Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menonton Musik dari Ayunan Hammock

15 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leanna Rachel menunjuk tempat sampah di pojok ruangan yang penuh dengan sisa gelas plastik air mineral kemasan. Saking penuhnya, sisa gelas plastik itu sampai berserakan di lantai. "Lihat itu, seharusnya diubah. Jangan ada kemasan minuman dari plastik disediakan," ujar penyanyi folk asal Los Angeles, Amerika Serikat, itu sambil geleng-geleng kepala.

Ia sendiri selalu minum dari botol air milik pribadi. Panitia kerap menyediakan minuman kemasan untuk Leanna pada saat makan tapi sedapat mungkin ia tolak. Kendati demikian, minuman kemasan tetap menjadi satu-satunya pilihan yang disajikan dalam Eco Music Camp yang digelar di Tea Garden Resort, Ciater, Jawa Barat, tiga pekan lalu.

Leanna adalah salah satu bintang tamu pengisi festival itu. Eco Music Camp digagas oleh Lokaswara atas sponsor Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sesuai dengan namanya, festival ini bermaksud memadukan festival musik dengan kampanye kepedulian pada lingkungan. Ini merupakan perhelatan yang ketiga.

Konsepnya selalu sama, menghadirkan pentas musik di alam terbuka disertai kegiatan berkemah. Diselipkan pula kegiatan lokakarya dan temu wicara bertema aksi penyelamatan lingkungan. Festival ini pernah digelar di Taman Buah Mekarsari, Cileungsi, dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Kali ini sebuah resor di tengah kebun teh Ciater dipilih sebagai arena camping dan festival.

Panggung didirikan di samping kolam renang resor. Tak begitu besar. Sebab, Franki Raden, penggagas festival ini, menginginkan acara yang bersifat intim. Memang, kalau dihitung-hitung, penonton yang datang tak sampai 50 orang.

Jajaran artis dalam pergelaran yang diklaim berskala internasional ini cukup lumayan. Ada Karinding Attack, kelompok aliran metal yang menggunakan berbagai alat musik dari bambu. Ada pula INO Ensemble, yang memainkan alat musik tradisional Sumatera Utara, dan Trompela Brass Band, kelompok musik orkestra asal Ambon.

Berikutnya Leanna Rachel, yang tampil manis dengan gaun bunga-bunga membuai penonton dengan suara lembut dan petikan ukulele. Dia juga terampil memainkan mbira, alat musik tradisional Zimbabwe dari papan kayu yang dimainkan dengan menekan kenopnya menggunakan jempol. Sandhy Sandoro dan DJ Kamau, yang berdarah Afrika-Amerika, sempat berkolaborasi dengan Leanna di panggung. Dua orang itu kemudian tampil solo setelah sesi Leanna.

Pemilihan jajaran artis ini turut disertai alasan khusus yang sesuai dengan semangat eco-friendly. "Kami menekankan pada musik akustik yang menggunakan alat musik organik," kata Franki. Saat menggagas festival ini tiga tahun lalu, Franki berniat menjadikan festival ini sebagai alat menjangkau generasi muda agar peduli pada ekosistem. Walau begitu, melihat pelaksanaannya, prinsip ramah lingkungan ia mengakui yang diterapkan dalam festival ini masih sebatas menyediakan banyak tempat sampah tanpa ada upaya mengurangi produksi sampah itu sendiri. "Memang masih banyak yang perlu diperbaiki," kata Franki.

Menggelar festival musik di tengah alam terbuka tentu bukan hal baru. Selain Eco Music Camp dan Melodi Alam, sudah ada antara lain Summer and Rain, RRREC Fest in the Valley, yang digelar komunitas Ruang Rupa, serta Lalala Festival, yang mengklaim diri sebagai festival hutan internasional pertama di Indonesia.

Sepekan setelah Eco Music Camp, festival musik alam terbuka lain digelar oleh Infia dan Pariwara Production bertajuk Melodi Alam. Festival ini bertempat di tengah hutan pinus Gunung Pancar, Sentul, Jawa Barat. Penonton dapat memilih datang sehari saja untuk menonton panggung musik atau ikut berkemah hingga keesokan harinya. Panggung musik dapat disaksikan dari dalam tenda atau dari hammock yang tergantung di antara jejeran pohon pinus. Santai dan adem.

Melodi Alam tak muluk-muluk melabeli diri sebagai eco-festival. Mereka cukup menawarkan pengalaman mendengarkan musik yang memanjakan pancaindra di alam terbuka. "Sebuah pelarian bagi masyarakat kota yang penat akan keseharian," kata Reza Waluyo Jati Bahar, Event Director Melodi Alam.

Jajaran band indie yang ditawarkan Melodi Alam sungguh sulit untuk dilewatkan. The Trees and The Wild, Tigapagi, Dialog Dini Hari, dan Float adalah beberapa di antaranya. Tak mengherankan bila penonton festival ini mencapai angka seribu lebih. "Pihak Gunung Pancar menetapkan kuota maksimal hanya 1.500 orang," kata Reza.

Panitia juga menyediakan angkutan shuttle dari Jungle Land ke lokasi acara. Tentu saja ini upaya mengurangi emisi. Di hutan, trash bag disediakan di beberapa tempat. Namun produksi sampah plastik tak dapat terhindarkan. Di sana-sini terlihat botol plastik dan jas hujan bekas pakai yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya begitu hujan reda. "Panitia mengingatkan terus agar tak membuang sampah sembarangan, kok," ujar Reza. Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus