Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sinar matahari terasa menyengat ketika Tempo tiba di mulut Gua Tewet di kaki Gunung Gergaji, Kalimantan Timur, pertengahan April lalu. Siang itu, sinar matahari cukup menerangi ruangan gua. Setelah berjalan sepuluh langkah masuk ke gua, tepat di dinding cadas setinggi sekitar 4,8 meter, tampak gambar telapak tangan berwarna merah kehitaman. Ukurannya hampir sama dengan telapak tangan manusia pada umumnya, panjangnya sekitar 20 sentimeter dan lebar kira-kira 13 sentimeter. Berjalan menanjak ke sekitar dua meter lagi, jumlah gambar telapak tangan semakin banyak di dinding-dinding gua yang jaraknya hanya beberapa sentimeter di atas kepala.
Pada dinding-dinding ruangan Gua Tewet seluas sekitar 137,76 meter persegi itu terdapat lebih dari 50 gambar cadas purba yang kondisinya masih bagus. Sebagian besar berupa gambar telapak tangan dan binatang menyerupai rusa. Keberadaan gambar cadas di gua yang berada di Gunung Gergaji itu sebetulnya sudah diketahui penduduk setempat puluhan tahun silam. Namun hal itu baru terekspos ke publik pada sekitar 1994, ketika serombongan peneliti dari dalam dan luar negeri yang didampingi Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, tertarik menelitinya.
Dari para peneliti itulah warga mengetahui bahwa gua-gua yang kerap mereka jadikan tempat persinggahan saat mencari sarang burung walet tersebut menyimpan karya seni manusia purba. "Dulu, kami warga di sini tidak mengerti. Padahal kami sudah sering melihat gambar-gambar itu saat singgah ke gua," kata Johan, 42 tahun, warga Jalan Hambur Batu, Desa Tepian Langsat, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur, salah satu akses menuju sejumlah gua di Gunung Gergaji di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Mencapai Gua Tewet, yang berada pada ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, cukup berat. Dari Samarinda memakan waktu sekitar tujuh jam berkendaraan ke Jalan Hambur Batu. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik perahu ketinting mengarungi Sungai Bengalon selama sekitar tiga jam menuju base camp milik Badan Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur di kaki Gunung Gergaji. Lalu berjalan kaki sekitar dua jam menuju gua dengan melewati sejumlah tanjakan yang terjal dan tebing dengan kemiringan hampir 80 derajat.
Tewet merupakan satu di antara puluhan gua di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat, Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang menyimpan gambar cadas prasejarah. Selain di Gua Tewet di Gunung Gergaji, gambar cadas karya manusia purba itu terdapat di gua-gua di Gunung Pengadan dan Batu Nyere, yang masih satu kawasan dengan karst Sangkulirang-Mangkalihat. Penelitian sepanjang 1994-2006 menemukan 37 situs gambar cadas di kawasan itu. Sebagian besar terdapat dalam gua-gua pada ketinggian 700-1.000 meter di atas permukaan laut.
Menurut arkeolog dari Universitas Indonesia, Cecep Eka Permana, gambar cadas di gua-gua di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat boleh dibilang istimewa. Dari penelitian awal, Cecep memperkirakan usia gambar cadas di kawasan itu merupakan yang tertua di dunia. Saat ini gambar cadas tertua di dunia terdapat di situs Gua Timpuseng, Sulawesi Selatan, yang usianya sekitar 39.900 tahun. Itu lebih tua daripada gambar cadas di Prancis, yang usianya 39.700 tahun. "Saya memperkirakan usia sebagian gambar cadas di kawasan Sangkulirang-Mangkalihat lebih tua," kata Cecep.
Gambar cadas merupakan gambar yang dibuat oleh manusia prasejarah pada permukaan batu yang keras, yang diwujudkan dalam bentuk lukisan, goresan, dan cukilan. Menurut Cecep, kata "gambar" digunakan sebagai sebutan yang bersifat umum dan lebih netral, karena tidak semuanya berupa lukisan. Begitu pula kata "cadas" digunakan untuk menunjukkan bahwa gambar prasejarah tersebut dibuat atau terdapat pada batuan yang keras (cadas).
Menurut Pindi Setiawan, gambar-gambar cadas di kawasan Sangkulirang-Mangkalihat diperkirakan dibuat oleh bangsa Pra-Austronesia yang hidup pada Zaman Es, yakni 40.000-10.000 sebelum Masehi. "Mereka merupakan kaum pemburu awal dan lanjut," kata Pindi, yang melakukan penelitian gambar cadas di kawasan itu sejak 1994.
Bangsa Pra-Austronesia itu, tutur Pindi, melakukan perjalanan dari wilayah utara (Taiwan) ke selatan, kemungkinan besar melalui Vietnam, Sarawak, Sabah, dan akhirnya sampai di Sangkulirang. Para pembuat gambar cadas itu datang lebih dulu daripada bangsa Austronesia, yang juga merupakan nenek moyang kebanyakan orang Dayak yang ada sekarang.
Di Sangkulirang, para pembuat gambar cadas prasejarah itu sepertinya memusatkan kegiatan di kawasan Gunung Gergaji. Selain di Gua Tewet, gambar-gambar cadas itu terdapat di Gua Karim, yang masih dalam satu kawasan. Lebar mulut Gua Karim mencapai 45 meter, lorong terdalam lebarnya 19 meter, dinding langit gua mencapai 6,4 meter, dan luas ruangan menyeluruh, termasuk di sekitar ceruk tebing, mencapai 582,15 meter persegi. Meski lebih sedikit ketimbang Gua Tewet, boleh dibilang gambar cadas di gua itu lebih variatif. Bukan hanya gambar cadas telapak tangan, tapi juga terdapat gambar hewan khas endemis Kalimantan Timur, yakni tapir dan rusa. Ada juga gambar sarang lebah dan pepohonan.
Salah satu gambar tapir berwarna merah kecokelatan di Gua Karim panjangnya mencapai 1 meter dan tinggi 55 sentimeter. Gambar sarang lebah cukup mencolok. Jumlahnya 10 gambar. Satu gambar sarang lebah paling besar tingginya sekitar 1,3 meter dan lebarnya mencapai 1 meter. Gambar itu berdampingan dengan 9 gambar sarang lebah lainnya yang ukurannya bervariasi. Adapun 12 gambar telapak tangan berada di dinding-dinding ceruk tebing, masih di sekitar Gua Karim.
Setelah melakukan penelitian di Gua Tewet dan Karim, Cecep menemukan fakta baru. Peneliti yang terfokus pada gambar cadas berbentuk telapak tangan sejak 2005 itu mencatat terdapat 10 tipe isian garis berbagai bentuk di dalam telapak tangan. Menurut Cecep, isian garis di dalam telapak tangan itu hanya ada di karst Sangkulirang-Mangkalihat. Model begitu tidak ditemukan di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua. Juga di Eropa. "Kalau di Sulawesi Selatan atau Eropa bentuk gambarnya hanya telapak tangan polos," katanya. "Di kawasan Sangkulirang-Mangkalihat terdapat 10 tipe isian garis, ada garis berbentuk vertikal, horizontal, melengkung-lengkung, berbentuk huruf V, dan berbentuk siku."
Namun bahan dan metode pembuatan gambar cadas diprediksi masih serupa di semua lokasi keberadaan karya seni manusia purba tersebut. Tradisi gambar cadas tersebar di berbagai situs prasejarah di Indonesia, terutama di bagian timur. Selain di Sangkulirang-Mangkalihat, beberapa gambar yang sudah diidentifikasi antara lain di daerah Sulawesi Selatan, yakni Maros, Pangkep, Bone, dan Danau Towuti. Selain itu, di Asera, Sulawesi Tenggara; Pulau Seram, Maluku; serta Danau Sentani dan Raja Ampat di Papua. Umumnya obyek yang digambar berupa tangan, kaki, hewan, alat berburu, perahu, pepohonan, ikan, dan gambar geometris.
Cecep menjelaskan, gambar cadas yang dibuat oleh manusia prasejarah umumnya berwarna merah kecokelatan, diduga menggunakan bahan yang berasal dari bahan batu oker (ocher). Oker adalah pewarna dinding yang terbuat dari bahan tambang yang mengandung besi bercampur tanah liat dan pasir, yang memang banyak terdapat di sekitar gua. Hanya, jenis-jenis bahan campuran untuk oker belum diketahui, karena masih dalam penelitian. "Temuan sementara mengarah pada penggunaan campuran yang berasal dari bahan hewani atau nabati," ujarnya.
Meski bahan dasarnya sama, teknik menggambarnya dipastikan berbeda antara gambar cadas berbentuk hewan dan telapak tangan. Teknik pembuatan gambar cadas berupa hewan diperkirakan menggunakan kayu, rotan, atau bambu yang dibentuk lebih dulu sesuai dengan kebutuhan menggambar atau melukis. Kayu itu dioleskan lebih dulu ke oker yang telah diolah bersama bahan campuran lain. Dinding atau langit-langit gua menjadi kanvasnya.
Menurut Cecep, ada dua jenis gambar cadas berbentuk telapak tangan, yakni negative dan positive hand stencil. Secara keseluruhan, gambar cadas telapak tangan di Gua Tewet dan Karim merupakan jenis negative hand stencil, yakni gambar telapak tangan yang posisi tangannya ditempel atau dirapatkan lebih dulu ke dinding gua. Lalu bahan lukisan yang juga dari oker dengan campuran yang belum diketahui itu disemprotkan mengarah ke telapak tangan yang sudah menempel di dinding. "Teknik semprotnya ada dua, ada yang langsung dari mulut menyemburkan ke telapak tangan yang dirapatkan ke dinding gua. Ada juga yang menggunakan alat menyerupai pipa, bisa menggunakan kayu atau bambu," kata Cecep.
Adapun untuk gambar cadas jenis positive hand stencil tidak ada di Gua Tewet dan Karim. Cecep pernah melihat gambar cadas jenis itu di beberapa gua di Sulawesi Selatan. Tekniknya, telapak tangan dilumuri lebih dulu dengan oker bersama bahan campuran yang belum diketahui itu, lalu telapak tangan ditempelkan ke dinding gua sehingga meninggalkan bekas.
Lalu apa tujuan manusia prasejarah membuat gambar-gambar cadas itu? Hasil penelitian menyebutkan, ada beberapa hal yang menjadi kemungkinan tujuan manusia purba saat itu. Gambar cadas berupa hewan dan sumber makanan lainnya seperti sarang lebah diperkirakan erat kaitannya dengan ritual ibadah. "Adanya gambar cadas berbentuk hewan itu merupakan bentuk pengharapan agar mereka (manusia prasejarah) saat itu bisa mendapatkan sesuai dengan apa yang mereka gambar," ujar Cecep. "Bisa juga itu merupakan gambaran hewan-hewan yang sering mereka temui atau mereka konsumsi."
Gambar berbentuk telapak tangan juga diperkirakan bagian dari ritual. Tujuannya sebagai simbol penolak marabahaya. "Adanya telapak tangan juga diyakini sebagai penanda bahwa gua tertentu itu merupakan lokasi hunian kelompok tertentu dari manusia purba," Cecep menjelaskan.
Dengan metode etnoarkeologi, Cecep pernah melakukan penelitian di Maros, Sulawesi Selatan. Di sana terdapat sebuah tradisi yang disebut mabedda bola, yang dilakukan dengan cara melumuri telapak tangan dengan bedak lalu menempelkannya ke tiang rumah sehingga meninggalkan bekas. Jarak hunian warga yang melakukan tradisi mabedda bola itu tidak begitu jauh dari gua yang juga terdapat gambar cadasnya. "Jadi, gambar telapak tangan itu bisa sebagai simbol penolak bahaya dan bisa juga sebagai penanda lokasi hunian atau pemiliknya. Sebab, yang boleh mencapkan tangan ke tiang rumah di Maros itu pemilik rumah," kata Cecep.
Dari penelitiannya itu, Cecep menduga sejumlah gambar cadas telapak tangan di Sangkulirang-Mangkalihat merupakan bagian dari ritual manusia prasejarah. "Ritual penolak marabahaya."
Kini gua di kawasan Sangkulirang-Mangkalihat yang dihiasi gambar cadas telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur, peneliti gambar cadas, dan sejumlah elemen lain juga sedang berupaya mengajukan karya seni manusia purba itu terdaftar sebagai warisan budaya dunia Unesco.
Untuk itu, sepanjang 9-26 April lalu, tim gabungan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Jambi, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, serta Balai Konservasi Borobudur, Dinas Kebudayaan Kutai Timur, Forum Peduli Karst Kutai Timur, dan Mahasiswa Universitas Mulawarman, melakukan pendataan kondisi dan potensi ancaman terhadap gambar cadas di kawasan Sangkulirang-Mangkalihat. "Kami masih melakukan perekaman data untuk mengetahui apa saja ancaman dan kerusakan gambar cadas di gua-gua di kawasan tersebut," kata Falentinus Triwijaya Atmoko, peneliti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur.
Arkeolog Cecep Permana menyebutkan dukungan kajian dan penelitian untuk menunjang data secara komprehensif sangat penting sebagai bahan presentasi ketika sidang di Unesco nanti. Tapi tak hanya sampai di situ. Pendataan potensi ancaman serta kerusakan situs gambar cadas juga tak kalah penting. "Ini sebagai bahan agar langkah perawatannya dipastikan terus berjalan," ujarnya.
Sapri Maulana (Kalimantan Timur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo