Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap buku punya jejak berbeda pada para pembacanya. Ada buku yang hanya membuat kita tahu akan sesuatu. Tapi ada juga buku yang memaksa kita masuk ke dalamnya dan berkelana dalam dunia yang diciptakan penulisnya. Hal itulah yang terjadi pada Nigel Bullough alias Hadi Sidomulyo dan Fendi Siregar. Begitu besar rasa penasaran keduanya pada buku yang mereka baca hingga Hadi dan Fendi menapaktilasi sejumlah tempat yang disebut dalam dua buku itu: NagaÂrakretagama dan Serat Centhini.
Masalahnya, kedua buku ini ditulis ratusan tahun lalu. Tempat yang disebut penulis kedua buku itu tentu sudah berubah. Bahkan nama-nama telah berganti. Tapi justru di situlah letak keunikan penelusuran mereka. Menemukan tempat-tempat tersebut seolah-olah mengungkap misteri yang ada di setiap lembar kedua buku itu.
Hadi, 60 tahun, menjelajahi tempat-tempat yang diceritakan Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakretagama. Hasil penelusuran itu kemudian disusun dalam buku Napak Tilas Mpu Prapanca (2007). Akhir Oktober lalu, dalam forum Borobudur Writers and Cultural Festival di Aula Hotel Manohara, Borobudur, Jawa Tengah, ia menceritakan kembali kisahnya menapaktilasi perjalanan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit itu selama lebih dari tiga jam.
Menurut Hadi, Nagarakretagama punya tempat yang cukup istimewa dalam sejarah Jawa. Kitab ini merupakan buku sejarah yang menjelaskan kehidupan sosial-politik, keagamaan, dan budaya di masa Majapahit—jauh dari aspek mitologi layaknya naskah kuno Ramayana, Arjunawiwaha, Bharatayudha, Asmaradhana, atau Sutasoma. Semua informasi itu ditulis Prapanca setelah mengikuti perjalanan Hayam Wuruk ke sejumlah wilayah kekuasaan Majapahit pada 1359. Perjalanan selama tiga bulan, September-Desember, itu terbentang sepanjang 700 kilometer dari pusat pemerintahan Majapahit di Trowulan ke arah timur di Blambangan.
Perkenalan Hadi dengan naskah Nagarakretagama berawal pada 1989. Saat itu, ia diajak koleganya bergabung dalam tim ekspedisi yang bertugas menelusuri potensi wisata dan kebudayaan di Jawa Timur. "Waktu itu saya mendapat buku Nagarakretagama terjemahan Slametmuljana (1953). Menurut saya, itu buku peta pariwisata paling tua di Indonesia. Makanya selalu saya bawa selama perjalanan," ujarnya.
Kesimpulan Hadi tidak berlebihan. Dalam kitab tersebut, Prapanca sedikitnya menyebut 200 nama tempat. Beberapa di antaranya adalah tempat yang panorama alamnya sangat menakjubkan, bahkan masih dijadikan obyek wisata hingga sekarang.
Penentuan nama-nama tempat itu memang sudah banyak dikaji peneliti. Namun kajian mereka punya satu kelemahan. Belum ada satu peneliti pun yang mau terjun ke lapangan menapaktilasi tempat-tempat tersebut. Padahal, dalam rentang waktu ratusan tahun, sebuah desa bisa saja hilang atau berganti nama.
Terbukti, saat berkunjung ke lokasi air terjun Madakaripura, Probolinggo, Hadi menemukan banyak kejanggalan. Toponimi—nama unsur-unsur rupabumi—desa-desa di sekitarnya ternyata tidak cocok dengan penjelasan Prapanca. Hanya satu desa—dari sebelas desa—yang dapat ia temukan. Sedangkan jejak arkeologis di sekitar daerah itu sangat minim. (Baca "Melacak Gajah Mada".) Artinya, Madakaripura (Mada = Gajah Mada, kari = terakhir, pura = pertapaan) yang terletak di kaki Gunung Bromo dan diyakini sebagai pertapaan terakhir Gajah Mada itu mungkin tak benar.
Kejanggalan itulah yang membuat Hadi tergerak memeriksa kesimpulan para peneliti sebelumnya. Berbagai literatur yang terkait dengan naskah itu ia pelajari kembali. Ia bahkan berhasil memaksa dirinya menguasai bahasa Jawa kuno dan Belanda. Literatur yang cukup menolong perjalanannya adalah buku Bujangga Manik yang ditulis pada abad ke-16. Begitu pula terjemahan kitab Nagarakretagama yang ditulis pakar bahasa Jawa kuno di Leiden, Belanda, Stuart O. Robson (1995). Buku Robson melengkapi enam salinan kitab Nagarakretagama dan berhasil menerjemahkan beberapa kalimat yang tak dapat dipahami para pakar sebelumnya.
Kesimpulan soal Madakaripura dinyatakan dosen Universitas Gadjah Mada, Timbul Sunyoto. Letak Madakaripura yang selama ini menjadi anggapan umum bisa saja salah. Sebab, toponimi desa-desa yang disebut Prapanca dibuat secara runtut. "Rutenya itu berurutan. Jika tidak cocok, pantas diragukan," katanya.
Kendati demikian, Timbul mengaku tidak dalam posisi mendukung sepenuhnya kesimpulan Hadi. Banyak hal yang mungkin harus diuji kembali untuk memastikan perubahan nama-nama tempat tersebut. "Karena perubahan lambang bunyi tidaklah serta-merta merujuk pada tempat yang sama," ujarnya.
Pada 1998, Hadi memulai ekspedisinya. Tempat-tempat yang pernah disinggahi Hayam Wuruk ia telusuri kembali satu per satu. Misalnya yang tersebut dalam pupuh (syair) 17-39 Nagarakretagama. Rute perjalanan itu dimulai dari Trowulan, ke Pasuruan, Probolinggo, hingga Lumajang, lalu menyisir pantai selatan dan berbelok ke arah Jember, Bondowoso, Situbondo, dan pulang melalui rute pantai utara. Petualangan itu ada kalanya harus ia susuri melewati perbukitan dan menyisir garis pantai yang tidak memiliki akses kendaraan sehingga harus ditempuh dengan jalan kaki hingga puluhan kilometer. Berat memang. Apalagi petualangan selama tiga tahun itu ia jalani tanpa dukungan sponsor.
Tantangan ekspedisinya tidak sebatas itu. Sebagian besar desa yang ia temukan hampir tidak bisa dikenali sesuai dengan nama aslinya. Mayoritas telah berganti nama. Agar mudah, Hadi menggunakan toponimi desa yang namanya masih bertahan. Desa itu dijadikan petunjuk guna menelusuri desa-desa lain. Saat melacak rute perjalanan Raja di hari pertama, misalnya, ia cukup menjadikan Trowulan dan Kepulungan sebagai patokannya. Ia lalu mencari sebelas desa lain di sekitar dua tempat tersebut, seperti Japan, Pendowo, Tebu, dan Daluan. Ternyata nama Japan telah hilang (meski sebenarnya ada Japanan di dekat sana). Desa Tebu masih ada. Sedangkan Desa Pendowo dan Daluan sudah berubah nama.
Sejumlah sesepuh desa yang Hadi temui membenarkan adanya perubahan nama. Desa Modopuro dulunya memang bernama Daluan. Adapun Pendowo mengalami perubahan gejala fonetis menjadi Pandaan. "Pendowo itu kota tua. Ternyata tempat itu juga disebut Mpu Bharada dalam serat Calon Arang, naskah yang dibuat pada masa Kediri (abad ke-12, sebelum Majapahit). Lokasinya juga tidak jauh dari toponimi desa sekitar," ujarnya. Sejumlah literatur, baik yang berupa naskah kuno seperti Calon Arang maupun buku-buku lain yang lahir setelahnya, memang dia pakai sebagai pendukung.
Ada cara lain yang digunakan Hadi untuk melacak perubahan nama-nama desa. Satu di antaranya dengan mengenali perubahan lambang bunyi. Contoh unik ia dapati ketika mencari Desa Kamirahan yang dijelaskan Prapanca berada di sekitar pantai selatan, tidak jauh dari Lumajang. Dalam peta, nama desa itu tidak lagi terdeteksi. Dugaan Hadi kala itu mengarah pada suatu tempat di sekitar Pantai Bambang. Tebakannya jitu. Sesepuh desa yang ia temui mengatakan Pantai Bambang dulunya bernama Kamirahan, lalu berubah menjadi Abang-abang (abang = merah) dan belakangan sebutan desa itu menjadi lebih ringkas: Pantai Bambang.
Di sekitar Pantai Paseban, Jember selatan, desa yang ia temukan tidak hanya berubah nama. Tempat yang dijelaskan Prapanca dengan sebutan Rabut Lawang rupanya mengalami perubahan topografi. Dalam gambarannya, Rabut Lawang adalah muara Sungai Bondoyudo. Iring-iringan rombongan Raja yang akan melintasi sungai itu sempat terhenti. Mereka harus menunggu air surut sebelum menyeberang. Nah, seseorang yang tidak jeli membaca perubahan tata kota pasti akan terjebak. Sebab, di zaman Belanda, aliran Sungai Bondoyudo dialihkan ke arah timur mengikuti garis pantai sepanjang empat kilometer. Sungai itu kini bermuara di Desa Tempuran.
Migrasi kelompok masyarakat juga ikut mempengaruhi perubahan nama tempat. Hal itu Hadi temukan saat mencari Desa Alang-alang Dhowo. Alkisah, di Pacaron, tempat yang disinggahi selepas Panarukan, rombongan Raja Hayam Wuruk sempat melintasi desa tersebut. Desa yang juga diceritakan dalam serat Calon Arang ini tidak lagi terekam dalam peta. Namun jejaknya masih bisa ditelusuri dari keterangan sesepuh desa, khususnya mereka yang berasal dari etnis Madura. "Desa itu sekarang bernama Lang Debhe. Debhe itu bahasa Madura, artinya tinggi. Perubahan itu terjadi karena dulu banyak warga Madura yang bermigrasi ke tempat tersebut," ujar Hadi.
Menurut Hadi, hasil penelusurannya kala itu berhasil menemukan 80 persen desa saja. Sisanya sulit dilacak karena banyak sebab. Di Lumajang, misalnya, ia gagal memastikan rute perjalanan karena keterangan yang dibuat Prapanca sangat minim. "Ini satu-satunya tempat yang miskin informasi. Seolah-olah di tempat itu dulu tidak ada orang," ujarnya.
Tidak puas dengan temuannya, Hadi mengulang ekspedisinya pada 2006. Sebuah alat pelacak tempat (global positiÂoning system) selalu ia bawa ke mana pun pergi. Kini siapa pun yang ingin pelesiran gaya raja bisa melacaknya dengan mencari titik koordinat yang ia buat. Temuan rute perjalanan Hayam Wuruk ini berpotensi dikembangkan sebagai obyek wisata baru di Jawa Timur.
Juru foto Fendi Siregar, 63 tahun, punya pengalaman yang tidak kalah unik. Pada 2004, ia bertualang menelusuri jejak perjalanan tiga pujangga Keraton Mangkunegaran, penulis Serat Centhini. Selama hampir tiga tahun, puluhan tempat di Pulau Jawa ia kunjungi. Seluruh pernak-pernik kehidupan dan kebudayaan mereka ia amati, lalu ia abadikan dalam jepretan kamera dan ditampilkannya dalam pameran bertajuk "Sisi Lain Serat Centhini: Sebuah Tafsir Visual" (2009). Kerja keras Fendi menuai apresiasi yang tidak kecil. Beberapa pameran yang ia gelar di luar negeri berhasil memikat perhatian kalangan jetset. Mereka bahkan berniat menyewa kereta presiden untuk melakukan perjalanan wisata keliling Jawa.
Napak tilas itu punya tantangan tersendiri. Di usianya yang tidak lagi muda, Fendi harus menyusuri pantai, bukit, dan tempat-tempat yang hampir dilupakan banyak orang. Medan yang cukup berat itu ada kalanya harus ia tempuh dengan berjalan kaki. Kadang Fendi tidur berhari-hari di dalam mobil. Di banyak tempat, ia masih bisa menemukan jejak kebudayaan masa lalu dengan mudah. Tempat-tempat petilasan dan candi merupakan beberapa di antaranya. Namun tidak jarang dia gagal. Terutama di tempat-tempat yang lokasi dan obyek ceritanya sulit dilacak. "Saya harus menerjemahkan semua itu dalam bentuk foto. Memang kurang masuk akal, tapi ini tantangan," ujarnya.
Timbul Sunyoto cukup ragu terhadap keberadaan nama-nama tempat yang dijelaskan dalam Serat Centhini, yang berbentuk fiksi—berbeda dengan Nagarakretagama, yang merupakan catatan perjalanan. Pada sebuah karya yang dikemas dalam bentuk fiksi, nama-nama tempat yang dimaksud bisa jadi cuma fiktif belaka. "Ini yang mungkin cukup menyulitkan bagi Fendi Siregar," katanya.
Petualangan Fendi berawal dari pertemuannya dengan sejumlah pemerhati budaya yang ingin memperkenalkan khazanah kebudayaan Jawa lewat penggambaran Serat Centhini. Buku ini sengaja mereka jadikan panduan karena di dalamnya banyak terhimpun seluk-beluk alam batin dan pikiran masyarakat Jawa. Serat Centhini merupakan ensiklopedia, baboning pangawikan Jawi, atau induk pengetahuan masyarakat Jawa yang hidup dan berkembang sejak ratusan tahun lalu. Jejak keberadaannya bahkan masih bertahan hingga kini. "Serat itu merupakan mahakarya penting dalam kesusastraan Jawa," ujarnya.
Serat Centhini atau yang juga dikenal dengan Suluk Tambangraras dibuat pada 1742 tahun Jawa atau 1814 Masehi. Terdiri atas 12 jilid dengan lebih dari 4.000 halaman, proses penulisannya dipimpin Pangeran Adipati Anom dengan bantuan tiga pujangga istana: Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura, dan Raden Sastradipura. Sebelum menuliskan kitab tersebut, ketiganya melakukan ekspedisi. Ranggasutrasna menjelajahi wilayah timur Jawa, Yasadipura ke Jawa bagian barat, sedangkan Sastradipura berangkat ke Tanah Suci untuk menggali pengetahuan tentang agama Islam. (Lihat "Peta Perjalanan Tiga Pujangga".)
Semua pengetahuan yang mereka peroleh kemudian dikemas laiknya sebuah novel fiksi yang bercerita tentang kisah pengembaraan putra-putri Sunan Giri: Jayengresmi (Syekh Amongrogo), Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti. Dalam cerita itulah khazanah budaya dan pengetahuan masyarakat Jawa dimunculkan sebagai latar, dari agama, adat-istiadat, ilmu kebatinan, makna suara hewan, watak tokoh-tokoh Pandawa dan Kurawa, seni tari, batik, pertanian, keris, candi, arsitektur, legenda, primbon, hingga urusan seks dan homoseksualitas. Semua itu dinarasikan dalam bentuk tembang yang jumlah keseluruhannya 725 lagu.
Dari semua tempat yang hendak dikunjungi, Fendi mengaku hanya mengenal sekitar 10 persen di antaranya. Selebihnya buram. Nama-nama tempat itu tidak lagi terekam dalam peta dan sulit dipahami. Bantuan datang dari seorang koleganya, Suwito Santoso, penasihat perpustakaan di Canberra, Australia, yang banyak menekuni kebudayaan Jawa. Detail cerita dan lokasi-lokasi yang digambarkan dalam bahasa Kawi ia terjemahkan agar mudah dipahami. Bahan itulah yang menjadi panduannya selama perjalanan. Begitu pula peta satelit yang ia beli dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. "Yang cukup sulit adalah memvisualkan pusat aktivitas Syekh Amongrogo di Tanjung Bang," ujarnya.
Dalam hikayatnya, Tanjung Bang merupakan tempat terakhir pengasingan Amongrogo. Letaknya di sekitar pantai selatan. Penjelasan yang muncul dalam Serat Centhini berbentuk legenda: "Alkisah, Sang Garuda berhasil mendapatkan amreta dari tangan dewa-dewa. Karena keberhasilannya, Dewa Wisnu memberinya kesempatan untuk meminta apa saja. Tapi Sang Garuda menolak. Tidak pantas baginya meminta hadiah lantaran ia lebih sakti dari Dewa Wisnu."
Jelas ada banyak kesulitan yang dihadapi Fendi kala itu. Menemukan tempat dan mencari obyek kisah Garuda dan Wisnu dalam rangkaian frame foto bukanlah hal mudah. Apalagi jika itu menyangkut legenda. Teka-teki itu dapat ia urai saat menyambangi Candi Sukuh di Karanganyar. Sebuah ornamen garuda ia temukan terpahat di dinding. Sosok garuda itu muncul laiknya makhluk imajiner. Tubuhnya menyerupai manusia, tapi memiliki paruh dan sayap. Sebuah mahkota menutup kepalanya laiknya seorang raja.
Tempat itulah yang Fendi gunakan sebagai latar. Untuk memperkaya bahasa visual, seorang model ia hadirkan. Tubuhnya hanya dibalut kain putih. Lalu model itu diminta tidur telentang di depan pintu candi, seolah-olah pasrah. Visualisasi itu terkesan sangat dramatis dengan kabut pagi yang membekap kompleks percandian.
Bahasa visual yang diterjemahkan Fendi menuai kritik dari dosen arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Agus Arismunandar. Menurut dia, bahasa visual banyak mereduksi narasi yang terdapat dalam Serat Centhini. Dan tempat-tempat yang dijadikan obyek pun sangat mungkin diragukan. "Memang ada gambar garuda di Candi Sukuh. Tapi kisah Garuda-Wisnu kan bisa diilustrasikan dari sumber lain," katanya.
Fendi cukup sadar akan persoalan visualisasi obyek tersebut. Candi yang dibangun pada masa kekuasaan Majapahit itu terletak di lereng Gunung Lawu, sekitar 20 kilometer dari pusat Kota KaÂranganyar ke arah timur. Lokasinya sangat jauh dari pesisir pantai. Banyak kalangan menganggap candi ini lambang kesuburan. Bagi yang lain, candi itu dianggap banal lantaran ornamen bebatuan yang terpahat di dalamnya banyak mengeksplorasi bentuk kelamin pria dan wanita, sarat erotis. Namun anggapan itu justru mendukung narasi seksualitas Syekh Amongrogo yang muncul dalam pengisahan Serat Centhini.
Ya, narasi seksualitas memang acap mendominasi pembahasan Serat Centhini. Di beberapa bagian, Serat Centhini banyak memberi pengetahuan tentang seni bercinta secara gamblang. Namun visualisasi itu cenderung dihindari Fendi, yang merupakan anggota sebuah tarekat. Terlebih jika terkait dengan narasi yang bersifat teknik bersanggama. Ia khawatir visualisasi itu bakal disalahtafsirkan dan dianggap bertabrakan dengan berbagai norma yang hidup dalam masyarakat. "Lagi pula, bab yang membahas tema seksualitas sebenarnya hanyalah bagian kecil dari banyak khazanah pengetahuan yang ada dalam Serat Centhini," ujarnya.
Visualisasi yang cukup mudah ia peroleh ketika mencari bentuk-bentuk kesenian masyarakat, seperti reog dan sendang bedhoyo. Itu pun tidak lepas dari kekurangan. Narasi budaya yang tampil dalam Serat Centhini tentang dua tarian itu rupanya banyak mengalami pergeseran. Para penari yang ia temui kini umumnya perempuan, bukan laki-laki. Sedangkan para penari sendang bedhoyo tidak lagi punya keharusan menjalani prosesi mandi menggunakan air sendang. "Foto-foto itu saya tampilkan apa adanya," kata Fendi.
Semua kerja keras Fendi kini telah dibukukan dan banyak menghiasi ruang pameran, baik di luar maupun di dalam negeri. Bagi orang Jawa, kisah itu mungkin terkesan biasa. Foto-foto yang direkam tidak lebih dari gambaran dunia kehidupan mereka sehari-hari. Tapi, bagi orang asing, foto yang dibuat menurut Serat Centhini memancing rasa keingintahuan tentang budaya Jawa. Sekelompok kalangan jetset di Inggris bahkan pernah berniat berkunjung ke tanah Jawa. Syaratnya: menggunakan kereta super-eksekutif yang jalan dan berhenti sesuai dengan keinginan mereka. "Tapi pemerintah tidak siap. Kereta itu katanya khusus untuk presiden," ujar Fendi.
Lalu apa arti hasil kerja keras mereka berdua? Temuan Hadi punya sumbangan yang cukup besar bagi kajian naskah Nusantara. Agus Arismunandar menyebutkan temuan Hadi memberi warna baru bagi kajian antropologi. Meski Hadi tidak berangkat dari latar belakang keilmuan di bidang tersebut, metode yang ia gunakan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. "Saya pribadi mendukung temuan dia," kata Agus. "Hadi berhasil memastikan rute itu karena dia terjun langsung ke lapangan."
Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo