Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Yang muda yang beragama

Zaman dahulu gereja dapat menjawab hampir semua persoalan. kini harus bersaing dengan banyak lembaga. pendukung setia saat ini atas orang-orang tua yang konservatif. bagi anak muda gereja cuma mode saja.

22 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAN adalah pemuda Belanda rata-rata. Tidak merokok, tapi tak memberi kesan hendak menutup hidungnya di depan asap rokok. Ia bukan dari bilangan pemuda yang aneh-aneh. Rambutnya pendek. Wajahnya bersih, punya pacar cantik molek dan lesung pipit. Jan bukan pemuda yang suka mempertontonkan merk jaket yang dipakainya. Kuliah sambil kerja. Hari depan biasa-biasa, seperti pemuda Belanda lainnya. Bukan peminum. Banyak membaca. Dan bisa mengutarakan pendapatnya dalam urutan satu-dua-tiga yang runtut. Jan suka berdiskusi. Ia mendengar dan berbicara penuh konsentrasi. Tak punya kompleks menjadi seorang mijnheer. Dan pengunyah permen karet. Saya lupa bagaimana bisa ketemu pemuda jangkung ini. Sepertinya ia tiba-tiba nongol di depan pintu, mengetuk dan duduk dengan sopan, serta sesekali tertawa renyah. Setiap ketemu, terasa bahwa Jan adalah Jan yang kemarin. Seorang yang seimbang, dan suka berterus terang. Tanya: Jan, bagaimana pandanganmu tentang agama? Jan: Agama di Belanda sudah lewat masa lakunya. Tidak bisa lagi dipasarkan. Sekularisasi, entah binatang apa, telah sedemikian lanjut. Menggeser agama ke posisi marjinal. Masyarakat modern di Barat telah begitu padat. Semua lembaga bersaing dengan amat ketat. Tempat dan peran yang dijalankan agama dulu telah digantikan secara efektif oleh banyak lembaga lain. Sehingga mau tak mau agama tersingkir di pinggiran. T: Kamu bisa memberi ilustrasi? J: Intinya begini. Gereja di zaman dahulu merupakan institusi di pusat kegiatan masyarakat. Ia tidak hanya dibutuhkan untuk menjawab persoalan rohani, tapi diharapkan menjawab hampir semua soal. Wibawanya dihormati. Setiap desa punya gereja di tengahnya. Berangsur-angsur warga jemaat ini jadi dewasa. Dewasa adalah istilah yang saya rasa tepat. Artinya, mereka sudah mandiri, tidak lagi membutuhkan gereja sebagai tempat bertanya. Mereka sudah mampu menjawab pertanyaan mereka sendiri. Dengan demikian, institusi gereja tidak diperlukan lagi. T: Tentu melewati proses yang alot dan lama. Bagaimana kamu melihatnya? J: Prosesnya berjalan lambat tapi pasti. Berlangsung selama puluhan tahun, bahkan abad. Lewat serang-menyerang yang amat tajam. Agama seolah-olah diserang dari segala jurusan, kemudian lumpuh. Semuanya adalah sebuah proses alamiah. T: Tapi agama sering diperlukan orang dalam keadaan krisis. Orang tetap membutuhkan pegangan. J: Itu benar. Kata ayahku, waktu Perang Dunia Kedua dahulu gereja mendadak penuh. Tapi itu tak berjalan lama. Karena pada dasarnya orang tidak bisa kembali pada sesuatu yang tidak diperlukannya lagi untuk hidup normal dalam kehidupan sehari-hari. T: Bagaimana masa depan agama? J: Orang sering menggambarkannya dengan seorang pelari estafet. Tapi siapa pelari di depan, yang bakal mengambil alih tongkat, saya tidak tahu. Yang tragis, seolah-olah tongkat itu sudah dilepas oleh pelari di belakang. Ini gambaran seolah-olah tragis. Gereja kosong ditinggalkan umat. Tapi tak ada yang harus ditangisi di sini. Ini searah. Ini biasa. T: Banyak orang berbicara tentang kebangkitan agama. Bagaimana kamu melihat kemungkinannya? J: Orang bilang, banyak anak muda tertarik eksperimen baru. Terutama yang bergaya Amerika. Menurut saya, itu cuma mode saja, semacam musik pop. "Gereja elektronik," misalnya, akan segera lewat. T: Adakah kesempatan untuk menghidupkan kembali salah satu fungsi agama. Fungsi kritik, misalnya? J: Fungsi kritik. Itu satu hal yang esensial, yang bisa memberi harapan. Tapi itu berarti, gereja harus bersaing dengan begitu banyak lembaga di masyarakat untuk menunjukkan sumbangannya yang khas. Ini tugas yang sulit. Pesaing-pesaing terlalu kuat. Ada ilmuwan, politisi, ada partai politik yang baik, universitas, lembaga konsumen, lembaga bantuan hukum, dan lain-lain. Semuanya terlatih secara profesional dan mampu melakukan kontrol dengan komitmen tinggi di tengah masyarakat. Mampukah gereja bersaing dengan mereka? Apa sumbangan orisinil gereja? Sebaliknya, pendukung gereja yang setia sekarang ini terdiri atas orang-orang tua yang konservatif. Ini menimbulkan dilema yang pelik. Dengan cara apa gereja bisa dihidupkan kembali, saya sungguh tidak tahu. T: Ada lagi satu lorong masuk. Banyak orang bicara soal krisis identitas. Apakah gereja bisa menyumbang sesuatu di sini? J: Dahulu orang Barat merasa bahwa ia sekaligus Kristen. Itu semacam identitas. Sekarang mereka kehilangan identitas itu. Mereka tidak tahu lagi siapa mereka. Tapi ini tidak berarti mereka bermaksud menengok ke belakang. Segawat-gawatnya soal identitas yang mereka hadapi, mereka tidak bakalan kembali ke gereja. T: Persoalan agaknya telah telanjur tumbuh terlalu jauh. Tapi bagaimana dengan kemampuan pembaruan agama, dari dalam? Dari sejarah toh tampak agama-agama punya daya tahan luar biasa. J: Terus terang saya pesimistis dari sejak sekitar dua abad yang lalu orang sudah bicara soal sekularisasi: ada banyak nabi berteriak-teriak soal itu. Tapi agama belum juga diperbarui. Bahkan juga tidak pada saat ia ditinggalkan para pemeluknya yang paling setia sekalipun. Sekali ia tergeser ke pinggir lapangan, sulit baginya tampil kembali. Agama, kecuali punya daya tahan, juga merupakan lembaga yang paling seret, paling lamban, paling alot untuk berubah. Entahlah. T: Kamu masih sering ke gereja? J: Saya ke gereja sesekali. Saya bisa menikmati sentimen lagu-lagu nenek moyang saya dahulu. Jan masih berkicau tentang banyak hal dengan bersemangat Sesekali membenarkan letak gulungan baju di tangannya, sambil menyeruput kopi tubruk yang ia sebut "kopi petani Belanda". "Kopi ini mesti ditunggu sampai 'petaninya' mengendap," katanya berkelakar. "Jan, dan apa kabar dengan mobilmu?" Sambil bersandar di kursi ia menyahut, "Itu mobil Rusia tua. Saya beli seribu seratus perak. Saya beli inklusif dengan klaksonnya yang berbunyi seperti burung hantu. Dan karburator yang suka ngadat. Seribu seratus perak inklusif dengan semua kebrengsekannya." Tiba-tiba dia menyambung, "Bagaimana dengan agama di Indonesia?" Aku terkejut: "Agama-agama di Indonesia? Ah, baik-baik saja," jawabku. "Juga inklusif?" tanyanya lagi. Ia tertawa berderai-derai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus