Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya Fendi Siregar tidak pernah mempercayai berbagai hal yang berbau mistik. Sebagai orang yang dibesarkan dalam pendidikan modern, dia menganggap mitologi tak lebih dari sekadar dongeng. Anggapan itu kemudian berubah 180 derajat. Saat ekspedisinya memasuki bulan keenam, Fendi mengalami banyak musibah berbau mistik. Peristiwa itu terjadi setelah ia menapaktilasi makam Ki Ageng Selo di Tawangharjo, Purwodadi.
Serat Centhini menggambarkan sosok Ki Ageng Selo memiliki kesaktian mampu menangkap petir. Karena itulah makamnya dijadikan tempat petilasan para peziarah.
Saat Fendi memasuki gerbang, penjaga makam sempat memperingatkan agar tidak mengabadikan apa pun. Katanya, itu pantangan. Siapa yang nekat memotret makam biasanya bakal terkena musibah. Tapi Fendi tidak percaya begitu saja. Ia tetap berkeras. Beberapa bagian makam ia abadikan dengan kamera digitalnya. Dan gambar-gambar itu bisa ia rekam dengan baik. Tidak lama, seorang pria tua datang memarahi penjaga makam lantaran membiarkan Fendi memotret. Pria itu adalah kuncen yang paling dituakan dalam kompleks makam Ki Ageng Selo.
Makian pria tua itu belakangan mengarah ke Fendi. Ia mempersoalkan sikapnya yang tidak patuh. Fendi menjelaskan alasannya, tapi gagal meredamnya. "Saya tidak peduli dengan penjelasan Anda. Itu aturan main di sini," Fendi menirukan kalimat kuncen itu. "Bruk!" Pintu makam itu pun dibanting. Ah, sudahlah. Fendi menganggap omelan itu sekadar bumbu perjalanannya. Kalau itu musibah yang dimaksud, ia mengaku bisa menghadapinya dengan mudah. Tapi rupanya itu baru permulaan. Dalam perjalanan pulang, per sebelah kanan mobilnya patah dan 15 kilometer kemudian giliran per yang sebelah kiri.
Peristiwa nahas itu memaksa Fendi melanjutkan perjalanan dengan kendaraan lain. Sesampai di Semarang, ia lekas menyalin semua gambar ke cakram optik portabel. Musibah berikutnya datang saat ia turun dari taksi setiba di Jakarta. Cakram optiknya jatuh dan membentur aspal. Saat diperiksa, penyimpan data itu tidak lagi berfungsi. Sejumlah tukang reparasi yang ia mintai bantuan pun gagal mengembalikan data koleksi fotonya. Semuanya angkat tangan. Seluruh data dan koleksi fotonya sebesar 100 gigabita lenyap saat itu juga.
Fendi menganggap kejadian itu buah dari keteledorannya. Namun belakangan pikirannya sulit melepaskan semua rangkaian musibah itu dengan kejadian di makam Ki Ageng Selo. Sepekan kemudian, Fendi kembali menyambangi makam tersebut. Ia berencana meminta maaf kepada penjaga makam. Ternyata orang yang dimaksud telah meninggal. Alhasil, saat itu dia berziarah ke dua tempat. Barulah kemudian, setelah meminta maaf di hadapan makam Ki Ageng Selo, Fendi berani mengeluarkan kameranya. Sejumlah gambar bisa ia abadikan tanpa ada gangguan. "Boleh jadi itu semacam pesan bahwa saya tidak boleh meremehkan apa pun," ujarnya.
Sikap remeh juga pernah diperlihatkan Hadi Sidomulyo saat mencari tempat bernama Pacaron dalam penelusuran rute Majapahit berdasarkan kakawin NagarakreÂtagama atau Desawarnana. Tidak ada penjelasan cukup terperinci mengenai tempat itu. Prapanca hanya menyebutkan tempat itu dengan penjelasan makam orang suci yang letaknya tidak jauh dari sebuah tanjung. Saat Hadi akan menelusuri tempat tersebut, kendaraannya berhenti di sebuah tempat. Ia lalu menyempatkan diri berbincang dengan warga setempat untuk bertanya tentang banyak hal. Seorang warga sempat bercerita tentang makam Maulana Ishak. Letaknya tidak seberapa jauh dari tempat mereka berdiri. "Waktu itu saya anggap remeh. Paling makam biasa," katanya.
Tidak berapa lama muncul kejadian aneh. Sebuah batu yang cukup besar jatuh menghunjam pintu mobil Hadi, lalu membentur lengan rekannya. Batu itu lalu tergeletak persis di kap mobil. Di sekitar mereka saat itu tidak terlihat seseorang. Yang ada hanyalah seorang petani. Itu pun jaraknya sangat jauh. Ketika petani itu ditanya, ia malah mengangkat aritnya sambil memaki. Sepertinya dia marah lantaran dituduh sebagai pelempar batu. Merasa keliru, kata maaf pun keluar dari mulut Hadi, tapi tetap saja gagal meredam kemarahan si petani. Tidak ingin mengambil risiko, ia dan rekannya bergegas memacu kendaraan melanjutkan perjalanan.
Di desa terdekat, Hadi kembali bertanya kepada penduduk. Beberapa orang yang ia temui punya jawaban serupa. Makam suci yang ia cari rupanya menunjuk lokasi perhentian mobil mereka sebelumnya. Ternyata makam Maulana Ishak itulah makam suci yang dicari. Seorang penjaga makam yang ia temui sempat menanggapi kejadian aneh tersebut. Katanya, Hadi bukan orang pertama yang mengalami kejadian tersebut. Beberapa orang yang berlaku tidak patut kerap dihadiahi batu pendem.
Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo