Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA gedung berlantai 41 dan 23 menjulang ke angkasa di kawasan Mega Kuningan Barat, Jakarta Selatan. Berdiri di atas lahan seluas 1,7 hektare, dua menara itu belum tuntas dibangun. Kamis pekan lalu, beberapa buruh tampak sibuk memasang dinding bangunan.
Gedung tersebut bakal menjadi kantor PT Toba Sejahtra, perahu induk bisnis moncer Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Dari rumah Luhut di Jalan Mega Kuningan Barat III Nomor 18, Jakarta Selatan, dua bangunan itu jelas terlihat. Jaraknya hanya 200 meter.
Luhut mendirikan Toba Sejahtra pada 2004. Dalam satu dasawarsa, Toba beranak-pinak menjadi 16 anak perusahaan. Kepada Tempo, Luhut mengaku membesarkan Toba untuk menghidupi Institut Teknologi Del, yang dibangunnya pada 2001. Sekolah calon insinyur ini berdiri megah di tepi Danau Toba, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, tempat kelahiran Luhut. "Saya subsidi sampai hari ini, Rp 30 miliar setahun," kata Luhut di rumahnya, Kamis pekan lalu.
Toba bergerak di setidaknya empat sektor usaha: pertambangan batu bara, minyak dan gas, pembangkit listrik, serta perkebunan. Semua area konsesi tambang batu bara grup Toba berada di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Di mata rekan-rekannya, Luhut memang dikenal cekatan berbisnis. "Dia jalan, blek, (jadi) uang deh," ujar seorang kawan baiknya sambil tertawa. Luhut juga dikenal setia kawan, selalu ingat kepada sahabatnya di dinas militer. Tak aneh jika kini sejumlah pensiunan jenderal TNI bekerja di Toba.
Empat di antaranya adalah mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Johny Lumintang, mantan Panglima Kodam Udayana Sintong Panjaitan, Sumardi, dan Agus Widjojo-Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional yang dilantik Presiden Joko Widodo dua pekan lalu. Semua kini menjadi petinggi di perusahaan Luhut. "Saya bergabung dengan Pak Luhut pada Mei 2005," kata Sumardi, Kamis pekan lalu.
Sumardi adalah Chief Executive Officer Toba Sejahtra. Dia berkantor di lantai 17 Wisma Bakrie 2, Jalan Hajah Rangkayo Rasuna Said, Jakarta Selatan. Di sana, Luhut menyewa beberapa lantai sebagai kantor usaha. Sumardi membenarkan kabar bahwa beberapa kursi komisaris di grup Toba diisi purnawirawan tentara.
Dihubungi terpisah, Agus Widjojo mengaku dipercaya mengurus lembaga kajian milik Luhut. "Ini (lembaga) tidak ikut dalam politik praktis," ujarnya. Ketika ditanyai soal ini, Luhut mengakui mengajak sahabat-sahabatnya berkecimpung di Toba karena, "Setelah pensiun, (mereka) tidak ada kegiatan apa-apa."
Yang jelas, peruntungan bisnis Luhut memang luar biasa. Dalam waktu 14 tahun, harta kekayaan mantan Duta Besar Indonesia di Singapura ini naik berlipat-lipat. Pada 2001, sesuai dengan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Luhut memiliki aset senilai Rp 7,1 miliar dan US$ 295 ribu. Empat belas tahun kemudian, pada 2015, nilai kekayaan mantan Komandan Pendidikan dan Pelatihan TNI Angkatan Darat ini melonjak tajam menjadi Rp 660 miliar.
Luhut berdalih, nilai hartanya meningkat drastis karena terjadi kenaikan harga batu bara pada 2010. Padahal, kata dia, sebelum tahun itu, ia tak memiliki uang. "Kalau orang bilang saya hebat, saya tidak merasa hebat," ujarnya kalem.
Yang menarik, dari dokumen yang diperoleh Tempo, separuh harta Luhut tersebar di luar grup Toba. Sebagian berserak di enam perusahaan milik grup Bakrie. Keenam firma itu adalah Bakrie & Brothers, Bakrie Sumatera Plantations, Bakrie Telecom, Bakrieland Development, Energi Mega Persada, dan PT Bumi Resources. Nilai kepemilikan saham Luhut di enam perseroan ini mencapai Rp 98 miliar. Semua saham itu dibeli hampir bersamaan: pada 2013.
Selain di grup Bakrie, saham Luhut ditemukan di empat perseroan lain, di luar grup Toba miliknya. Keempat perusahaan itu adalah PT Del Bejana Utama, PT Mitraguna Primajaya, PT Frime Fields Indonesia, dan PT Rimba Etam Lestari.
Soal kepemilikannya di grup Bakrie, Luhut menampik kabar bahwa dia memborong saham Aburizal di Bumi Resources tiga tahun lalu. "Itu saham publik," ujarnya. Juru bicara keluarga Aburizal, Lalu Mara Satriawangsa, membenarkan. Menurut dia, semua saham perusahaan Bakrie itu bersifat terbuka sehingga siapa pun bisa membelinya di bursa. "Anda juga bisa beli. Sekarang harganya 50 perak per lembar," kata Lalu Mara.
Fakta bahwa Luhut membeli saham grup Bakrie sebenarnya tidak terlampau mengejutkan. Keduanya punya sejarah panjang bersama. Lalu Mara bercerita bahwa Aburizal sudah mengenal Luhut ketika bosnya itu baru merintis usaha, pada 1975. Kala itu, Luhut masih berpangkat letnan satu.
Persahabatan personal dan kongsi dagang keduanya berlanjut ke dunia politik. Politikus senior Partai Golkar, Leo Nababan, mengatakan, ketika Aburizal terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Golkar periode 2009-2014 di Riau, dia langsung mengajak Luhut bergabung. Luhut diberi posisi sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar. Lalu Mara membenarkan cerita Leo: "Memang betul."
Kedekatan Luhut-Bakrie sedikit retak pada pemilihan umum presiden 2014. Kedua kolega ini memilih opsi politik yang berseberangan. Luhut mendukung Joko Widodo, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sedangkan Aburizal all-out mendukung Prabowo Subianto, kandidat yang diusung Partai Gerindra. Akibat perbedaan pilihan itu, Luhut lalu mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Golkar.
Bagi Luhut, Jokowi memang punya arti khusus. Keduanya berkenalan ketika Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo (2005-2012). Ketika itu, anak perusahaan grup Toba, PT Adimitra Lestari, berencana menjual kayu gelondongan setelah mendapat hak pengelolaan hutan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Luhut lalu menugasi Direktur Utama PT Adimitra, Bambang Supriambodo, mencari mitra bisnis yang bisa mengelola kayu. "Seminggu kemudian, dia datang ke saya. Ada Pak, teman sekolah saya, sekarang Wali Kota Solo," ujar Luhut menirukan ucapan Bambang ketika itu.
Kepada Tempo, Bambang membenarkan kisah Luhut. Bambang mengaku dialah yang menjemput Jokowi dan membawanya ke Wisma Bakrie 2 di Kuningan, Jakarta Selatan, untuk menemui Luhut. "Saya tawarkan ke Pak Luhut, ternyata beliau berminat," kata Bambang.
Singkat cerita, pada 2007 itu Luhut dan Jokowi sepakat berkongsi usaha dan mendirikan perusahaan pengolah kayu: PT Rakabumi Sejahtra. Komposisi sahamnya, 51 persen dipegang oleh keluarga Jokowi dan 49 persen oleh Luhut. "Sekarang makin bagus, ekspornya makin baik," ujar Luhut.
Kerja sama bisnis ini berlanjut ke urusan politik. Luhut mengaku mengamati dengan penuh perhatian bagaimana Jokowi menjadi semakin populer di Solo. Menjelang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada 2012, Luhut mendekati Jokowi dan menawarinya menjadi calon Gubernur Jakarta.
Insting politik Luhut terbukti. Ketenaran Jokowi menjadi senjata ampuh mengalahkan kandidat inkumben Fauzi Bowo di Ibu Kota. Kemenangan ini membuat Luhut makin yakin pada elektabilitas Jokowi. "Begitu menang pilkada, saya bilang, 'Siap-siaplah jadi calon presiden'," ucapnya.
Begitu pemilihan presiden bergulir, jejaring Luhut pun bekerja. Dia menjadi penyokong utama Jokowi di barisan tim relawan. Selain membiayai beberapa kali survei, Luhut membentuk tim Bravo, kelompok relawan yang beranggotakan pensiunan tentara, seperti Fachrul Razi, Suaidi Marasabessy, dan Agus Widjojo. "Saya ada di tim kajian dan pelatihan kader," ujar Agus Widjojo membenarkan.
Selebihnya adalah sejarah. Dengan sokongan penuh para relawan dan mesin politik sejumlah partai, Jokowi meraih suara lebih banyak daripada Prabowo pada pemilihan langsung Juli 2014. Setelah dilantik menjadi presiden, Jokowi meminta Luhut menjadi Kepala Staf Kepresidenan alias menempati posisi pembantu terdekat RI-1 di Istana.
Di sini, tugas utama Luhut adalah mendukung penuh Presiden dalam mengendalikan program-program prioritas nasional, komunikasi politik, serta pengelolaan isu strategis. Ia juga ditugasi menjadi juru lobi ke partai-partai koalisi pendukung Prabowo untuk memuluskan jalannya kebijakan pemerintah.
Pada 2015, saat Jokowi menargetkan kenaikan pendapatan di sektor pajak, Luhut bergerak cepat. Ia menugasi anggota tim ekonominya, Septian Hario Seto, melakukan beberapa kajian. "Kami beberapa kali menggelar rapat dengan pengusaha dan Dirjen Pajak," kata Seto. Hasil kajian itu adalah draf Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (tax amnesty). Bisa dibilang, rancangan regulasi itu adalah buah kerja keras Luhut dan timnya.
Karena itulah, walau diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada Agustus tahun lalu, Luhut tetap menjadi dirigen utama tim Jokowi untuk mengegolkan RUU Pengampunan Pajak di Senayan. "Kami rapat beberapa kali di Polhukam," ujar Luhut. Dia yakin Dewan Perwakilan Rakyat akan mengesahkan RUU itu secepatnya. "Bisa Rabu pekan ini," katanya. Jika keyakinan ini benar, sekali lagi, insting politik dan jejaring pengaruh Luhut terbukti ampuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo