Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jenderal TNI Subagyo Hadisiswoyo:"Yang Diadili Sekarang Donny, Agus Isrok, atau Bapaknya?"

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam itu bekas orang nomor satu di Angkatan Darat, Jenderal TNI Subagyo Hadisiswoyo, berusaha tampak santai. Mengenakan kaus biru gelap lengan panjang dan celana panjang warna hitam, ia menerima TEMPO di rumah kontrakan yang asri di Jalan Sutan Syahrir, Jakarta Pusat. Jenderal lulusan Akabri 1970 itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. "Bukan tambah kurus, tapi tambah langsing," tukasnya sambil tersenyum.

Senyum memang betah bertengger di bibir penasihat Presiden Abdurahman Wahid di bidang militer ini. Padahal, ayah dua anak yang dikenal taat beribadah ini mengaku shocked berat sejak anak sulungnya, Agus Isrok, tertangkap berada di kamar Hotel Travel dengan 4 kilogram lebih shabu-shabu dan 6.000 butir pil ekstasi di dalamnya. Maka, untuk menyalurkan keruwetan pikirannya, Ketua Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia ini suka mengibaskan raket badminton. "Lewat smash menghilangkan stres," katanya.

Stres bukan barang baru bagi Subagyo. Selama 16 tahun menjadi anggota pasukan elite TNI-AD, Kopassus, lelaki gagah tapi ramah ini sering terpilih mengikuti operasi berbahaya. Mantu seorang kiai terkenal ini ikut dalam operasi penyerbuan ke Timor Timur pada 1975 dan pembebasan sandera dalam pembajakan pesawat Woyla di Don Muang, Bangkok. Lalu, pria berkumis tebal kelahiran Yogyakarta, 12 Juni 1946, ini menjadi Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden selama 7 tahun. Ia sempat menjabat sebagai Komandan Komando Pasukan Khusus dan Panglima Daerah Militer Diponegoro, Jawa Tengah, sebelum menduduki jabatan puncak di TNI-AD. Kendati demikian, perwira tinggi yang dianugerahi bintang sakti itu tak mampu menahan kesedihan. Matanya tampak berkaca-kaca saat bercerita mengenai anaknya, Letnan Dua Agus Isrok. Berikut ini petikan wawancara yang berlangsung Jumat malam, pekan lalu.


Dari obrolan dengan Agus, sebenarnya bagaimana kejadian itu berlangsung?

Hari itu kan ia ulang tahun ke-24 pada 6 Agustus. Saya rayakan di rumah dengan mengundang anak yatim piatu dan mengadakan pengajian. Setelah acara itu, ia dikontak Donny. Untuk bertemu merayakan ulang tahun, si Agus sampai membawa kue ulang tahunnya.

Saya tak mengerti bahwa ia pergi ke hotel itu. Menurut pengakuannya, ia tidak mengerti kalau ada "barang" (shabu-shabu) itu. Ia sumpah, menyatakan tidak tahu. Katanya ia ketemu Donny, lalu ketiduran.

Jadi, waktu digerebek, Agus lagi tidur, bukan sedang nyabu?

Pasti tidak. Ia sedang tidur. Ia enggak ngerti apa-apa waktu dibangunkan.

Ia sering ke Hotel Travel?

Menurut pengakuannya enggak.

Kapan Anda tahu pertama kali tentang tertangkapnya Agus Isrok?

Waktu saya ditelepon Kapolda (Metrojaya). Waktu itu, hari Minggu, ada pembukaan turnamen golf di Cilangkap, jadi dari pagi saya sudah sibuk. Sama sekali tak mengira akan ada persoalan.

Bagaimana reaksi Anda saat Agus dibawa ke rumah?

Saya menyuruh dibawa ke kesatuannya, Kopassus, untuk diselesaikan oleh kesatuannya.

Reaksi Anda dan keluarga dengan kasus ini?

Saya sangat terkejut, sangat tidak menduga, dan mimpi pun tidak. Saya punya dua anak, laki-laki semua. yang satu menjadi militer melalui akademi militer, yang satunya memilih menjadi sipil, kuliah di fakultas ekonomi jurusan manajemen. Terus terang, saya lebih mewaspadai anak kedua karena pergaulan di sipil lebih rawan. Sedangkan kepada Agus, saya yakin karena melalui proses akademi militer dan selalu di lingkungan tentara yang ketat dengan disiplin tentu membatasi kemungkinan pergaulan yang salah. Jadi, kemungkinan itu lebih kecil.

Kami juga punya kebiasaan di rumah, kalau sudah surup (lepas senja), keluarga kami salat berjamaah setiap hari. Kalau tak ada, harus memberi tahu. Lebih-lebih kalau mau bermalam di luar, harus memberi tahu keberadaannya. Nah, kejadian itu sangat tidak diduga. Saya shocked, juga keluarga besar kami. Perhitungan saya, dalam lingkungan militer, pergaulannya terjaga dan terkontrol. Sangat kecil kemungkinan itu terjadi. Ternyata…(Suara Subagyo tersedak menahan rasa kesedihan, dan matanya tampak berkaca-kaca. Ia menarik napas.)

Waktu itu apakah Anda curiga ada jebakan, konspirasi politik untuk menjatuhkan Anda?

Saya enggak berpikir begitu. Saya enggak punya musuh. Saya juga menyadari bahwa pohon yang tinggi anginnya juga besar. Saya juga berusaha mengabdi semaksimal mungkin. Saya sadar bahwa jabatan itu banyak juga yang pingin.

Tapi, dilihat dari cara menyebarnya peristiwa ini mengindikasikan hal itu. Berita acara pemeriksaan (BAP)-nya tersebar, videonya gampang dicari. Apakah Anda tidak curiga?

Saya enggak tahu. Tetapi, ketika itu kan gambarnya di media elektronik dan cetak begitu transparan. Lalu, kejadian kan jam tiga dini hari, kok ada wartawan ikut operasi itu, pakai bawa kru televisi segala. Operasi seperti ini kan biasanya rahasia, saya juga pernah ikut operasi semacam ini. Kadang kala saya bertanya, orang sebanyak itu waktu ke lantai atas apa tak memeriksa dulu lantai bawah? Kok, lantai dasar seolah dibiarkan? Dalam pikiran saya sampai bertanya, yang diadili sekarang ini Donny, Agus Isrok, atau bapaknya?

Tapi mengapa saat itu Anda memilih diam kepada media? Bukankah lebih baik menjelaskan persoalannya?

Pertimbangan saya waktu itu tak ingin ada polemik. Prosesnya waktu itu belum jelas. Saya berharap itu akan diproses seperti yang lain-lain juga. Kan, banyak (kasus) yang menimpa banyak personel TNI AD yang diproses tanpa perlu diekspos.

Lalu, kasus ini kan pernah seolah menghilang. Apakah Anda menekan pihak pemeriksa?

Proses di AD itu kasusnya baru diserahkan sekitar September. Puspom itu kan enggak bisa segera seperti di komando. Mungkin kelambatan itu terjadi di polisi dan Puspom. Saya sampai cek, nama itu di Puspom siapa, Agus Isrok atau Deky. Jangan sampai pada prosesnya itu Deky Setiawan karena nama itu kan tak ada. Itu yang saya tekankan kepada pemeriksa untuk bisa jelas persoalannya.

Namun, mengapa Agus memakai nama Deky?

Ia menyatakan kepada saya bahwa ia malu, menjaga nama orang tua, kehormatan keluarga. Ia ingin melindungi nama keluarga.

Deky itu siapa?

Nama itu datang begitu saja, saya enggak ngerti itu nama siapa. Saya bilang padanya, sampaikan, saat ini kan kamu saksinya Donny. Sampaikan bahwa waktu itu kamu, Deky Setiawan, itu Agus Isrok.

Benarkah kasus ini diangkat karena sekarang Anda memberi lampu hijau?

Sejak dulu lampu hijau, tak pernah merah. Buktinya lampu hijau, bagaimana ia sampai dihukum disiplin, itu. Tanyakan, diproses enggak di Puspom. Kan diproses. Sampai akhirnya saat ini, pada pengadilan sipil, ia menjadi saksi dalam proses persidangan. Bukan kemarin lampu merah, lalu kini lampu hijau.

Mengapa prosesnya lama sekali?

Proses ini tak langsung diserahkan lalu cukup untuk proses peradilan. Proses hukum itu butuh waktu. Mudah-mudahan tak lama lagi.

Anda yakin Agus clean?

Ya.

Lalu, siapa Donny?

Yang jelas, orang itu yang ikut mencelakakan anak saya.

Kapan pertama kali Agus ketemu Donny?

Ia dikenalkan Kapten Bobby, seniornya di Kopassus, saat makan di restoran di Hotel Omni Batavia, Jakarta Kota.

Jadi, seniornya di Kopassus Kapten Bobby juga terlibat?

Secara langsung tentu tidak. Ia tak ada di tempat. Kalau ada, dengan cepat ia akan tahu, saya juga akan tahu. Logikanya kan begitu.

Jadi, barang itu punya siapa?

Itu punya Achiang, sama sekali bukan punya Agus, sebagaimana penuturan Donny di pengadilan.

Anda sudah mengecek melalui aparat Anda soal ini?

Saya sudah melakukan itu dengan staf yang terkait. Bagaimanapun, saya menyesal, anak saya salah, berada di tempat dan waktu yang salah. Saya menyerahkan kepada prosedur hukum.

Kabarnya Agus menjadi bekingnya?

Saya curiga, ia dimanfaatkan karena anak siapa. Apa, sih, kemampuannya bisa sampai begitu? Persoalannya lain kalau ia itu anak mayor, kapten siapa, bukan anak jenderal siapa. Kalau membekingi, apa sih yang bisa dilakukannya? Ia kan baru saja lulus akademi, baru letnan.

Waktu di SMA dan menjadi taruna, kabarnya Agus sudah terlibat narkoba?

Itu tidak benar. Silakan cek pada yang pernah memberitakan itu. Itu fitnah.

Bagaimana perasaan Anda?

Saya merasa dengan pemberitaan seperti sekarang ini, saya seperti dihukum masyarakat. Hukuman sosial.

Sejak kejadian, berapa kali Anda sudah bertemu Agus?

Sudah beberapa kali. Selama bisa saya temui.

Terakhir, kapan bertemu?

Minggu lalu.

Apakah ia pernah dikenai tahanan?

Pernah. Tapi saat ini ia sudah tidak ditahan lagi, sudah aktif mengikuti kegiatan di kesatuannya.

Apakah ia terjerat delik pidana?

Dalam hukuman itu kan ada hukuman pidana, yang ini melalui proses di Mahkamah Militer. Apakah dalam persoalan ini ada unsur pidananya atau tidak, kita lihat pengadilan nanti.

Dari sisi AD, ia bersalah?

Saya tak ingin mendahului proses persidangan.

Dari disiplin tentara?

Jelas, ia tidak disiplin. Berada di tempat dan waktu yang tidak tepat. Nah, tugas menghukum karena disiplin ini yang berhak dilakukan atasan atau kesatuannya.

Saat kejadian itu, apakah Anda bertindak keras, maksudnya sampai menempeleng Agus?

Tak harus saya katakan kepada Anda, dong.

Sekarang Agus boleh pulang ke rumah Anda?

Kalau boleh, sih, boleh. Hanya, lebih baik ia di asrama.

Jadi, Anda yang terpaksa menengoknya?

Jangan terpaksa, dong. Ini amanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus