TAK ada yang mengharapkan terjadi perang terbuka Indonesia versus Australia. Tapi, siapa tahu? Pekan-pekan ini hubungan kedua negeri memburuk ke titik terendah karena masalah Timor Timur. Dan andaikan itu terjadi, sekali lagi andaikata, akankah negeri ini memenangkannya?
Bukan jawabannya yang penting, melainkan pertanyaan itu sendiri. Dalih bahwa suatu ketika akan terjadi perang dengan negara lain, bahwa suatu ketika batas-batas negara harus dipertahankan mati-matian, adalah soal terpenting—dan mungkin satu-satunya—kenapa sebuah negara memiliki angkatan bersenjata.
Pertanyaan seperti itu pula yang layak direnungkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) ketika berulang tahun 5 Oktober ini. Tak hanya tentang kemampuan mereka membela negara. Melainkan, yang lebih penting, juga merenungkan apa sebenarnya negara itu—dan apa nasionalisme itu—yang membuat mereka punya lisensi untuk membunuh atau, jika terbunuh, jadi pahlawan.
Renungan-renungan seperti itu juga kian penting bersama bergantinya zaman. Rezim Soeharto, yang watak militeristisnya sudah diketahui bersama, jatuh bersama krisis ekonomi yang menyengat negeri ini. Krisis itu telah membantu orang melupakan rasa takut untuk mempertanyakan banyak hal, termasuk tentang peran mencolok militer, yang selama bertahun-tahun dianggap tabu.
Jajak pendapat yang diselenggarakan majalah ini (lihat halaman 52) mewakili pandangan mayoritas masyarakat perkotaan yang melihat peran militer selama ini sudah terlalu jauh. Mereka menginginkan koreksi terhadapnya. Mayoritas responden menilai "TNI berasal dari rakyat dan untuk rakyat" sekadar slogan belaka. Sebagian besar mereka juga tidak setuju dengan konsep "dwifungsi", serta meminta tentara "kembali ke barak".
Selaras dengan itu, mayoritas responden tak setuju tentara aktif menduduki jabatan-jabatan sipil seperti presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, dan direktur BUMN. Mereka memandang keliru adanya jatah kursi untuk TNI. Dan, yang penting, mereka menilai TNI lebih layak hanya mengurusi masalah pertahanan dan keamanan. Sebab, lebih dari separuh responden menggantungkan persoalan keamanan pada tentara.
Jantung dari semua kritik terhadap TNI sebenarnya bermuara pada satu hal: koreksi, yang akhirnya bermuara pada tuntutan untuk mencabut doktrin "dwifungsi", yang pelaksanaannya selama ini di lapangan dianggap—bahkan oleh pencetus doktrin itu sendiri—berlebihan.
Doktrin "dwifungsi" memiliki dasar filosofinya dalam fakta bahwa angkatan bersenjata memang dibentuk oleh rakyat dan karenanya harus mengabdi kepada rakyat. Suatu hal yang wajar saja, bahwa mereka merasa perlu berada di tengah rakyat dalam suasana perang ataupun damai. Masalahnya adalah sebagai apa?
Konsep "dwifungsi", yang diluncurkan oleh A.H. Nasution pada 1958, punya landasan yang lebih praktis ketimbang filosofis: memberi kesempatan kepada militer sebagai salah satu kekuatan politik untuk berperan di pemerintahan atas dasar asas negara kekeluargaan. Konsep ini juga dicetuskan untuk mencegah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil.
Konsep Nasution itu menjadi legitimasi paling kuat bagi kiprah militer yang luas dan mendalam pada pemerintahan Orde Baru. Pada era ini, "dwifungsi" menemukan manifestasinya yang paling harafiah dan telanjang. Bahkan, seperti yang belakangan dikecam oleh Nasution sendiri, penerapan konsep itu dinilai kelewat jauh.
Lebih dari itu, melalui sakralisasi dan glorifikasi sejarah, kalangan militer bahkan tak hanya meminta kesetaraan sipil-militer seperti yang ada dalam ide awal "dwifungsi", melainkan juga mendesakkan supremasi militer. Kisah kepahlawanan militer di medan perang di satu sisi, dan cerita keburukan pemerintahan sipil serta diplomasi yang dijalankannya di sisi lain, menjadi menu resmi buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Sudirman menjadi lebih besar secara tak proporsional dibandingkan dengan Hatta, Sjahrir, Mohamad Roem, ataupun Ali Sastroamijoyo. Militer lebih baik dan lebih tahu segalanya.
Tak aneh jika diam-diam orang mulai mempertanyakan proporsionalitas. Namun, tak sekadar dosis, bahkan "dwifungsi" itu sendiri punya cacat sejak dari konsepsinya. Konsep dwifungsi, meski dipromosikan sebaliknya, pada dasarnya berwatak dikotomis. Sebab, setiap jabatan politik dalam pemerintahan pastilah bersifat sipil secara hakiki—tak pernah bersifat militer. Jabatan politik diperoleh seseorang melalui pemilihan demokratis dan dipertanggungjawabkan secara publik pula.
Watak militeristis dalam pemerintahan, seperti yang banyak diselenggarakan pada era Orde Baru, mengabaikan dua prasyarat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan secara beradab—pemilihan demokratis dan akuntabilitas. Dua hal itu tak diperlukan karena militer senantiasa dikesankan bukan hanya paling baik dan paling tahu, tapi juga paling punya motif luhur: "mengamankan dan menjaga keutuhan negara".
Klaim seperti itu mudah dipertanyakan tak hanya karena niat luhur saja tidak cukup, melainkan juga karena banyak fakta di lapangan justru menunjukkan yang sebaliknya. Dominasi militer di banyak lapangan pada era Orde Baru berpengaruh pada kinerja dan kualitasnya sebagai pengaman negara.
Berbeda dengan mitos kepahlawanan yang dipromosikan, tak banyak medan pertempuran besar yang pernah dijalani tentara Indonesia. Dalam era Orde Baru, bahkan hanya satu: perang di Timor Timur, yang secara militer—seperti pernah diungkapkan oleh Kepala Bakin Yoga Sugama—tidak layak dibanggakan. Selama lebih dari seperempat abad, meski dengan korban besar di pihaknya, tentara Indonesia terbukti tak pernah sukses membuat "provinsi" itu aman. Sementara itu, secara politik, petualangan itu sangat mahal.
Ancaman terhadap negara memang bisa datang baik dari luar (agresi) maupun dari dalam (pemberontakan). Khususnya dalam sejarah Orde Baru, cerita yang banyak muncul adalah pertempuran antara TNI dengan rakyatnya sendiri: di Aceh, Lampung, dan Irianjaya. Di tingkat politik, militer juga menjadi katalisator penting pemberangusan gerakan-gerakan pembangkangan.
Namun, pemberontakan itu sendiri, jika ada, tak pernah muncul dari ruang hampa. Pendekatan militeristis yang dikedepankan justru berakibat lebih menyedihkan: tak pernah bisa memadamkan pembangkangan, dan membuat orang lupa untuk mencari penyebab dasarnya, yang sering bersumber pada masalah ketidakadilan sosial ataupun ekonomi.
Dalam perkembangan mutakhir, terutama setelah cairnya "perang dingin", bedil saja bahkan terbukti kian susut perannya dalam mempertahankan negara. Batas-batas negara mulai didefinisikan kembali. Demikian pula dengan ancaman terhadap negara. Agresi tak lagi dicerap sebagai sesuatu yang bersifat fisik melainkan ideologis, gaya hidup, dan ekonomi, sehingga bedil tak punya daya di situ.
Keasyikan tentara menggenggam jabatan politik juga punya ekses menyedihkan: mendistorsikan proses politik, ekonomi, dan hukum. Pemegang jabatan pemerintahan dari lingkungan militer umumnya menjadi sangat digdaya karena memadukan sekaligus beberapa unsur kekuasaan: legitimasi politik sipil, kekuatan senjata yang bersifat "lethal", penguasaan sumber daya ekonomi, dan lisensi sebagai penegak hukum.
Kekuasaan cenderung korup. Tidak terlalu berlebihan untuk menyebut konsep "dwifungsi" seperti itu sebagai salah satu sumber kesulitan terpenting dalam pemberantasan korupsi yang parah di negeri ini. Sebab, pada akhirnya konsentrasi kekuasaan itu menularkan penyakit impunity di kalangan elite dan menyuburkan rasa ketidakadilan di kalangan orang banyak.
Zaman kini berubah. Dan kalangan militer tampaknya paham benar dengan hal itu. Mereka tak hanya harus mendengar rakyat ("Apa yang baik buat rakyat, baik buat TNI"), tapi juga menyesuaikan diri terhadap hukum besi sejarah dunia.
Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, seperti dikutip Kapuspen Hankam Mayjen Sudrajat, pekan ini mengatakan bahwa, "TNI tengah melaksanakan reformasi internal, serta konsekuen mendukung perkembangan demokrasi Indonesia." Wiranto juga menjamin tidak akan ada pemerintahan militer di Indonesia.
Pernyataan Wiranto itu merupakan tanggapan terhadap Menteri Pertahanan AS William Cohen, yang datang mengunjunginya pekan ini. Dalam kesempatan itu, Cohen menyatakan keinginannya "melihat komitmen mencapai reformasi dengan menempatkan militer sebagai subordinasi pemerintahan sipil".
Namun, sejarah tak bisa diubah semudah membalik tangan. Seraya menegaskan sikapnya untuk siap meninggalkan peran politik, termasuk di DPR, Ketua Fraksi TNI-Polri DPR, Achmad Rustandi, mengatakan bahwa itu semua memerlukan proses berangsur. "Ada realitas politik yang perlu dipertimbangkan sebelum menarik semua anggota TNI di DPR," katanya. Rustandi memang tidak asal bunyi. Penelitian Samuel Huntington terhadap sekitar 40 negara yang menjalani masa transisi dari rezim otoriter ke demokrasi menunjukkan hanya negara-negara yang sipil dan militernya secara kooperatif bekerja sama menuju era yang lebih demokratis saja yang berhasil sampai di tujuan. Kesimpulan profesor tersohor dari Universitas Harvard ini tentu patut kita simak.
Dalam kerangka berpikir seperti itulah pernyataan Wiranto ataupun Rustandi, kendati belum memuaskan benar, merupakan sikap ksatria yang patut dihormati. Kesadaran TNI untuk mendefinisikan perannya secara benar adalah buah renungan paling berharga di tengah bunyi meriam peringatan ulang tahun mereka. Juga hadiah paling berharga bagi negeri ini.
Farid Gaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini