Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Penaklukan, Jejak Perlawanan

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutaraja, 8 April 1873. Di pantai Kuta Pante Ceureumen, wilayah Banda Aceh, 3.000 pasukan Belanda mendarat. Letusan senapan menyalak-nyalak sebagai genderang penyerangan. Dari 22 kapal perang yang sudah menunggu di perairan Aceh selama satu minggu menekan Sultan, mengalir pasukan kolonial yang ingin menguasai Aceh. Pertempuran pecah beberapa hari. Hasilnya, ekspedisi itu gagal dan Mayor Jenderal Kohler tewas. Batavia murka dan mengirimkan ekspedisi kedua dalam kekuatan berlipat. Perang Aceh berlangsung sampai 1904, tapi pertempuran di sana-sini berlanjut hingga 1914. Dibandingkan dengan kawasan Nusantara yang lain, para pejuang Aceh sudah berbekal senjata api. Mereka akrab dengan senapan laras panjang selain rencong atau tombak. Memang, sejak kedatangan Belanda, mereka mencium gelagat ambisi kolonialis itu. Sepanjang Agustus 1872-Maret 1873, Aceh memasukkan 5.000 peti mesiu dan 1.349 peti senapan dari Pulau Pinang. Pasukan Belanda masuk Kutaraja (sekarang Banda Aceh), menjadikannya pemasok persenjataan dan logistik. Mereka menggunakan gajah sebagai kendaraan pengangkut. Dengan cara itu pula alur pasukan mengalir ke desa, melintas hutan dan sungai. Namun, sergapan demi sergapan mengintai. Di sebuah bukit di Bate Illie, Pidie, 3 Februari 1901, Jenderal J.B. Van Heutsz tampak termangu diiringi stafnya melihat pertempuran dari kejauhan. Perlawanan besar melahirkan nama besar. Ada para panglima seperti Teungku Chik Di Tiro, Panglima Polim, Cut Nya' Dien, ada pujangga macam Teungku Chik Pante Kulu. Siasat tokoh Perang Aceh beraneka. Teuku Umar, Amirul Bahri (Panglima Laut) Wilayah Aceh Barat, pernah nekat menyerang kapal api Hok Canton dan sukses mengambil alih. Dia juga memperdaya Gubernur Militer Deijkerhoff dengan berpura-pura bergabung, padahal targetnya mendapatkan uang dan senjata. Lain lagi Teungku Cik di Tiro. Pasukan-pasukannya dari kampung-kampung heroik melancarkan pertempuran sampai Ilahi memanggil. Kerinduan ajal syahid yang diyakini berbalas surga. Di belakangnya, bayangan Teungku Chik Pante Kulu, si penulis Hikayat Prang Sabi. Demi badan terkapar rebah, Tunangan datang dara sorga, Pangku kepala, hapus darah, "Alhamdulillah" ucapkan puja. Mati syahid sakit tiada, Sama seperti mengerat kuku, Jangan katakan mati mereka, Mujahid abid hidup selalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus