Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH beratap seng berdinding tripleks itu berukuran tiga kali empat meter. Kamar tidurnya menyatu dengan dapur. Mary Jane Fiesta Veloso, suami, dan dua anaknya dulu tinggal di rumah yang berdiri di Desa Esguerra, Talavera, Provinsi Nueva Ecija, Filipina, itu. "Kondisinya tidak banyak berubah seperti saat ia masih tinggal di sini," kata Floramay Ladrillano, sepupu Michael Candelaria, suami Mary Jane, kepada Tempo, Selasa siang pekan lalu.
Mary Jane tinggal di rumah itu sejak 2002. Lima tahun lalu, ia meninggalkannya untuk menjadi tenaga kerja di Malaysia. "Persoalan ekonomi mendorongnya mencari pekerjaan yang lebih baik," ujar Floramay.
Nasib mengubah perempuan 30 tahun itu menjadi pesakitan. Ia ditangkap petugas Bea dan Cukai Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, ketika hendak "berlibur" di kota itu pada April 2010. Petugas menemukan 2,6 kilogram heroin di tasnya. Enam bulan kemudian, Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan hukuman mati. Seluruh proses hukum yang ditempuhnya—dari banding, kasasi, grasi, sampai peninjauan kembali—gagal.
Perempuan kelahiran Baliuag, Provinsi Bulacan, ini masuk daftar sembilan terpidana mati yang hendak dieksekusi di Lapangan Tembak Limus Buntu, Nusakambangan, Rabu dinihari pekan lalu. Tapi Presiden Joko Widodo memutuskan menundanya. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana mengatakan keterangan Mary Jane dibutuhkan dalam penyelidikan kasus perdagangan manusia yang melibatkan Maria Kristina Sergio.
Selasa siang pekan lalu, Kristina bersama pacarnya, Julius Lacanilao, menyerahkan diri ke kantor polisi di Cabanatuan City. Kristina tak lain orang yang menawari Mary Jane bekerja di Malaysia. Ia juga yang meminta Mary Jane "berlibur" ke Yogyakarta setelah keduanya tiba di Malaysia. Perempuan 44 tahun ini menyediakan tiket pulang-pergi Kuala Lumpur-Yogyakarta, plus uang saku US$ 500, untuk Mary Jane.
Kabar penundaan eksekusi Mary Jane disambut gembira ratusan orang yang menggelar demonstrasi di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jalan Salcedo, Manila. Mereka berpelukan.
SATU tahun sebelum ke Malaysia, Mary Jane bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Dubai, Uni Emirat Arab. Menurut Edward Laurente, kakak ipar Mary Jane, tekanan ekonomi mendorongnya bekerja di sana. Bungsu dari lima bersaudara ini mengikuti jejak tiga kakak perempuannya yang bekerja sebagai buruh migran.
Mary Jane hanya bertahan 10 bulan. "Ia mengalami trauma akibat kekerasan seksual," ujar Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana. Pelaku percobaan pemerkosaan adalah pria berkewarganegaraan India. Mary Jane sempat dirawat satu bulan di rumah sakit setempat sebelum kembali ke Filipina. Meski cuma 10 bulan di sana, kata Edward, Mary Jane beberapa kali mengirim uang buat keluarganya.
Sepulang dari Dubai, Mary Jane kembali ke Esguerra. Ia berkumpul kembali dengan Michael Candelaria, pria yang dinikahinya sejak 2002. Dari pernikahan itu, Mary Jane memiliki dua anak, Mark Daniel, 12 tahun, dan Mark Darren, 6 tahun.
Ia lalu menggunakan sisa uang yang diperoleh dari Dubai sebagai modal membeli becak motor. Dengan kendaraan itu, Mary Jane dan suaminya berkeliling menjual peralatan rumah tangga. "Tapi usaha ini cuma bertahan dua bulan," kata Floramay.
Mary Jane mencari pekerjaan lain. Tetangga Mary Jane, Maria Kristina Sergio, menawarinya bekerja di Malaysia. Keduanya sering bertemu karena jarak rumah mereka cuma 30 meter. Bukan kebetulan, wali nikah Mary Jane dan Michael adalah mertua Kristina. "Mary Jane percaya bujuk rayu Kristina," ujar Floramay.
Di depan Mary Jane, Kristina berjanji bisa mengurus izin kerja cuma empat hari—jauh lebih cepat daripada proses normal izin bekerja di luar negeri, yang memakan waktu lima-enam bulan. Menurut Floramay, Kristina paham seluk-beluk proses pengurusan izin kerja, baik legal maupun ilegal.
Agar bisa berangkat ke Malaysia, Mary Jane harus menyetorkan sejumlah uang kepada Kristina. Jumlahnya 20 ribu peso atau sekitar Rp 5,8 juta. Menurut Edward, Mary Jane mendapat pinjaman dari ibunya 13 ribu peso. Untuk menutup sisanya, ia menjual becak motor dan telepon seluler miliknya kepada Kristina senilai 7.000 peso.
Mary Jane masuk ke Malaysia pada 21 April 2010. Ia dan Kristina menginap di Sun Inn Lagoon Hotel di Kuala Lumpur. Selama di kota itu, Kristina membelikan banyak pakaian buat Mary Jane. Tiga hari di sana, Mary Jane diminta pergi ke Yogyakarta. "Ia dijanjikan pekerjaan di Malaysia sepulang dari Indonesia," ucap Azriana.
Dari hasil keterangan yang diperoleh Komnas Perempuan, Mary Jane memperoleh tas dari Kristina. Tas itu, kata Azriana, dipakai buat menyimpan pakaian dan peralatan pribadi Mary Jane. Dengan tas itu, ia terbang dari Kuala Lumpur ke Yogyakarta menggunakan pesawat AirAsia nomor penerbangan AKA 594 pada 25 April 2010.
Mary Jane tiba di Bandara Adisutjipto sekitar pukul 08.30 WIB. Setelah ia melewati mesin sinar-X, petugas Bea dan Cukai meminta tasnya diperiksa sekali lagi. "Karena hasil pencitraannya mencurigakan, kami buka dan cek isi tasnya di meja pemeriksaan," ujar Sutarto Tri Antoro, petugas yang memeriksa Mary Jane ketika itu, kepada Tempo. Semua pakaian dan perlengkapan pribadi Mary Jane saat itu mulai dikeluarkan.
Tas hitam merek Polo Paite itu diperiksa sekali lagi melewati mesin sinar-X. Hasilnya tetap mencurigakan. Karena itu, Mary Jane dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di tempat itu, petugas Bea dan Cukai memeriksa kembali tasnya dan menemukan sebuah bungkusan aluminum foil dibalut lakban hitam. Bungkusan itu disembunyikan di balik kulit tas bagian dalam. Mary Jane menyatakan bungkusan itu bukan miliknya.
Mereka lalu membawa Mary Jane ke kantor Bea dan Cukai yang lokasinya persis berada di depan Bandara Adisutjipto. Di situ, petugas membuat berita acara pemeriksaan pendahuluan. "Hasilnya kami serahkan ke polisi sore itu juga," kata Sutarto. Saat diserahkan ke polisi, Mary Jane baru menangis.
Selama proses pemeriksaan di bandara, Mary Jane cukup kooperatif. Ia, misalnya, mengakui tas hitam itu miliknya. Ia selalu mempersilakan petugas memeriksa seluruh tasnya. Sutarto mengatakan Mary Jane bahkan terkesan seperti tidak tahu ada barang terlarang di dalam bungkusan aluminum foil.
Namun, menurut Sutarto, pelaku penyelundupan banyak berperilaku seperti itu. "Mereka pada umumnya tenang," ujarnya.
SETELAH Cesar dan Celia Veloso tahu Mary Jane ditahan di Indonesia, Kristina Sergio adalah orang pertama yang mereka datangi. Kedua orang tua Mary Jane ini menanyakan kenapa anaknya bisa ditangkap kepolisian Indonesia. Kristina saat itu berjanji kepada orang tua Mary untuk membebaskan Mary Jane. "Kami sindikat besar dan siap membayar jutaan peso," kata Kristina, seperti ditirukan Edward. Tapi janji itu tidak pernah terlaksana.
Di depan Kristina, orang tua Mary tidak terima anak bungsunya dituduh sebagai penyelundup narkotik. Kepada media lokal di Filipina, Cesar Veloso mengatakan keluarganya tidak akan miskin seperti sekarang bila anaknya terlibat sindikat penyelundupan obat-obatan terlarang.
Hingga kini, orang tua Mary Jane masih tinggal menumpang di tanah milik keluarga menantunya. Menurut Edward Laurente, mertuanya bahkan pernah tinggal di dalam gubuk kardus. "Mereka tidak pernah lama menetap di satu tempat," ujarnya. Pekerjaan orang tua Mary Jane adalah pengumpul dan penjual barang bekas.
Dinding rumah orang tua Mary Jane terbuat dari anyaman bambu. Atapnya terbuat dari seng. Dinding belakangnya bolong, ditutup sehelai pakaian. Di depan rumah ini terpampang sepotong kardus bertulisan "Selamatkan saudari sebangsa kita Mary Jane Veloso". Di rumah ini pula perempuan yang hanya menempuh pendidikan sampai kelas I sekolah menengah pertama itu menetap sebelum menikah.
Sederet foto Mary Jane berbalut gaun saat mengikuti fashion show di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan dipampang di dinding rumah. Foto itu berdampingan dengan belasan foto keluarga saat membesuk Mary Jane di Wirogunan.
Empat hari setelah Mary Jane ditahan di Yogyakarta, Kristina pulang dari Malaysia ke Filipina. Sejak itu, menurut Floramay, Kristina tidak pernah pergi ke luar negeri lagi. Ia beraktivitas seperti biasa. Beberapa tetangganya yang ditemui pekan lalu mengatakan ia masih merekrut orang yang ingin bekerja di luar negeri.
Floramay menambahkan, setidaknya dua kali Kristina menggunakan balai desa untuk mengumpulkan warga Esguerra yang tertarik bekerja di luar negeri. "Ia juga memberi pelajaran bahasa Jepang," kata Floramay. Tapi Kristina selalu membantah menjadi perekrut tenaga migran.
Kesaksian di pengadilan juga menyebut kembali nama Kristina. Perempuan yang berjanji memberikan pekerjaan itu meminta Mary Jane menyerahkan tas hitam kepada seseorang bernama Ibon di Yogyakarta. Sebelumnya, tas hitam itu diterima Kristina dari pria berinisial Ike di pelataran parkir Sun Inn Lagoon Hotel, Kuala Lumpur. Julius, pacar Kristina, hadir di parkiran tersebut.
Kepada Nuraini, penerjemah yang mendampinginya selama sidang di pengadilan negeri, Mary Jane berkali-kali mengaku tidak mengerti isi tas yang ia bawa. "Sembari menitikkan air mata, ia mengaku hanya disuruh temannya," ujar Nuraini. Setidaknya lima kali Nuraini mendampingi Mary Jane di pengadilan negeri. Ia juga mengaku ikut mendampingi Mary Jane selama menjalani proses pemeriksaan di Kepolisian Daerah Yogyakarta.
Setelah Kristina menyerahkan diri, Departemen Kehakiman Filipina akan menggelar pemeriksaan awal terhadap kasus Mary Jane pada 8 Mei. Kepada media lokal Filipina, Leila de Lima, Menteri Kehakiman Filipina, mengatakan Biro Nasional Investigasi (NBI) Filipina telah berkoordinasi dengan Malaysia untuk mengidentifikasi pria berinisial Ike yang ikut menyerahkan tas di pelataran parkir Sun Inn Lagoon Hotel. "Termasuk mengidentifikasi asal-usul pria tersebut," ujar De Lima. Ike diduga keturunan Afrika.
Direktur NBI Virgilio Mendez kepada pers di Manila mengatakan tiga sekawan itu akan dijerat kasus rekrutmen ilegal dan perdagangan manusia. "Kristina dan Julius juga tidak memiliki lisensi atau otoritas untuk merekrut tenaga kerja buat dikirim ke luar negeri," ujarnya. Kesaksian Mary Jane, kata dia, akan berguna untuk menimbang kejahatan yang dilakukan Kristina, Julius, dan Ike. Kristina membantah terlibat kejahatan yang dituduhkan Virgilio. "Saya menyerahkan diri karena mendapat ancaman pembunuhan," katanya.
Apa pun hasil persidangan di Filipina, Direktur Migran Care Anis Hidayah menyebutkan Mary Jane seharusnya diposisikan sebagai justice collaborator buat membongkar kejahatan yang lebih besar. "Apalagi banyak kasus sindikat perdagangan manusia beririsan dengan sindikat narkoba," ujarnya.
Yandhrie Arvian, Suryo Wibowo (Nueva Ecija, Manila), Shinta Maharani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo