Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung York Terrace di City of Westminster, London, Inggris, itu hanya satu blok dari museum lilin terkenal Madame Tussaud’s dan tak jauh dari beberapa tempat penting, semacam Regent’s Park, Wallace Collection, dan Royal Academy of Music. Di gedung itulah dulu Prabowo Subianto menyelesaikan sekolah menengah atas. Pada kurun 1963-1970, bangunan berlantai tiga itu dipakai American School in London.
Kini, hampir 40 tahun kemudian, gedung itu masih berdiri kokoh. Namun American School sudah pindah ke One Waverly Place, kira-kira 10 menit naik bus dari York Terrace. Empat gedung di kompleks itu kini menjadi tempat tinggal para pensiunan dokter. ”Sekarang yang tinggal para dokter dari Harley Street, tapi saya jarang bertemu dengan mereka,” ujar Andi, salah satu pengelola International Student House, asrama pelajar di depan York Terrace. Ketika Tempo berkunjung ke sana Jumat dua pekan lalu, gedung itu terlihat sepi. Padahal letaknya di jantung Kota London.
Prabowo menempuh sekolah menengah atas di London ini setelah berpindah-pindah sekolah mengikuti ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, melarikan diri ke luar negeri (1957-1967). Ekonom senior itu harus meninggalkan Indonesia karena terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-Perjuangan Semesta (PRRI-Permesta). Kala itu, PRRI membentuk pemerintahan tandingan, dan Sumitro menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran.
Pada mulanya, Sumitro tinggal di Singapura selama dua tahun, lalu ke Hong Kong dan menetap di sana setahun. Kemudian dia ke Kuala Lumpur, Malaysia, tapi tersiar isu bahwa Sumitro menghasut Malaysia dalam konfrontasi dengan Indonesia, sehingga dia pindah ke Zurich, Swiss, dan tinggal di sana selama dua tahun. Kemudian dia terbang ke London, Inggris, dan sempat memindahkan basis perjuangannya ke Bangkok, Thailand.
Prabowo mengikuti keluarganya yang mengasingkan diri ke berbagai negara. Tapi, ketika Sumitro menetap di Swiss, Prabowo menyelesaikan sekolah menengah atasnya di London. American School termasuk sekolah elite. Uang sekolah para pelajarnya saat ini 19 ribu poundsterling atau sekitar Rp 317 juta per tahun. Dengan uang sebanyak itu, seorang mahasiswa non-Eropa sudah mampu menempuh studi untuk meraih dua gelar master. Uang sebesar itu juga bisa untuk membiayai sekolah satu orang calon doctor of philosophy dari Eropa.
Di era Prabowo, sekolah itu masih tergolong kecil, tapi memang sudah termasuk sekolah elite. Sekolah ini didirikan oleh bekas wartawan BBC yang juga alumnus Princeton University, Stephen L. Eckard. Sekolah yang bermula dari 13 siswa pada 1951 itu kini berkembang menjadi sekolah besar yang memiliki lebih dari 80 ruang kelas di kompleks baru yang luasnya sekitar 1,4 hektare di One Waverly Place.
Sebanyak 70 persen siswa sekolah itu berasal dari Amerika Serikat dan sisanya dari 53 negara lain. Michael, salah seorang siswa sekolah itu yang ditemui Tempo di kawasan St. John’s Wood, menyebut sekolahnya sebagai salah satu sekolah internasional Amerika terbaik di dunia. ”Kami menggunakan kurikulum Amerika,” ujar Michael.
Sekolah itu juga penting bagi pemerintah Amerika Serikat. Presiden Barack Obama menyempatkan diri mampir ke sekolah tersebut ketika menghadiri pertemuan G-20 di kota itu pada awal April lalu. Penjagaan sekolah dan daerah sekitarnya diperketat, terutama setelah tragedi 11 September 2001. ”Ini memang daerah yang benar-benar elite,” kata Netania, pengelola jaringan basis data asal Israel yang tinggal di daerah itu.
Namun tak mudah melacak jejak Prabowo di sekolah tersebut. Ketika Tempo datang dan memotret bagian depan gedung sekolah itu, seorang penjaga keamanan berbadan tegap langsung menyergap dan memaksa Tempo menghapus tiga dari empat foto yang dijepret. ”Anda tidak diizinkan mengambil foto di sini,” kata Said, penjaga asal Israel itu, pada Kamis sore dua pekan lalu.
Pihak sekolah juga enggan memberikan konfirmasi apa pun mengenai Prabowo ketika Tempo mengirim surat elektronik ke kantor alumni sekolah tersebut. ”Karena aturan perlindungan data di Inggris dan kebijakan privasi sekolah, saya tidak dapat memberikan informasi personal tentang alumni kami,” tulis Laurie Hindley, pejabat urusan hubungan alumni sekolah itu.
Tempo kemudian mendapatkan info dari Wendy Robinson, editor penerbitan media alumni sekolah itu, yang memastikan Prabowo memang pernah bersekolah di sana. ”Benar, ia tercatat bersekolah di sini sejak 1966 hingga 1968, tapi kami tidak bisa memberikan informasi lebih jauh,” katanya.
Rabecca Moore, wakil sekolah itu yang ditemui Tempo keesokan harinya, juga tak memberikan keterangan apa pun. Kali ini, Said tak tampak, tapi Ulrich, penjaga lain, langsung menghadang. ”Mereka memang paranoid dan biasa menghentikan siapa saja yang lewat tempat ini dan yang mereka anggap mencurigakan,” ujar Loura, salah seorang pelajar asal Prancis yang tinggal di kawasan ini selama dua tahun terakhir.
Di luar sekolah itu, kehidupan Prabowo dan keluarganya juga masih kabur. Beberapa warga Indonesia yang bermukim lama di London mengaku tak mengenal keluarga Sumitro. ”Mereka enggak campur dengan masyarakat. Kalau orang lain, meski enggak berhubungan dengan KBRI, masih bertemu dengan masyarakat,” kata Royandi Abas, pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia di London, yang tinggal di sana sejak 1956.
Busono Indra, bekas pelaut berusia 92 tahun yang lama tinggal di London, mengaku pernah bertemu dengan Sumitro di Belanda. Tapi ia justru tidak pernah berjumpa dengan Sumitro ketika sama-sama tinggal di London.
Selama Sumitro dalam pelarian, Prabowo juga berpindah-pindah sekolah. Dia sempat menyelesaikan sekolah dasarnya di Hong Kong pada 1961, lalu melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama di Victorian Institute, sekolah swasta paling tua dan terkenal di Kuala Lumpur, Malaysia.
Prabowo hanya dua tahun bersekolah di negeri jiran. Setelah itu, dia melanjutkan sekolahnya di International School di Zurich, Swiss, selama setahun dan menamatkan sekolah menengah atasnya di London, Inggris. Namun di Swisslah jejak kepemimpinan Prabowo terlihat.
Tanya Alwi, putri mantan diplomat Des Alwi Abubakar, menuturkan bahwa di masa itu Prabowo, yang baru berusia 14 tahun, mengambil prakarsa dalam penyusunan rancangan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Student Senate sekolah itu, semacam Organisasi Siswa Intra Sekolah di Indonesia. ”Padahal biasanya yang mengurusi senat pelajar itu adalah pelajar senior, yakni anak kelas 10 ke atas, sedangkan dia saat itu masih duduk di kelas 9,” kata Tanya, yang kala itu berusia 6 tahun.
Keluarga Des Alwi dan keluarga Sumitro bersahabat lama. Keduanya adalah pentolan Partai Sosialis Indonesia dan sama-sama diburu ketika terlibat pemberontakan PRRI-Permesta. Tanya juga membantah kabar angin bahwa Prabowo sukar berbahasa Indonesia karena lama bersekolah di luar negeri. ”Keluarga Sumitro berbahasa Indonesia dalam kesehariannya,” kata teman akrab Biantiningsih, kakak Prabowo yang menjadi istri bekas Gubernur Bank Indonesia Sudradjat Djiwandono, itu.
Dia mengenang keluarga Sumitro sebagai keluarga yang penuh disiplin. ”Protokoler banget dan sopan,” kata Tanya, yang kini menjadi salah satu Ketua Partai Gerindra. Keluarga itu, kata Tanya, hanya bersedia menerima tamu bila sudah membuat janji 2-3 hari sebelumnya. ”Di meja makan mereka juga kaku sekali,” katanya.
Menurut Tanya, selama di pengasingan, Dora Sigar, ibunda Prabowo, mengurusi sendiri hidangan makan keluarga itu karena mereka tak memiliki pembantu. Keluarga itu juga berdisiplin dalam perkara waktu makan, seperti sarapan pukul tujuh, makan siang pukul satu, makan malam pukul tujuh, dan pukul delapan semua anak sudah harus masuk ke kamar masing-masing.
Dalam suasana demikianlah Prabowo muda tumbuh. Dalam kenangan Des Alwi, Prabowo tampak lebih cepat matang dan mulai mengenal politik. ”Dia sudah tahu siapa musuh-musuh bapaknya,” kata Des. Bahkan Prabowo sempat berdebat dengan Des mengenai ada-tidaknya Dewan Jenderal dalam kasus Gerakan 30 September 1965 di Indonesia, yang terjadi ketika keluarga Sumitro sedang bermukim di Zurich.
”Prabowo percaya adanya Dewan Jenderal setelah membaca Cornell Paper, tapi saya membantahnya,” kata Des, yang saat itu sedang menjenguk keluarga Sumitro di sana. Cornell Paper adalah laporan analisis Ben Anderson dan para peneliti Universitas Cornell mengenai peristiwa 1965 tersebut.
Des tak begitu ingat bagaimana perdebatan itu berlangsung. Namun dia masih ingat bahwa Prabowo terlihat keras dan ambisius, termasuk soal cita-citanya membereskan masalah di negerinya. ”Kalau nanti saya berkuasa, akan saya bereskan semuanya,” kata Des, menirukan ucapan Prabowo muda kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo