Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Mimpi Buruk Berlalu

Gempa mengubah Kathmandu menjadi kota tenda. Pengungsi hidup dengan gotong-royong dan menerima bantuan internasional.

4 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalanan Kathmandu, ibu kota Nepal, berubah menjadi area perkemahan. Ribuan orang mendirikan terpal dan tenda darurat. Lapangan hijau area militer tak luput dari serbuan mereka. Hujan deras, tenda bocor, dan genangan air di sekitar tenda tak membuat mereka pindah.

Orang-orang ini adalah pengungsi yang memilih berada di tempat terbuka pascagempa berkekuatan 7,8 Skala Richter mengguncang Nepal pada Sabtu dua pekan lalu. "Lebih baik di sini, aman," kata Rasan Thama, 27 tahun, buruh yang membawa keluarganya tinggal di tenda, seperti dilaporkan LA Times, Senin pekan lalu. Mereka menjauhi bangunan yang rusak dan tembok-tembok.

Tenda menjadi barang yang dicari-cari di Kathmandu. Keluarga-keluarga miskin antre untuk mendapatkannya dari Palang Merah Internasional (ICRC) dan tentara India yang datang ke Nepal. Di kawasan Bagbazar Sadak, mobil jip yang membagikan tenda plastik dikerumuni massa hingga dipaksa pindah oleh otoritas setempat. "Semua orang bilang gempa akan terjadi lagi. Tidak ada yang tidur di rumah," ujar Samir Thapa, pengungsi berusia 30 tahun.

Bahkan pasien luka di Kathmandu Medical College menolak dirawat di dalam rumah sakit. Kedar Prasad Srivastav, 75 tahun, misalnya. Padahal berada di luar rumah sakit berarti menahan dingin dan gigitan nyamuk. "Kami sudah meminta pasien untuk pindah ke dalam, tapi mereka menolak karena takut gempa," kata Sajipta Panth, dokter di situ.

Gempa Nepal membuat hampir sekurang-kurangnya 5.000 orang tewas dan lebih dari 8.000 orang mengalami luka-luka. Perdana Menteri Sushil Koirala mengatakan jumlah korban tewas bisa membengkak hingga 10 ribu orang. Inilah gempa terburuk di negeri Himalaya itu dalam 80 tahun terakhir. Lembaga konsultan ekonomi IHS menyebutkan Nepal jadi merugi lebih dari US$ 5 miliar atau 20 persen dari produk domestik bruto negara itu. US Geological Survey bahkan menyatakan kerugian ekonomi bisa mencapai US$ 10 miliar.

Para ilmuwan sebenarnya sudah sejak dulu memperkirakan gempa besar akan menggoyang Nepal. Menurut BBC, mereka pernah memetakan tekanan gempa bumi sepanjang jalur patahan di bawah Himalaya dalam 10 tahun terakhir. Kathmandu pun termasuk 21 kota rawan gempa di dunia. Gempa besar sebelumnya terjadi di lembah Kathmandu pada 1934. Korban jiwa saat itu sekitar 10 ribu orang.

Sepekan sebelum gempa kali ini, 50 ilmuwan gempa dan ilmuwan sosial berkumpul di Kathmandu membahas antisipasi gempa. "Ini mimpi buruk. Saya berjalan di area gempa saat ini dan saya pikir area itu akan bermasalah," ujar James Jackson, seismolog Earthquake Without Frontiers, seperti dilaporkan CBC, Senin pekan lalu.

Selain karena gempa, yang merupakan faktor alam, situasi bertambah buruk karena faktor manusia. Seismolog US Geological Survey, David Wald, menyebutkan gempa dengan kekuatan yang sama bisa berdampak lebih sedikit di tempat lain karena faktor konstruksi bangunan dan populasi. Sebagai perbandingan, guncangan gempa Nepal bisa membuat 30 per sejuta orang tewas di California. Di Nepal, korban tewas bisa 1.000 per sejuta orang. "Bangunanlah yang membunuh orang, bukan gempanya," kata Jackson.

Sebenarnya penduduk Nepal tahu mereka berada di wilayah patahan tektonik dan terbiasa dengan getaran. "Mereka tahu ada masalah, tapi itu terlalu besar. Mereka tidak tahu bagaimana mulai menyelesaikannya," ujar Hari Kumar, Koordinator GeoHazard International cabang Asia Tenggara, kelompok antisipasi gempa.

Pertumbuhan penduduk lembah Kathmandu mencapai 6,5 persen tiap tahun. Lembah ini salah satu kawasan urban terpadat di dunia dengan 1,5 juta jiwa di dalamnya.

Parahnya, gempa tak dibarengi reaksi cepat pemerintah. Koran The New York Times melaporkan, meski pemerintah Nepal ikut mendirikan tenda dan susah payah mendistribusikan makanan serta air, tetap ada keluhan dari pengungsi. Mereka mengatakan bantuan tak sampai atau datang terlambat. "Menurut saya, pemerintah tidak melakukan apa pun," kata Sudesh Tulachan, pekerja bangunan dan pemilik toko yang tinggal di tenda pengungsi Kathmandu. "Hanya tenda ini yang disediakan pemerintah. Selebihnya, kami harus mencari sendiri."

Juru bicara tentara Nepal, Brigadir Jenderal Jagadish Pokharel, mengklaim tujuan utamanya menyelamatkan korban. "Kami juga mencoba mensinkronkan dengan distribusi kebutuhan penduduk. Kami akan melakukan yang terbaik," ujarnya. Adapun koordinator Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jamie McGoldrick, mengatakan, berdasarkan pengamatannya, pemerintah Nepal belum tampak terorganisasi hingga hari ketiga pascagempa. "Birokrasinya sedikit lamban."

Produser CNN, Ingrid Formanek, yang tiba di lokasi pada Ahad malam, mengatakan warga Kathmandu bahu-membahu demi mendapatkan makanan dan air minum. "Ada dapur bersama untuk memasak, bukan dari pemerintah, melainkan dari warga sendiri," dia melaporkan pada Selasa pekan lalu.

Pusat bantuan gempa sendiri berada di Bandar Udara Internasional Tribhuvan di pinggiran Kathmandu, tepatnya di terminal penerbangan domestik yang berdekatan dengan markas militer. Di sana, pesawat India, Cina, dan Amerika Serikat tiba dengan pasokan air, makanan, tenda, tandu, obat-obatan, dan bantuan lain. Para personel militer Nepal mengatur masuknya bantuan dan mengoperasikan helikopter pembawa korban luka dari area terpencil.

Sehabis gempa, wabah penyakit, seperti campak, diare, dan gangguan saluran pernapasan, menghantui pengungsi. Christopher Tidey, juru bicara Badan Anak Dunia (UNICEF), mengatakan banyaknya orang tinggal bersama di tempat terbuka meningkatkan risiko terpapar penyakit. UNICEF, menurut dia, berusaha menyediakan tangki air minum yang aman untuk pengungsi. Ada juga oralit dan suplemen zat besi penangkal diare, vaksin untuk mengatasi campak, serta tenda bagi ibu menyusui.

Bantuan lain datang dari ICRC, yang mengirimkan 19 ribu kotak berisi pakaian, peralatan dapur, dan alat kebersihan pribadi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mendistribusikan pasokan medis untuk keperluan 40 ribu orang selama tiga bulan.

Bagaimanapun, masih ada warga yang tampak berusaha membiasakan diri hidup di tenda pengungsian. Sony Tamand, misalnya. Lelaki 20 tahun itu mengungsi bersama enam saudara perempuan dan sepupu. Menurut pengamatan LA Times, mereka duduk melingkar, saling bercerita dan bercanda sambil makan mi instan.

Tamand dan keluarganya tak tahu sampai kapan mereka hidup di tenda. Meski demikian, dia mengaku saat ini bahagia masih berkumpul bersama keluarga. "Bagi saya, sekarang bukan saatnya memikirkan masa depan."

Atmi Pertiwi (LA Times, The New York Times, CNN, BBC, CBC, Live Science)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus