Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cangkang Luhut di Pojok Afrika

Nama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan tercantum di Panama Papers. Dia disebut sebagai Direktur Mayfair International Ltd, perusahaan cangkang di Republik Seychelles, negara suaka pajak di Afrika. Penelusuran Tempo menemukan jejak Mayfair-dan perusahaan milik Luhut-di sejumlah proyek infrastruktur di Indonesia.

25 April 2016 | 00.00 WIB

Cangkang Luhut di Pojok Afrika
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

BELASAN menara baja tercogok di kawasan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap 2 Tanjung Gundul, Bengkayang, Kalimantan Barat, Rabu pekan lalu. Tak terlihat aktivitas pekerja di kompleks seluas 45 hektare itu. Sebagian besi menara tampak terserang karat. Rumput liar tumbuh berserak mengepung gedung-gedung yang tak berpenghuni.

Penduduk Kalimantan Barat sangat membutuhkan tambahan pasokan listrik. Hingga sekarang, wilayah itu masih rutin mengalami pemadaman listrik. Tapi pengerjaan PLTU 2 yang seharusnya rampung pada 2012 itu malah terhenti. "Ada masalah kontrak pembayaran dengan vendor," kata General Manager PT Perusahaan Listrik Negara Unit Induk Pembangunan Kalimantan Bagian Barat Aji Sutrisno.

PLTU 2 Bengkayang merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 yang menugasi PLN melakukan percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara. Proyek pembangkit listrik bertenaga 2 x 27,5 megawatt itu dikerjakan konsorsium PT Indo Fuji Energi, PT Advance Technology Indonesia, Guangdong Machinery Imp & Exp Co Ltd, dan PT Persada Inti Energi.

Tempo mereportase PLTU Bengkayang lantaran PT Persada Inti Energi tercatat dalam berkas Panama Papers, dokumen firma hukum Mossack Fonseca di Panama yang bocor. Persada tercatat sebagai pemegang saham sebuah perusahaan di Republik Seychelles. Namanya Mayfair International Ltd. Pemilik lainnya PT Buana Inti Energi. Dan direktur perusahaan ini Luhut Binsar Pandjaitan, kini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Meski menjadi anggota konsorsium yang ditunjuk membangun pembangkit listrik batu bara senilai sekitar Rp 630 miliar, menggunakan anggaran PLN, Persada tak memiliki rekam jejak meyakinkan. Mesin pencari Google hanya mencatatnya terlibat proyek PLTU 2 Bengkayang. Aktivitas lain tidak ada. Pada 2012, menurut Aji, Persada dan Guangdong, yang merupakan perusahaan milik negara di Cina, hengkang dari konsorsium.

PLN kemudian memperpanjang kontrak penyelesaian pembangkit tersebut dengan anggota konsorsium yang tersisa, Indo Fuji dan Advance Technology. Tapi kondisi proyek tidak menjadi lebih baik.

* * * *

DOKUMEN panama berisi nama-nama perusahaan cangkang (shell companies) di negara suaka pajak (tax haven). Lebih dari seratus media di seluruh dunia terlibat dalam proyek investigasi bersama meneliti 11,5 juta dokumen tersebut, di bawah koordinasi International Consortium of Investigative Journalists. Lembaga pers nonprofit yang berkantor pusat di Washington, DC, ini menerima data berukuran 2,6 terabyte milik Mossack Fonseca itu dari koran Jerman, Süddeutsche Zeitung.

Memiliki perusahaan di negara suaka pajak belum tentu pelanggaran. Banyak perusahaan menggunakannya untuk tujuan legal. Meski demikian, dokumen Panama menunjukkan tak sedikit pula klien Mossack Fonseca memanfaatkan perusahaan cangkang untuk menyembunyikan harta ilegal dan menghindari pajak di negara asalnya. Pemilik asli perusahaan-perusahaan ini (beneficial owner) bersembunyi di balik nominee, orang yang dibayar untuk mewakili mereka dalam dokumen resmi.

Kemunculan Panama Papers menguak identitas para pemilik asli yang selama ini tersembunyi. Banyak pejabat tinggi berbagai negara tersangkut, baik langsung maupun melalui orang dekat dan keluarganya. Di antaranya Perdana Menteri Inggris David Cameron, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Cina Xi Jinping, dan Presiden Ukraina Petro Poroshenko. Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson dan Menteri Perindustrian Spanyol Jose Manuel Soria malah sampai mengundurkan diri.

Di Tanah Air, selain Luhut, pejabat negara yang namanya muncul dalam Panama Papers antara lain Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Airlangga Hartarto dan Johnny G. Plate. Lalu ada juga Heru Lelono, anggota staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Edi Yosfi, pengusaha yang dekat dengan petinggi Partai Amanat Nasional.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mewajibkan semua pejabat negara melaporkan harta kekayaannya. Undang-undang itu menyebutkan ada sanksi administratif bagi pelanggarnya. Dari penelusuran Tempo, Luhut, Harry, Airlangga, Heru, dan Johnny tak melaporkan keterkaitan mereka dengan perusahaan cangkang di negara-negara suaka pajak.

* * * *

MAYFAIR International Ltd didirikan pada 29 Juni 2006. PT Persada menguasai 10 ribu lembar saham perusahaan ini, sementara PT Buana 40 ribu lembar. Setiap lembar saham bernilai US$ 1.

Dalam akta pendiriannya, Mayfair disebut beralamat di Suite 13, First Floor, Oliaji Trade Centre, Francis Rachel Street, Victoria, Mahe, Seychelles. Ini negara kepulauan bekas jajahan Inggris yang bersebelahan dengan Pulau Madagaskar, terpencil di tengah Samudra Hindia, sekitar 1.600 kilometer ke arah timur daratan Afrika. Negara itu dikenal sebagai salah satu yurisdiksi suaka pajak favorit-selain British Virgin Islands. Luasnya 459 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk hanya sekitar 90 ribu jiwa.

Salah satu fitur yang membuat Seychelles banyak diminati, di sana kerahasiaan klien terjamin. Seychelles tidak membuat perjanjian pertukaran informasi pajak dan perbankan dengan negara atau organisasi internasional mana pun.

Pada hari yang sama dengan pendirian Mayfair International Ltd, Luhut Binsar Pandjaitan ditunjuk sebagai satu-satunya direktur. Dalam sertifikat penunjukan direksi Mayfair, Luhut dinyatakan beralamat di Jalan Mega Kuningan Barat III Nomor 11, Jakarta, dengan nomor paspor B370929.

Luhut sejak 13 Agustus 2015 menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno. Pensiunan jenderal itu juga pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan, 2000-2001.

Dari penelusuran Tempo, Persada dan Buana secara langsung ataupun tidak langsung terkoneksi dengan Luhut. Laporan keuangan PT Toba Bara Sejahtra Tbk tahun 2011 mencantumkan PT Buana Energi sebagai mitra perusahaan, yang dikendalikan anggota keluarga terdekat pemegang saham mayoritas PT Toba Sejahtra. Luhut pemilik 99 persen saham PT Toba Sejahtra, yang menguasai sekitar 73 persen saham PT Toba Bara Sejahtra Tbk.

Seharusnya PT Buana tergolong perusahaan besar karena mendapat izin hutan tanaman industri untuk tanaman karet seluas 26.300 hektare dari Kementerian Kehutanan pada 2010.

Dalam situs putusan Mahkamah Agung, Buana terekam menggugat PT Bangun Bejana Baja di Pengadilan Jakarta Utara pada 2011. Saat itu, Buana menguasai 40 persen saham Bangun Bejana, senilai Rp 2 miliar. Mereka bersengketa soal pembukuan Bangun Bejana. Salinan putusan bernomor 518 K/Pdt/2012 itu menyebut Davit Togar Pandjaitan sebagai Direktur Umum PT Buana. Davit adalah satu dari dua putra Luhut.

PT Persada dimiliki dua pihak, yaitu PT Pelita Buana Karya dan Elizabeth Prasetyo Utomo. Akta perubahan anggaran dasar Persada pada 2012 mencantumkan Pelita sebagai pemegang 9.900 lembar saham Persada, senilai Rp 9,9 miliar. Elizabeth memiliki 100. Elizabeth dan Luhut kawan lama. Dia menjabat direktur keuangan di PT Toba Bara Sejahtra Tbk periode 2008-2009.

* * * *

SURAT-menyurat elektronik itu berlangsung selama Februari-Maret 2007. Seseorang bernama Dave bertanya kepada Lisa dari perwakilan Mossack Fonseca di St. Helier, Jersey, apakah masih tersedia nama perusahaan Mayfair International Ltd. Lisa mengatakan nama itu sudah digunakan. Ia menawarkan nama lain plus bonus free of charge 14 hari pertama. Selanjutnya biaya administrasi "pemeliharaan" perusahaan cangkang US$ 100 setiap tiga bulan.

Ada beberapa surat elektronik di antara Mossack Fonseca di berbagai yurisdiksi membicarakan Mayfair. Rupanya, Mayfair termasuk nama yang digandrungi. Perusahaan ini awalnya didirikan Valserve Ltd, firma hukum di British Virgin Islands.

PT Persada dan PT Buana mendapatkan nama tersebut melalui kantor cabang Mossack di Singapura sebagai client agent, yang kemudian memintanya ke kantor Mossack di Seychelles. Mungkin lantaran populer, biaya "perawatan" Mayfair tergolong tinggi. Dalam satu dokumen bertanggal 11 September 2006, Mayfair diminta membayar uang jasa US$ 512 untuk periode tiga bulan.

Dalam dokumen kepemilikan saham Mayfair, Persada dan Buana tercatat menempati kantor yang sama, di lantai tiga Graha Binakarsa, Jalan H R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tempo menyambangi Graha Binakarsa pada Selasa pekan lalu. Dua perusahaan itu tidak ada di sana.

Seorang petugas keamanan mengatakan belum pernah mendengar PT Buana. Adapun PT Persada, menurut dia, sudah angkat kaki dari sana pada Oktober tahun lalu. Perusahaan itu, kata dia, menggunakan alamat yang sama dengan satu perusahaan lain. "Orang gedung di sini tahunya kedua perusahaan itu milik Pak Luhut," ujarnya.

Tempo juga menyambangi rumah Elizabeth Prasetyo Utomo di Jalan Palma Raya, Taman Kedoya Baru, Jakarta Barat, pada Selasa dan Rabu pekan lalu. Elizabeth semestinya tahu banyak tentang Persada dan proyek listrik PLTU 2 di Bengkayang. Saat rumah itu didatangi, pembantu di sana mengatakan dia tak berada di rumah. Surat permohonan wawancara belum ia respons hingga Jumat pekan lalu.

* * * *

LUHUT membantah pernah terlibat dengan Mayfair International Ltd. Ia bahkan mengaku baru mendengar nama PT Persada Inti Energi. "Saya tidak kenal," ujarnya tegas, Kamis pekan lalu. Lagi pula, kata dia, pada 2006 bisnisnya belum seberapa sehingga untuk apa membuat perusahaan semacam itu. "Saya baru punya uang pada 2010."

Direktur Keuangan PT Toba Bara Sejahtra Catherine Warouw, yang turut hadir ketika Tempo mewawancarai Luhut, mengatakan tak pernah mengeluarkan biaya apa pun untuk Mayfair. "Sepengetahuan saya, tidak pernah ada Mayfair," ujarnya. "Tanyakan saja ke Elizabeth."

Pada Agustus 2001, ketika menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Luhut melaporkan kekayaannya Rp 7 miliar, kebanyakan berupa tanah dan mobil. Informasi tersebut tersedia bagi publik di situs Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam laporan harta kekayaan pejabat negara pada Agustus 2015, harta mantan perwira Kopassus ini melonjak menjadi Rp 660 miliar. Selain ada penambahan jumlah tanah dan mobil, Luhut memiliki surat berharga senilai Rp 104,8 miliar.

Mengenai kekayaannya yang menanjak cepat, Luhut mengatakan hal itu lantaran booming harga batu bara sejak 2009. "Itu hands of God," katanya. Dia menegaskan, fokus bisnisnya masih seputar energi dan hasil bumi. Dan dia membantah terlibat proyek PLTU 2 Bengkayang bersama PT Persada. "Kami tidak masuk ke situ. Itu bukan grup kami."


INVESTIGASI
Penanggung jawab: Philipus Parera Penyunting: Philipus Parera, Wahyu Dhyatmika Pemimpin proyek: Mustafa Silalahi Penulis: Mustafa Silalahi, Rusman Paraqbueq, Pramono, Agoeng Wijaya Penyumbang bahan: Aseanty Pahlevi (Kalimantan Barat), Agoeng Wijaya, Inge Klara, Mustafa Silalahi, Pramono, Rusman Paraqbueq (Jakarta) Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Sapto Nugroho Periset foto: Ijar Karim Pengolah foto: Hindrawan Desain: Eko Punto Pambudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus