Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Militer dalam Tubuhnya

Sejak kecil, minat Prabowo terhadap dunia militer sudah terlihat. Sempat menjadi aktivis.

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hotel Merdeka, Yogyakarta, Januari 1946, pukul 21.00. Margono Djojohadikusumo mendapat telepon dari Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo. Sebuah berita duka. Kedua putranya tewas.

Letnan Subianto Djojohadikusumo pada usia 22 tahun saat bersama adiknya, Sujono Djojohadikusumo, 17 tahun, gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Desa Lengkong Wetan, Serpong, Tangerang, pada 25 Januari 1946.

Margono, yang baru empat bulan ditunjuk pemerintah sebagai pemimpin Bank Negara Indonesia, saat itu sedang menginap di Hotel Merdeka (sekarang Hotel Garuda), Yogyakarta.

”Beberapa menit saya terdiam dan tak berdaya menguasai diri,” kata Margono dalam bukunya, Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman. Dia tak menduga, saat Jepang sudah menyerah kepada Sekutu dan perang sudah usai, anaknya tewas dalam pertempuran. Malam itu juga, dengan kereta paling cepat, Margono bergegas kembali ke Jakarta.

Sebelum dimakamkan, di saku celana Subianto ditemukan secarik kertas bertulisan puisi karya penyair Belanda, Henriette Roland Holst.

”Kami bukan pembangun candi,
Kami hanya pengangkut batu,
Kami angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru di atas pusara kami”

Subianto dan Sujono adalah paman Prabowo Subianto, calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri. Ayah Prabowo, ahli ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, adalah putra sulung Margono. Ketika Subianto dan Sujono gugur, Sumitro tengah berada di Rotterdam, Belanda. Untuk mengenang kedua adiknya, Sumitro menyematkan nama mereka di belakang nama Prabowo dan adiknya, Hashim Sujono Djojohadikusumo.

l l l

Dalam beberapa kesempatan, Prabowo, 58 tahun, mengatakan kenangan terhadap kedua pamannya itu merupakan salah satu alasan kenapa dia memilih karier militer. Setiap tahun dia diajak ayahnya mengunjungi makam Subianto dan Sujono di Tangerang, Banten.

Kalau tengah singgah ke rumah kakeknya di Jalan Taman Amir Hamzah 10, Matraman, Jakarta Pusat, Prabowo kecil juga sering bermain di bekas kamar dua pamannya itu. Dalam kamar itu masih tersimpan beberapa atribut militer. Sekarang rumah tua itu ditempati Sukartini Silitonga, adik Sumitro. Sayang, dia menolak menemui Tempo.

Sifat Subianto ini, menurut Des Alwi, agak-agak mirip Prabowo, bandel dan sedikit nekat. ”Cuma Subianto sedikit lebih halus,” kata Des, yang dekat dengan keluarga Sumitro.

Ketika masih mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran, pemerintah penjajah Jepang berniat menggunduli kepala semua siswa. Bagi Subianto, tindakan itu adalah sebuah penghinaan. Dia mengedarkan selembar kertas, mengingatkan teman-temannya supaya menolak rencana Jepang. Menurut Subianto, keputusan mereka akan mempengaruhi sikap rakyat banyak. Bersama tujuh temannya, Subianto membangkang perintah penggundulan. Pemberontakan kecil ini yang membuat dia diusir dari sekolah kedokteran.

Pengaruh militer di keluarga Prabowo juga mengalir dari kakek dari garis ibunya, Dora Sigar. Ronny Warouw, salah satu karib Prabowo sedari di Hong Kong, mengatakan kakek Prabowo adalah perwira tentara kolonial Belanda, yakni Mayor Sigar. Walaupun Prabowo tak sempat bertemu dengan kakeknya, berbagai cerita militer sering mampir di telinganya sejak kecil.

Minat Prabowo terhadap militer bisa dilihat dari hobinya. Bob Maramis, salah satu bekas prajurit Permesta, memberikan kesaksian. Dia bertemu dengan Prabowo semasa pelarian di Hong Kong. ”Hobinya baca komik Sergeant Strykers,” katanya. Strykers adalah komik superhero militer buatan Atlas Comics. Tak ada saudaranya yang mempunyai hobi serupa.

Saat bermain dengan teman sebayanya, Prabowo juga lebih suka main perang-perangan. ”Dia selalu bersemangat kalau main serdadu,” Eko Muhatma Kartodirdjo, teman bermain Prabowo di Hong Kong, menuturkan. Setiap kali bermain perang-perangan, Kun Mawira menambahkan, Prabowo suka menenteng pistol kecil. Eko dan Kun ini juga putra pelarian politik Permesta di Hong Kong.

Dari Ronny, dia lebih banyak lagi mengenal senjata dan dunia militer. Ayah Ronny, Kolonel Jacob ’Joop’ Frederick Warouw, pernah menjabat panglima tentara dan Teritorium VII Wirabuana. Joop juga pernah menduduki posisi Wakil Perdana Menteri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia.

”Saya sering memaksa ikut operasi militer,” kata Ronny. ”Kalau ulang tahun, saya tak pernah minta hadiah mainan, tapi senjata beneran.” Menurut Ronny, Prabowo beberapa kali sering minta diperlihatkan dan mencoba koleksi bedilnya, tapi tak pernah diizinkan. Sebab, berbeda dengan Ronny, Prabowo remaja memang tak terlatih memegang senapan.

l l l

Setelah pulang kembali ke Indonesia dari Inggris pada 1967, Prabowo muda banyak bergaul dengan aktivis 1966. Menurut Jopie Lasut, salah satu aktivis, walau Prabowo baru berusia 16 tahun, sikap ideologinya sudah jelas dan pengetahuan politiknya lumayan luas, sehingga tak canggung bergaul dengan politikus senior. ”Dia berani debat dengan intelektual selevel Sudjatmoko dan Soe Hok Gie,” kata Jopie.

Di mata Soe Hok Gie, Prabowo adalah pemuda cerdas yang cepat memahami persoalan, tapi juga naif. Dia banyak memahami persoalan dari buku. ”Kalau dia hidup dua atau tiga tahun di dunia nyata, mungkin akan berubah,” Soe Hok Gie menulis kesan itu di buku hariannya.

Prabowo memang gemar membaca. Dia membaca buku politik karya George McTurnan Kahin hingga karya sastrawan Rusia Leo Tolstoy. Tokoh perlawanan yang dia kagumi ketika itu antara lain Yasser Arafat dan Che Guevara. Gerakan antikolonial Mesir yang dipimpin Presiden Gamal Abdul Nasser juga memikat Prabowo muda.

Dengan bahasa Indonesia yang masih belepotan, Prabowo gesit membangun jaringan aktivis. Selain dengan kelompok aktivis sosialis dan anti-Soekarno di sekitar ayahnya, Sumitro, dia juga akrab dengan kelompok Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia. Salah satu tokoh Kesatuan karib Prabowo adalah Yusuf A.R.

Prabowo mengenalkan Jopie kepada Yusuf. ”Kata Prabowo, Yusuf ini hidupnya kayak godfather,” ujar Jopie. Yusuf punya pengaruh kuat di beberapa SMA di Jakarta. Pengaruhnya berurat di kalangan siswa SMA, guru sekolah, hingga petugas penilik. Bahkan, kata Jopie, ”Tidurnya pun biasanya di sekolah.”

Yang tak banyak diungkap, Prabowo remaja pernah keliling Jawa bersama Jopie dengan mobil pinjaman dari ayahnya. Yang menjadi sopir, seorang mantan anggota PKI. Sepanjang jalan, dia mengamati kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dari perjalanan itulah dia kemudian mencetuskan ide Korps Lembaga Pembangunan.

Idenya, menurut Ronny, agak mirip dengan Peace Corps yang digagas Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, yakni kumpulan relawan untuk membantu komunitas ekonomi yang terbelit persoalan. ”Kami membantu perajin sepatu di Cibaduyut,” kata Gideon Imanto Tan Bun An, bekas Direktur Korps di Bandung.

Di Bandung, menurut Imanto, beberapa relawan yang pernah bergabung di Korps antara lain Kuntoro Mangkusubroto, Wimar Witoelar, dan Sarwono Kusumaatmadja. Selain di Jakarta dan Bandung, Korps juga ada di Yogyakarta, Bali, dan Semarang. Namun Korps ini akhirnya layu. Persoalannya klasik, yakni koordinasi dan kesatuan ideologi.

Atas sponsor Kepala Koordinator Intelijen Negara, Sutopo Juwono, Prabowo kemudian malah masuk Akademi Militer pada 1970. Padahal sebelum itu dia sudah diterima di University of Colorado, Amerika Serikat. Menurut Ronny, ada satu insiden yang membuat Prabowo berubah pikiran. Namun dia menolak membeberkannya. ”Saya yang mengantar dia ke Magelang naik mobil VW pinjaman,” kata Ronny.

Masuk ke Akademi Militer bisa jadi memang sudah lama dipertimbangkan Prabowo. Imanto pernah menyimak percakapan Prabowo dengan ayahnya. Waktu itu mereka mendiskusikan soal pengalaman Gamal Abdul Nasser di Mesir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus