit sekitar matahari, dan dua-duanya tercatat sebagai planetoid buatan yang pertama. Tahun-tahun berikutnya kedua negara adidaya itu meluncurkan lebih banyak pesawat antariksa, baik ke bulan, ke berbagai planet, maupun ke sekitar surya. Pengembaraan manusia ke antariksa baru dimulai awal 1960-an. Pada 12 April 1961, dengan mengendarai Vostok 1, Yuri Gagarin melakukan penerbangan tunggal mengitari bumi, selama tidak lebih dari satu jam 48 menit. Sebulan kemudian, 5 Mei 1961, AS mengirim Alan B. Shepard Jr. dengan pesawat Freedom 7. Pada ketinggian 187,5 kilometer dari bumi, Shepard menempuh perjalanan 480 kilometer dalam 15 menit. Pada 6 dan 7 Agustus tahun yang sama, Kosmonaut Gherman Titov berangkat dengan Vostok 2 dan mengitari bumi 16 kali dalam waktu lebih dari sehari. Sebelumnya, 21 Juli, Astronaut V. Grissom dengan berkendaraan Liberty Bell 7 mengangkasa satu menit lebih lama dari Shepard. Barulah pada 20 Februari 1962 AS berhasil meluncurkan John H. Glenn Jr., untuk mengitari bumi tiga kali dalam empat jam 55 menit, dengan kendaraan Friendship 7. Sejak Yuri Gagarin hingga peluncuran Columbia yang pertama, tidak kurang dari 78 penerbangan berawak dilakukan AS dan Uni Soviet. Dengan roket-roket yang lebih kuat dan pesawat-pesawat yang lebih besar, Soviet mampu mengangkut perbekalan lebih banyak untuk para kosmonautnya yang tinggal lebih lama di ruang angkasa dibanding kosmonaut AS. Beberapa kosmonaut mereka malah melakukan penerbangan berkelompok, dengan dua pilot mulai mengorbit pada saat yang sama dan dalam pesawat berbeda. Dalam penerbangan jenis itulah Valentina Tereshkova, kosmonaut wanita pertama, melayang tiga hari dengan Vostok 6, Juni 1963. Sementara itu, Valery Bykovsky juga terbang -- dengan Vostok 5 -- dan mengembara lebih dari empat hari di atas sana. Pada 12 Oktober 1964, Soviet mencatat rekor baru dengan mengorbitkan sekaligus tiga kosmonaut dalam sebuah pesawat, Voskhod 1. Mereka, V. Komarov, K. Feoktistov, dan B. Yegorov, tinggal lebih dari sehari di antariksa. Dukacita meliputi program ruang angkasa AS, 27 Januari 1967. Hari itu Virgil 1. Grissom, Edward H. White II, dan Roger B. Chaffee melakukan uji pesawat di Pusat Antariksa John F. Kennedy, untuk rencana penerbangan ke bulan dengan Apollo pada 21 Februari tahun itu. Ternyata, api dan asap menghancurkan modul perintah mereka. Ketiga astronaut tewas. Api diperkirakan berasal dari kabel listrik yang brengsek. Percikannya merambat ke kabin modul, yang segera menyala tak ketolongan. Kecelakaan ini menunda program Apollo selama 20 bulan lalu berbagai sarana penyelamat segera disiapkan untuk mencegah tragedi serupa. Adapun kematian pertama di ruang angkasa, bukan di bumi, diketahui pada tahun itu juga, di bulan April. Kosmonaut Vladimir Komarov tewas ketika payung pesawat angkasanya gagal berfungsi. Berikutnya, Juni 1971, Soviet kehilangan lagi tiga kosmonaut: Georgi Dobrovolsky, Victor Patsayev, dan Vladislav Volkov. Ketika penjelajah itu baru saja merampungkan perjalanan 24 hari mereka di dalam stasiun antariksa Salyut. Mereka kemudian ditemukan sudah menjadi mayat -- di dalam kendaraan Soyuz XI yang mendarat secara normal. Proyek pertama AS dalam penerbangan manusia ke ruang angkasa dilancarkan melalui program Mercury, April 1961 hingga Mei 1963. Langkah berikutnya: program-program Gemini dan Apollo. Pada Apollo 11, Neil A. Armstrong dan Edwin E. Aldrin Jr. menginjakkan kaki di bulan, 20 Juli 1969. Perjalanan ke sana rupanya memakan waktu empat hari. Memang sulit membandingkan keunggulan AS dan Soviet di ruang angkasa. Apalagi program kedua negara adidaya itu berlainan. Pada awal 1960-an, misalnya, Soviet memiliki roket-roket bertenaga besar, sehingga mampu meluncurkan pesawat-pesawat lebih berat untuk perjalanan yang lebih panjang. Namun, di bidang peluncuran pesawat ilmu pengetahuan, komunikasi, dan peramalan cuaca, AS berada dalam posisi depan. Dalam hal menggarap bulan, AS pun unggul ketika berhasil menjejakkan kaki astronautnya di sana. Tetapi, pesawat-pesawat Soviet yang tidak berawak sudah sampai juga ke sana, dan mengirim contoh-contoh permukaan tanah ke bumi. Pada 1972, AS sendiri menghentikan penerbangan berawak ke bulan. Kedua negara itu kemudian seperti mengalihkan perhatian ke stasiun-stasiun angkasa berpenghuni yang mengorbit di seputar bumi. Pada 1975, AS dan Soviet memulai misi antariksa bersama melalui Proyek Uji Coba Apollo--Soyuz. Pada 17 Juli tahun itu tiga awak Apollo bergabung dengan dua awak Soyuz di ruang angkasa. Setelah melakukan serangkaian eksperimen bersama selama dua hari, mereka berpisah dan masing-masing pulang ke negerinya. Misi bersama diulangi empat bulan kemudian. Satelit Vostok yang tidak berawak membawa lima eksperimen biologi AS selama 19 hari mengitari bumi. Selang dua tahun berikutnya, AS sekali lagi mengambil bagian dalam proyek satelit biologi Soviet. Para ilmuwan di berbagai bagian dunia senantiasa mengharapkan kerja sama seperti itu semakin berkembang di masa depan. Dan, akhirnya, tibalah era pesawat ulang alik. * * * Gagasan untuk sebuah pesawat ulang alik, sebetulnya, bukan barang baru. Von Braun (1912-1977) sudah membayangkan sebuah kendaraan angkasa yang bisa digunakan pulang-pergi -- sekaligus bersama visinya tentang sebuah pangkalan di bulan dan perjalanan mengelilingi planet Mars. Lebih dari itu, pada pertengahan 1950-an Angkatan Udara AS telah melakukan serangkaian percobaan pada pesawat-pesawat yang dibangun dengan kecepatan supersonik, dengan penerbangan pada ketinggian yang luar biasa. Pesawat X-15 adalah contoh khas dari rangkaian percobaan itu. Dengan sayap model bomber B-52, X-15 mampu melesat hingga sekitar 80 km dari permukaan bumi -- suatu ketinggian antariksa yang paling rendah, meski belum memasuki orbit. Pesawat ini kemudian mendarat lagi dengan mulus di pangkalan Angkatan Udara Edwards, California. Columbia -- atau apa pun namanya -- dengan demikian sudah merupakan konsep kerja selama bertahun-tahun. Tetapi sukses Sputnik memotong proses X-15. NASA tidak mau dicap kuno, dengan menggantungkan harapan semata-mata pada percobaan-percobaan sejenis X-15. Itulah yang membuat AS berpaling ke kapsul-kapsul antariksa dari Mercury, Gemini, sampai Apollo. Setelah "perlombaan" dengan Soviet memasuki tahap berimbang, AS kembali kepada konsep pesawat ulang alik. Columbia, yang penerbangannya dua bulan terlambat dari jadwal, memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dengan sayap-sayap deltanya yang menyamai ukuran DC-9, pesawat ini bahkan mampu dibebani tangki bahan bakar, dan dua roket booster (pendorong) yang masing-masing bisa ditanggalkan sesuai dengan keperluan. Pada awal 1970-an, makin terasalah perlunya kebutuhan akan pesawat ulang alik itu. Penerbangan ruang angkasa yang sangat mahal tidak sepadan lagi dengan anggaran yang tersedia. NASA berpikir makin keras tentang sebuah "kapal barang" yang bisa dikirim ke "bawah langit" dan melaksanakan lebih dari sekadar misi tunggal. Pesawat yang dicita-citakan itu harus mempunyai ruangan yang cukup untuk membawa penumpang. Juga memiliki "palka" untuk mengangkut berbagai muatan yang makin beragam. Harus efisien, terutama untuk bisa membawa satelit-satelit komunikasi, cuaca, dan militer. Selama ini, setiap satelit dikirim melalui misi tunggal yang diluncurkan roket. Pesawat ulang alik, sebaliknya, setelah turun pada setiap selesai misi, harus bisa diperbaiki, diperbarui, kemudian diterbangkan kembali. Hanya dengan efisiensi seperti itu biaya terbang bisa dihemat, tanpa mengurangi aspek penelitian. Kendaraan ulang alik juga dihajatkan mampu mengangkut sebuah laboratorium ilmiah lengkap. Itulah Spacelab -- yang pembuatannya ditanggung European Space Agency (f SA), lembaga patungan beberapa negara (Eropa Barat). Spacelab, seperti pesawat ulang alik, juga harus bisa digunakan berulang-ulang. Spacelab dijadwalkan rampung pada pertengahan 1980-an. ESA dan AS sepakat untuk memanfaatkan fasilitas laboratorium ini bagi berbagai eksperimen ilmu pengetahuan. Sementara itu, di luar ESA, banyak negara lain lalu mendekati AS bagi kepentingan penjelajahan dan pemanfaatan ruang angkasa. Kanada dan Jepang, misalnya, mulai pula membangun satelit dan perangkat satelit untuk diluncurkan dengan fasilitas AS. Sejumlah negara lain, termasuk Australia dan Selandia Baru, menggunakan roket-roket sounding AS untuk riset antariksa. Industri lalu ruang angkasa tumbuh bagai jamur di musim basah. Beberapa perusahaan sibuk merancang dan membangun pesawat, rudal, dan kendaraan. Perusahaan lain mengembangkan sistem misalnya dukungan logistik dan perlengkapan navigasi. Kiprah ini melibatkan ribuan tenaga kerja. Perusahaan-perusahaan listrik pun akhirnya terjun ke dalam "demam" antariksa. Di Amerika Serikat saja, sekitar 10 ribu perusahaan menggarap berbagai proyek -- sebagian besar berlokasi di sepanjang Pantai Barat dan di Negara Bagian New England. Pada pertengahan 1970-an saja industri ruang angkasa AS sudah melibatkan 900 ribu tenaga kerja, dengan nilai penjualan US$ 13,5 milyar. Namun, kendali semua kegiatan itu tetap dipegang NASA. Lembaga inilah yang memilih dan mengelola semua program, mulai dari riset, pengembangan, sampai pada tahap peluncuran. NASA mengoperasikan Pusat Operasi Peluncuran di Cape Canaveral, Pusat Antariksa Lyndon B. Johnson di dekat Houston, Texas, dan beberapa instalasi riset dan pengembangan lainnya, misalnya Pusat Penerbangan Antariksa Marshall di Huntsville, Alabama, dan Pusat Riset Lewis di Cleveland. Sementara itu, Departemen Pertahanan juga mengembangkan program antariksa melalui Angkatan Udara, Angkatan Darat, dan Angkatan Laut AS. Dalam program ini termasuklah pembangunan rudal Polaris dan Titan II, sejumlah satelit komunikasi militer, dan satelit navigasi seperti Transit. Karena pesawat ulang alik mampu membawa muatan-muatan kecil di samping muatan utama, NASA lalu mulai "menjual" jasa ruang angkasa. Dengan ongkos antara US$ 3 ribu dan US$ 10 ribu, setiap universitas, perusahaan, lembaga pemerintah, bahkan perorangan dan pemerintah negeri lain (termasuk RI dengan Proyek Palapa) boleh mengirim benda angkasanya ke orbit. Kehadiran pesawat ulang alik juga menentukan standar baru kondisi para antariksawan yang akan mengembara. Sebelumnya, para astronaut AS dipilih dari para pemberani yang siap menghadapi bahaya sebuah penerbangan eksperimental. Mereka harus orang-orang tangguh yang tahan terhadap kondisi berat. Dengan pesawat ulang alik, kebutuhan itu berubah. Columbia, misalnya, didesain dengan ruang tinggal dan ruang kerja untuk tujuh orang. Kabinnya diberi tekanan 14,7 psi -- tekanan udara normal pada ketinggian permukaan laut. Bahkan pada saat peluncuran, tidak seorang awak pun menerima tekanan lebih dari tiga Gs -- kurang dari separuh akselerasi yang dialami awak Apollo 11 dalam perjalanan ke bulan. Selain komandan penerbangan dan pilot, awak pesawat ulang alik tidak diharuskan menguasai ilmu mengendalikan pesawat. Sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh komputer -- lima buah Empat di antaranya beroperasi secara simultan dan saling mengontrol, dan sebuah sebagai cadangan. Seorang astronaut boleh bertindak sebagai pemberi perintah, tetapi instruksi-instruksi kepada pesawat pada hakikatnya diberikan melalui komputer. Pada 1976, lima tahun sebelum Columbia diluncurkan, mulailah NASA merekrut generasi astronaut yang disesuaikan dengan realitas dan kesempatan baru ini. Setiap orang -- geolog, fisikawan, insinyur -- dengan keadaan kesehatan yang baik diberi kesempatan ambil bagian dalam aneka misi sebagai spesialis. Para astronaut jenis baru ini tidak perlu ambil pusing tentang persyaratan dan kewajiban pilot. Mereka hanya bertanggung jawab atas pengkoordinasian operasi muatan dan tujuan-tujuan ilmu pengetahuan. Di antara 35 orang yang terpilih di bawah kriteria baru itu pada 1978, enam di antaranya wanita, tiga berkulit hitam, dan seorang peranakan Jepang-Amerika. Jenis ketiga spesialis, yang tidak disejajarkan dengan astronaut, juga dijadwalkan untuk mengisi pesawat ulang alik. Mereka ini, yang akan bertugas sebagai spesialis muatan, meliputi para ilmuwan atau teknisi yang diberi kesempatan melakukan riset di ruang angkasa. Ke dalam kelompok inilah terhisab Pratiwi Sudharmono, calon antariksawan kita yang sudah siap dengan penelitian mikrobiologinya. Berbeda dengan para astronaut sungguhan, yang harus menjalani latihan khusus dan program evaluasi penerbangan antariksa, spesialis muatan lebih memusatkan latihannya pada proyek penelitian mereka sendiri. Mereka hanya memerlukan waktu beberapa minggu untuk akrab dengan keadaan tanpa bobot, di samping latihan khusus menghadapi prosedur darurat di ruang angkasa. Sebelum Columbia diluncurkan, perangkat keras haruslah dibangun lebih dahulu. Tugas itu dipikulkan pada Rocketdyne -- cabang Rockwell International di California, kontraktor utama. Tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan ini: membangun mesin roket yang bisa dipakai ulang, kompak tetapi juga berdaya besar, tiga buah untuk tiap-tiap pesawat. Produk terbaru Rocketdyne saat itu ialah mesin roket berbahan bakar cair yang sangat diakui efisiensinya. Dengan panjang 13,9 kaki, roket ini berbobot 6.618 pound. Namun, ia harus mempunyai daya dorong 375.000 pound pada saat melesat dari landasan. Percobaan-percobaan yang dilakukan saat-saat pertama itu lebih banyak yang kandas. Dalam sebuah uji coba pada 1978, misalnya, roket meledak. Pengembangan mesin ini saja menunda program sampai tidak kurang dari setahun. Lalu menyusul problem berikutnya: mencari bahan pembungkus pesawat ulang alik yang tahan panas yang tinggi. Berbeda dengan Apollo, yang pembungkusnya boleh terkelupas pada saat pulang ke bumi, Columbia menuntut lapisan pelindung permanen: ringan, tetapi tahan. Akhirnya disimpulkan, 70% dari permukaan aluminium Columbia harus dilapisi dengan tile ringan (kepingan tahan panas dengan bahan dasar semacam pasir) -- terdiri lebih dari 32 ribu keping. Setiap keping tile keramik-silika itu dilapisi lagi dengan kaca borosilikat, sebelum direkatkan ke dinding pesawat. Toh, kemudian, ternyata ketahanan lapisan ini masih jauh di bawah perkiraan. Pada tingkat pertama saja, ketika Columbia diangkut dari California ke Florida, 1979, sejumlah tile lepas dari tempatnya. Bagian-bagian lain juga mengalami kerusakan, dan harus direkatkan kembali. Untuk 18 bulan berikutnya pesawat itu terpaksa nongkrong di hanggar di Cape Canaveral, sementara para pekerja sibuk melapisi dindingnya dengan kepingan-kepingan baru. Persiapan final akhirnya rampung pada awal 1981. Namun proyek ini belum putus dirundung malang. Pada sebuah gladi hitung-mundur (count-down), lima orang teknisi melakukan kecerobohan: memasuki kompartemen Columbia yang masih terisi nitrogen murni --yang digunakan untuk menggantikan oksigen sebagai tindakan mencegah api dan peledakan pada saat lepas landas. Dua di antaranya tewas seketika. Bahkan pada bulan April, bulan peluncuran, jadwal lepas landas tertunda di saat-saat terakhir: sebuah komputer keluar dari sistem sinkron dalam perbandingan seperdua puluh lima detik. Dua hari lagi dibutuhkan untuk mengatasi problem ini. Akhirnya, pada 12 April, peluncuran yang diidam-idamkan melalui taruhan waktu dan nyawa itu menjadi kenyataan. * * * Columbia sekaligus merupakan Sistem Transpor Antariksa (STS) pertama yang tidak didahului percobaan berawak. Tujuan misi ini sederhana: mengirim pesawat dan awaknya ke ruang angkasa dalam keadaan selamat, pulang-pergi. Untuk penerbangan bersejarah dan setengah nekat ini dipilih dua astronaut kawakan: John Young, bekas pilot penguji pesawat Angkatan Laut, dan Robert Crippen, penerbang pesawat militer andalan. John Young melibatkan diri dalam penerbangan ruang angkasa pada 1962. Ia pertama kali mengangkasa bersama Gemini 3, dan pada 1972 tercatat sebagai orang kesembilan yang menginjakkan kaki di bulan. Crippen, 43, memang penerbang yang tergila-gila pada petualangan di kosmos raya. Ia, ternyata, harus menunggu 12 tahun sebelum mendapat kesempatan meluncur bersama Columbia. Columbia dan awaknya mengarungi ruang angkasa lebih dari dua hari. Kemudian saat yang ditunggu-tunggu pun tiba -- saat Columbia mendarat kembali di landasan yang sudah disiapkan. "Pendaratan yang sangat indah," ujar para saksi mata ketika itu. Pesawat memasuki atmosfer dengan hidungnya membentuk sudut 40". Ketika ia meluncur dengan kecepatan Mach 24,5, suhu pada dinding luar melonjak hingga 2.700'F. Selama 16 menit hubungan radio putus .... Young dan Crippen bagai sedang berada di dalam meteor. Tetapi, kecuali sinar merah jambu yang bersemburat di luar jendela, kedua orang itu tidak merasakan sesuatu yang luar biasa. Pada kecepatan Mach 5, Young segera mengambil alih kendali pesawat. Tinggal dua putaran lagi sebelum ia mendaratkan kendaraan bersejarah itu di landasan pangkalan Angkatan Udara Edwards. Ketika kecepatan pesawat melambat ke ukuran kecepatan suara, terdengar dua ledakan. Pesawat itu, dengan mesin-mesinnya yang tidak lagi berfungsi, mulai menuju landasan. Dengan Crippen bertugas menyimak kecepatan udara, Young menekan sebilah tongkat. Dan beberapa detik kemudian Columbia merendahkan roda-rodanya. Mereka menyentuh landasan pada cepatan 185 knot. * * * Tujuh bulan kemudian, Columbia sudah siap berangkat lagi. Di dalam kabin duduk sepasang bekas pilot militer: Joseph Engle, 49, dan Richard Truly, 44. Keduanya sudah berlatih sejak 1960-an. Engle, misalnya, sudah menerbangkan X-15 sebagai pilot penguji Angkatan Udara. Tapi dibutuhkan lagi beberapa penundaan sebelum pemberangkatan kedua ini memasuki jadwalnya yang pasti. Hampir 400 keping tile pelapis bagian luar pesawat harus ditanggalkan, dibersihkan, dan direkatkan kembali. Kemudian, 31 detik sebelum peluncuran, para teknisi menemukan bahwa minyak pelumas pada unit daya pembantu -- minyak yang sama dengan yang digunakan pada penerbangan pertama -- menyumbat dua buah filter yang sangat vital. Akhirnya, semua berjalan lancar. Tetapi kesulitan justru timbul di angkasa -- pada jam-jam pertama perjalanan yang direncanakan untuk lima hari itu. Satu di antara tiga sel bahan bakar yang digunakan sebagai sumber daya pesawat berhenti berfungsi. "Aturan permainan' mengharuskan pesawat kembali ke landasan. Komunikator kapsul, Sally Ride, segera mengirim perintah untuk Columbia: "Kabar buruk. Anda harus pulang besok." Engle dan Truly menggunakan sisa waktu untuk tujuan yang direncanakan. Termasuk pengujian pertama lengan mekanik, yang dibangun di Kanada dan didesain sebagai Remote Manipulator System (RMS). Dioperasikan dari kabin pesawat oleh Truly, RMS terbukti dapat digunakan untuk meletakkan satelit di angkasa atau mengambilnya kembali untuk direparasi. Dalam perjalanan pulang, Engle membawa Columbia melalui serangkaian olah gerak yang rumit, menembus angin berkecepatan 25 knot, kemudian melakukan pendaratan dengan sempurna. Dibutuhkan empat uji coba pada 1982 sebelum Columbia dinyatakan "layak terbang" untuk kesekian kalinya. Penerbangan berikutnya melibatkan antariksawan Jack Lousma dan Gordon Fullerton. Mereka segera saja mahir menggunakan lengan mekanik pesawat. Juga menyelesaikan misi utama penerbangan ketiga ini -- membawa pesawat selama 80 jam "menantang" matahari untuk menguji ketahanan lapisan luarnya. Namun, kesulitan seperti tidak mau beranjak seratus persen. Kali ini yang menjadi musuh adalah cuaca. Hujan telah mengubah tempat mendarat di Edwards menjadi lumpur. Sedangkan landasan alternatif berikutnya, White Sands di New Mexico, kusut oleh badai pasir dengan kecepatan 88,5 kilometer per jam. Columbia masih mempunyai masa tenggang tiga hari. Sehari penuh digunakan oleh para astronaut itu untuk menunggu badai reda. Akhirnya, Lousma, veteran Skylab satu dasawarsa sebelumnya, membawa pesawat menuju White Sands. Dengan kecepatan 402,5 kilometer per jam, ia mendaratkan Columbia. Untuk sepanjang tiga kilometer pesawat itu meluncur di gurun pasir, sebelum akhirnya kedua awak berhasil menghentikannya. Dan tiga bulan kemudian, 27 Juni 1982, Columbia sudah siap terbang keempat kalinya. Komandan penerbangan kali ini Ken Mattingly penerbangnya Henry Hartsfield. Bersama mereka diangkut muatan pertama dari "langganan" yang membayar: sebuah tes rekayasa biologi yang disponsori sebuah perusahaan antariksa dan perusahaan obat-obatan, dan sebuah koleksi percobaan dari mahasiswa Universitas Utah. Juga muatan Departemen Pertahanan AS, meliputi sebuah detektor cosmic-ray, sensor-sensor ultraviolet dan inframerah untuk melacak jejak rudal musuh, dan sebuah sekstan antariksa yang dirancang untuk menavigasikan satelit tanpa panduan dari bumi. Satu-satunya keluhan pada penerbanan keempat ini ialah kerugian US$ 32 juta, akibat hilangnya selubung roket pendorong. Terbukti, parasut yang mestinya berfungsi mengatrol selubung itu gagal bekerja. Selubung lenyap di Samudra Atlantik. Namun, di tengah gegap-gempita perayaan 4 Juli, Hari Kemerdekaan Amerika, Mattingly berhasil dengan mulusnya -- untuk pertama kali -- mendaratkan Columbia di landasan keras. Untuk percobaan pendaratan ini digunakan landasan beton sepanjang 15 ribu kaki di Pangkalan Edwards. Akhirnya, NASA memaklumkan secara resmi pemanfaatan STS untuk keperluan bisnis. Pesawat kedua segera disiapkan. Itulah Challenger, yang beberapa pekan lalu mencatat musibah terbesar dalam sejarah penerbangan ruang angkasa. Ketika Columbia menyelesaikan penerbangannya yang keempat, Challenger sudah memasang kuda-kuda di Pangkalan Edwards. Sementara itu, dua pesawat ulang alik lainnya, Discovery dan Atlantis, mulai digarap. November 1982 Columbia meluncur untuk kelima kalinya. April 1983, tibalah saatnya bagi Challanger untuk unjuk kebolehan pertama kali. Columbia, sementara itu, mengalami pemugaran. Pesawat baru ini lebih ringan, lebih bertenaga dan mampu membawa muatan empat ribu pound lebih berat ketimbang Columbia. Kegagalan mesin membuat peluncuran ditunda dua bulan. Tetapi, sekali di ruang angkasa, Challenger membuktikan keandalan program antariksa AS di bidang problem solving. Dengan komandan penerbangan Paul Weitz dan pilot Karol Bobko, Story Musgrave, dan Donald Peterson berjalan-jalan selama empat jam di antariksa -- yang pertama setelah sembilan tahun -- mengujicobakan pakaian antariksa rancangan baru. Namun, tugas utama Challenger hampir saja berantakan: menempatkan perangkat elektronik TDRS -- sejenis satelit pelacak dan penerus data. Segera setelah dilepas, roket pendorong satelit itu menembak secara salah. Untuk beberapa saat, TDRS keluar dari sistem kontrol, dan nyaris lenyap di keluasan kosmos raya. Selama jam-jam yang menegangkan, sebuah tim di Houston, Texas, berkutat untuk mengembalikan satelit itu pada posisinya. Tim ini kemudian diperkuat oleh sebuah tim lagi dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard, yang berusaha menembakkan roket-roket kecil pada satelit untuk mendorongnya ke posisi yang benar. Semuanya akhirnya berjalan sesuai dengan rencana. Penerbangan kedua Challenger membawa Sally Ride, spesialis misi wanita yang pertama. Kali ini Challenger membawa lima awak. Administratur NASA, James Beggs, segera mengundang pelbagai perusahaan untuk merencanakan stasiun antariksa permanen yang akan dilayani oleh Challenger. * * * Challenger, akhirnya, mendorong Amerika Serikat untuk memandang penerbangan ke ruang angkasa sebagai "perjalanan biasa". "Pemilihan Christa McAuliffe, guru sekolah dari New Hampshire, sebagai awak pesawat, merupakan cara NASA untuk membuktikan anggapan itu," tulis Harold Jackson di Guardian Weekly dua pekan lalu. Ternyata, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Mula-mula mereka mengajak anggota Kongres. Kemudian wartawan. Akhirnya, guru sekolah. 'Kini, seluruh program antariksa berawak NASA merupakan rentangan ketegangan, sebelum para teknisi berhasil memecahkan mala petaka Challenger." Pada awal tahun ini, sebenarnya Angkatan Udara AS sudah mencanangkan peringatan. Menurut mereka, dibutuhkan US$ 8 juta untuk memodifikasikan pesawat ulang alik ini demi menghindari kemungkinan kebakaran. Mereka menyatakan, selalu ada risiko terperangkapnya hidrogen cair pada saluran pembuangan mesin, yang bisa berakibat fatal. Bencana, terbukti, tidak bisa dielakkan. Penerbangan ruang angkasa ternyata tetap sesuatu yang luar biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus