Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lolos dari Persimpangan Jalan

Masa kecil Yudhoyono tak seterang karier politiknya. Dipecut perceraian orang tuanya.

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suaranya bergetar, lalu sejenak ia menatap langit-langit. Susilo Bambang Yudhoyono mengisahkan memori pada prahara keluarga orang tuanya dengan sesekali menekan dan mengelus meja. ”Ketika itu saya merasa di persimpangan jalan,” ujarnya.

Raden Soekotjo-Siti Habibah, orang tua Yudhoyono, berpisah ketika pria kelahiran 9 September 1949 itu menginjak remaja. Sang Ibu tak menikah lagi dan tinggal di Blitar, Jawa Timur. Ayahnya menikah beberapa tahun kemudian dan bermukim di Pacitan.

Sanak kerabat khawatir terhadap masa depan Yudhoyono, anak tunggal dari ayah-ibu yang berpisah. Yudhoyono juga merasa terpukul. Tapi ia cepat mengambil keputusan. ”Di persimpangan itu, saya bersumpah harus keluar dari situasi broken home dan menjadi seseorang,” ujarnya.

Dari informasi yang dikumpulkan Tempo di Pacitan, Soekotjo-Habibah bercerai ketika Yudhoyono duduk di kelas I sekolah menengah atas. Soekotjo lalu menikah dengan Muljati, janda kembang asal Desa Punung. Muljati bekas istri seorang guru sekolah dasar korban huru-hara politik 1965. Ia meninggal sebelas tahun lalu, tak lama setelah beribadah haji bersama Soekotjo. Ayahanda Yudhoyono menyusul wafat tiga tahun kemudian.

Seseorang yang mengenal dekat keluarga ini mengatakan Soekotjo adalah magnet bagi perempuan. Watini Soejitno, 85 tahun, kakak kandung Soekotjo, tak menampik soal itu. Menurut dia, adiknya memang gagah, ganteng, dan pandai berpidato. ”Biasa, namanya laki-laki, banyak godaannya. Mungkin Habibah sujanan (cemburu),” kata Watini.

Sri Banon, 80 tahun, guru Yudhoyono di sekolah dasar, mengatakan, sekitar 1966, Soekotjo kembali bertugas di Komando Rayon Militer Kebonagung di Desa Purwoasri. Bersama istri barunya, ia ingin menempati rumah yang dulu pernah dipondokinya bersama Habibah. Tapi orang lain lebih dulu tinggal di situ. Mereka tinggal jauh dari pondokan lama dan beberapa tahun kemudian pindah ke Punung. Yudhoyono lalu tinggal bersama ibu kandungnya.

Rahmad Subagyono, sahabat kecil Yudhoyono, mengisahkan kerap menjemput temannya itu. Bersama sang anak, Habibah menyewa pondokan di depan rumah sekaligus Balai Desa Ploso, tempat tinggal Watini. Berjarak sepuluh meter dari rumah Watini, rumah berdinding tembok itu masih berdiri hingga kini.

Menurut Rahmad, dulu rumah itu sempit, sekitar empat kali lima meter persegi. Dindingnya gedek dan kurang terurus. Habibah membuka warung kebutuhan sehari-hari yang menjual beras, gula, garam, minyak goreng, sabun, dan bumbu dapur.

Rahmad dan Yudhoyono berkawan dekat. Mereka membentuk klub voli yang diberi nama Rajawali. Mereka membuat grup musik Gaya Teruna. Yudhoyono bermain bas dan Rahmad vokalis. Rahmad, anak juragan tembakau, juga selalu memboncengkan Yudhoyono dengan sepeda motor Suzuki A5 miliknya.

Saking dekatnya pertemanan, Yudhoyono pernah berkeluh kepada Rahmad ihwal perceraian orang tuanya. Menurut Rahmad, sahabatnya itu sempat kalut. Anak yang semula bersih dan rapi berubah menjadi agak kumal kurang terurus.

Yudhoyono juga menjadi kurang percaya diri. Rahmad memberikan contoh, suatu kali Yudhoyono ingin menantang klub voli desa sebelah. Tapi ia tak berani ngomong dan menyuruh Rahmad menyampaikan tantangan. ”Susilo kurang percaya diri,” kata Rahmad. Di kampungnya, Yudhoyono dipanggil Susilo.

l l l

Yudhoyono lahir di sebuah rumah limas di belakang Pondok Tremas, Pacitan. Dukun bayi Tanem membantu proses kelahirannya. Dulu, ayahnya bernama Imam Adrangi dan ibunya Tugiyatun. Belakangan, Imam mengubah nama menjadi Raden Soekotjo, dan ibunya menjadi Habibah. Mereka memberi bayi itu nama Susilo Bambang Yudhoyono.

Susilo berarti lebih dan Bambang bermakna setia. Yudhoyono bentukan dari kata Yudho yang berarti perang dan Yono yang bermakna menang. Soekotjo adalah tentara berpangkat bintara. Tujuh hari tujuh malam setelah kelahiran Yudhoyono, rumah di pinggir Sungai Grindulu yang membelah Pacitan itu sibuk menerima tamu.

Para tamu bermain domino dan ceki, begadang sampai larut, yang di Jawa disebut melek jagong bayi. Soetarno, tetangga Soekotjo, banyak membantu keluarga ini. Ia bujangan 17 tahun ketika itu dan kelak menjadi jogoboyo di pemerintahan Desa Tremas. ”Mripate blalak-blalak tur lincah (matanya berbinar dan lincah),” kata Soetarno mengenang bayi Yudhoyono. Ketika Yudhoyono berusia tujuh bulan, orang tuanya menggelar wayang dengan dalang moncer Ki Cermo.

Di Tremas, orang memanggil Yudhoyono dengan sebutan ”Dik Sus” atau ”Mas Sus” untuk menghormati bapaknya yang berdarah priayi. Soekotjo anak Raden Imam Badjoeri, cucu Raden Kasanpuro, naib atau penghulu Kecamatan Arjosari.

Yudhoyono tinggal di Tremas hingga berusia sekitar tiga tahun. Setelah itu, ia mengikuti ayahnya pindah tugas ke Ploso. Ketika Yudhoyono enam tahun, Soekotjo pindah tugas ke Koramil Kebonagung. Kantor ini persis berhadapan dengan Sekolah Rakyat Purwoasri—kini Sekolah Dasar Negeri 1 Purwoasri. Keluarga ini mondok di rumah Soekajin Hardjo Soekarto, kepala sekolah itu.

Guru Sri Banon mengatakan Yudhoyono masuk kelas I ketika berusia tujuh tahun pada 1956. Ia tercatat dengan nama Susila Bambang Judajana. Ayahnya berpangkat kopral bintara Onder Distrik Militer, sebutan Koramil waktu itu.

Menurut Sri Banon, Yudhoyono berprestasi menonjol, terutama untuk pelajaran berhitung. Ia juga lebih jangkung dibanding teman-temannya. Tak seperti bocah Purwoasri lainnya, sepulang sekolah ia tak harus merumput atau mencari kayu bakar. ”Dia anak pejabat, bapaknya raden, jadi lebih bersih,” katanya.

Naik kelas V, Yudhoyono pindah ke Sekolah Rakyat Gajah Mada, kini Sekolah Dasar Negeri 1 Baleharjo, persis di seberang alun-alun Pacitan. Ia tinggal di rumah Bude Watini. Sutopo, temannya di sekolah ini, mengatakan Yudhoyono aktif bermain tenis meja dan bola voli.

Karena tubuhnya tinggi tegap, guru selalu menunjuk Yudhoyono sebagai komandan upacara. Di kelas, dia bertugas memimpin pengucapan salam untuk guru saat masuk dan pulang sekolah. Ia lulus Sekolah Rakyat Gajah Mada pada 1 Agustus 1962 dengan nilai bahasa Indonesia delapan, berhitung sembilan, dan pengetahuan umum sembilan. Ketika itu, hanya tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional.

l l l

Yudhoyono meneruskan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Pacitan, yang bersebelahan dengan Sekolah Rakyat Gajah Mada. Di sini, ia lulus ujian nasional dengan nilai sempurna 10 untuk pelajaran kewarganegaraan dan ilmu bumi. Dalam mata pelajaran lain, nilainya delapan dan sembilan. Ia jeblok di ilmu ukur, dengan nilai lima.

Ia menerima ijazah SMP pada 3 Juli 1965 dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas Pacitan. Baru tiga bulan dia masuk sekolah, huru-hara Gerakan 30 September pecah. Proses belajar-mengajar terhenti. Permulaan tahun pelajaran yang biasanya per Juli berubah menjadi per Januari. Ia menempuh kelas I SMA satu setengah tahun. Di masa-masa inilah orang tuanya berpisah. Kehidupannya berubah drastis. Ibunya harus menghidupi Yudhoyono dengan berjualan.

Untuk membantu tentara membendung Partai Komunis Indonesia, ia masuk Kompi Pelajar Serba Guna (Kijarsena), kompi tentara yang melibatkan pelajar. Menurut Prayitno, teman sekelas Yudhoyono, semua pelajar SMA Pacitan bergabung ke kompi itu. Mereka ikut mendata ulang penduduk, terjun ke desa-desa.

Lulus sekolah menengah atas, Yudhoyono ingin langsung masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Magelang pada 1969. Sayang, ia telat mendaftar. Maklum, Pacitan merupakan daerah terpencil. Ia sempat diterima di Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Tapi, seusai masa orientasi, ia keluar, dan masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama di Malang.

Setahun kemudian, ia diterima masuk Akademi Angkatan Bersenjata. ”Tingkat satu saya minder,” katanya. Sebab, SMA Pacitan baru berdiri dan kurikulumnya masih kacau. Pelajaran pun tak tuntas. Dari lima buku kimia yang mestinya selesai dibahas, di sekolah Yudhoyono hanya diajarkan dua.

Berbagai kendala itu membuat Yudhoyono tumbuh tangguh. Alam miskin Pacitan, misalnya, menantangnya lebih maju. Menurutnya, sang ayah juga mendidiknya berdisiplin, keras, punya prinsip, dan lurus. Ia berujar, ”Cara mendidik itu mungkin yang jadi values dalam pikiran saya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus