Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar penting itu diterima Susilo Bambang Yudhoyono dari Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Wiranto. Isinya: Abdurrahman Wahid, yang baru beberapa hari terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, memintanya bergabung dalam kabinet. Suasana hati Kepala Staf Teritorial TNI itu seketika berkecamuk. Ia terkejut, senang karena mendapat kehormatan, sekaligus bimbang. ”Suasananya luar biasa saat itu,” kata Yudhoyono.
Yudhoyono tak bisa segera memutuskan menerima tawaran menjadi Menteri Pertambangan dan Energi itu. Ia, seperti dikutip dalam SBY Sang Demokrat yang ditulis Usamah Hisyam, sebenarnya ”masih ingin bersama teman-teman mereformasi TNI”.
Dalam perjalanan pulang dari kantor Yayasan Dharma Pertiwi di kawasan Menteng, Jakarta, Yudhoyono pun menelepon istrinya, Kristiani Herrawati. Ia meminta sang istri, yang sedang ke luar rumah, pulang untuk mendiskusikan tawaran itu. ”Bantu saya berdoa, saya akan dimasukkan dalam kabinet,” ucapnya.
Potongan kisah pada Oktober sepuluh tahun silam itu cukup untuk menggambarkan hubungan Yudhoyono dengan sang istri. Lebih dari sekadar istri, Yudhoyono menjadikan Ani sebagai teman diskusi. Salah satu contoh mutakhir adalah ketika ia mengumumkan kriteria calon wakil presiden pilihannya. ”Saya mendapat masukan, termasuk yang disampaikan oleh Ibu Negara,” kata Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu beberapa pekan setelah pemilihan umum legislatif, April lalu.
Ketika mengumumkan kriteria itu, Ani ikut tampil mendampingi Yudhoyono, bersama para petinggi Partai Demokrat dan tim suksesnya. Pengumuman kriteria itu kemudian dianggap Golkar dan ketuanya, Jusuf Kalla, sebagai sinyal berakhirnya duet SBY-JK. Salah satu pendiri Demokrat, Bahauddin Thonti, mengatakan, jauh sebelum SBY mencari figur lain untuk calon wakil presidennya, Ani sudah lebih dulu enggan jika suaminya tetap bersama Kalla.
Ani Yudhoyono memang bukan berasal dari keluarga biasa. Ia putri mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang memimpin pembasmian pengikut Partai Komunis Indonesia, pascaperistiwa 30 September 1965. Seorang aktivis mahasiswa 1966 yang mengenal dekat Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat itu berpendapat Ani tipikal istri yang terlibat kegiatan suami. ”Karena cerdas, dia aktif membantu suami dalam segala hal,” kata aktivis yang enggan disebut namanya itu.
Kisah hubungan Ani dan SBY berawal di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Magelang, Jawa Tengah, pada 1973. Ketika itu, Taruna SBY diperintahkan menghadap gubernur sekolah tentara itu, Sarwo Edhie. Kebetulan saat itu Ani sedang mengunjungi ayahnya, sehingga keduanya bertemu. Mereka pun menjalin hubungan, sehingga sempat membuat khawatir ayah SBY, Pembantu Letnan Satu Soekotjo, yang ”cuma” Komandan Rayon Militer Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Kerisauan Soekotjo dimuat dalam SBY Sang Demokrat. ”Apa tidak njomplang statusmu dengan anak gubernur yang pangkatnya mayor jenderal?” tanya Soekotjo. Tapi kekhawatiran itu tak terbukti karena hubungan Yudhoyono-Ani baik-baik saja dan tidak ditentang oleh keluarga Sarwo Edhie. Pasangan ini menikah pada 30 Juli 1976. Ketika itu, pesta pernikahan Ani digelar bersama dengan kedua adik dan kakaknya, di Hotel Indonesia, Jakarta.
”Dari dulu SBY memang selalu melibatkan istrinya dalam kegiatan apa pun,” tulis Usamah Hisyam dalam SBY Sang Demokrat. Keterlibatan sang istri itu termasuk dalam hal sederhana semisal menuliskan bahan presentasi di atas plastik transparan—ketika belum ada komputer atau InFocus untuk presentasi. ”Karena SBY merasa tulisannya kurang baik, Ani sering menuliskannya kembali,” Usamah menulis.
Anggota staf khusus kepresidenan, Heru Lelono, mengatakan Ani memang memiliki peran dan pengaruh besar bagi SBY, tapi untuk urusan kenegaraan dan kampanye, ia hakulyakin SBY tak disetir istrinya. ”Saya dengar Pak SBY berkata kepada Ibu (Ani) supaya tak mencampuri urusan kenegaraan,” katanya. Bahkan, dalam memilih pakaian pun, kendati Ani memilihkan baju batik, misalnya, kata Heru, ”Sebagai pencinta batik, SBY sendiri yang akhirnya memutuskan setuju atau tidak.”
Di mata Yahya Ombara, Ani adalah istri yang sangat lekat dengan suami. ”Mungkin karena ingin sepenuhnya mendukung suami dan lantaran tuntutan protokoler,” kata Komisaris PT Kereta Api Persero, yang menjadi anggota tim sukses SBY-JK 2004. Apakah kelekatan itu mempengaruhi Yudhoyono dalam pengambilan keputusan? Pria yang kenal dekat dengan keluarga SBY saat bertugas di Yogyakarta pertengahan dekade silam itu menolak berkomentar. ”Silakan tafsirkan sendiri,” ujarnya.
Yahya mengatakan, di awal masa perkenalannya dengan keluarga SBY, ia mendapat kesan Ani adalah ibu rumah tangga yang tak mau ikut campur urusan suami. Ia mencontohkan, ketika diundang makan di rumah SBY di Palembang—saat itu SBY sudah menjabat Panglima Kodam II Sriwijaya—Ani sibuk memasak di dapur, menyiapkan makan di meja, dan kembali ke belakang. Perubahan peran Ani, kata Yahya, terasa ketika SBY mulai diusung menjadi calon wakil presiden pada 2001.
Ketika berkunjung ke Tempo pekan lalu, Yudhoyono membantah istrinya memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. ”Saya pastikan tak ada proses pengambilan keputusan karena sesuatu yang tidak sistemik. Saya tak pernah punya keputusan bangun tidur,” katanya.
Yudhoyono bercerita, sewaktu ia terpilih sebagai presiden pada 2004, istrinya bertanya hal apa saja yang boleh dilakukan sebagai ibu negara. Yudhoyono mengatakan, kendati tak ada undang-undang yang mengatur tugas ibu negara, ia meminta Ani mencontoh ibu negara lain yang terlibat menangani isu-isu pendidikan, sosial, kesehatan, dan lingkungan. ”Saya minta ia mengurusi rumah pintar, mobil pintar, perpustakaan, kesehatan, tanam pohon. That’s all. Selebihnya ia mendampingi saya,” Yudhoyono menjelaskan.
Bukan cuma Ani yang lekat di hati Yudhoyono. Ibu mertuanya, Sunarti Sri Hadiyah, yang disapa Ibu Ageng, 82 tahun, juga amat dekat dengan SBY. Heru bercerita, bila sedang di luar kota, Yudhoyono kerap menelepon menanyakan kondisi Ibu Ageng, yang juga tinggal di Cikeas.
Buku SBY Sang Demokrat menyebutkan Yudhoyono lebih dulu mengenal istri Sarwo Edhie itu sebelum mengenal Ani. Maklum, Sunarti selalu ada di rumah dinas Gubernur Akabri tiap kali SBY menghadiri acara. ”Tanpa setahu saya, ibu saya lebih dulu kenal dia. Ibu jatuh sayang kepada dia,” kata Ani dalam buku itu. Bahauddin Thonti pernah melihat betapa SBY sangat menghormati Sunarti. ”Saya lihat Pak SBY sedang makan, ketika dipanggil, langsung meletakkan piring dan menghampiri Bu Ageng,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo