Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku adalah bagian tak terpisahkan dari seorang ilmuwan dan akademisidua dimensi yang menemukan harmoni dalam diri Prof. Dr. Teuku Jakob. Ia adalah antropolog ragawi pertama di negeri ini. Ia memperkenalkan ilmu itu ke Indonesia, mengajarkannya di kampus, mendirikan laboratorium penelitian, dan setia menekuni ilmu ''langka" itu selama puluhan tahun.
Lahir di Peureulak, Aceh Timur, 6 Desember 1929, Jakob adalah keturunan keluarga bangsawan Aceh. Ia menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1956. Ayah seorang putri ini lantas melanjutkan studi di University of Arizona Graduate College, Tucson, Arizona (1957-1958), Howard University Graduate School, Washington, DC (1958-1961), dan Providence Hospital, Washington, DC (1960-1961), sebelum kembali ke Indonesia.
Pada 1963, ia mencatat penemuan fenomenal yang memasyhurkan namanya, baik di Indonesia maupun di komunitas internasional antropologi: fosil Sangiran. Penemuan ini membuatnya meraih beasiswa program doktor di Rijksuniversiteit, Utrecht, Belanda (1966-1968). Di Utrecht pula ia bertemu dengan Prof. Koenigswald, guru besar yang dia kagumi dan banyak memengaruhi jalan hidupnya sebagai ilmuwan.
Sepanjang hidupnya, Jakob menulis sembilan buku dan lebih dari 200 artikel ilmiah, menjadi anggota berbagai perkumpulan internasional di bidang ilmu dan sains, serta menerima sepuluh penghargaan dari berbagai negara. Di Yogyakarta, kota tempatnya berdiam lebih dari setengah abad, ia mengajar di lima fakultas di lingkungan UGM. Ia juga sering terbang ke luar negeri sebagai dosen tamu, berbicara di seminar internasional, dantentu sajamelakukan penelitian.
Kantornya di lantai dua Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi UGM hanya dihiasi patung kepala manusia purba dan foto Prof. Koenigswald. Di sana ada satu set kursi tamu mengisi ruangan, yang diramaikan oleh sejumlah ember untuk menampung bocoran air hujan. Desember silam, profesor tua ini pensiun. Setelah itu, ia tetap berniat berkantor, tapi di lantai satu karena, ''Saya sudah tidak kuat turun-naik tangga," ujarnya kepada wartawan TEMPO R. Fadjri, yang menemuinya dua pekan lalu di Yogyakarta untuk sebuah wawancara khusus.
Petikannya:
Apa perlunya antropologi ragawi dalam kehidupan modern?
Bokong Saudara bisa duduk dengan pas di atas kursi karena ada antropologi teknik. Senapan seberat 80 kilogram bisa dibawa sembari berlari oleh anggota Kopassus adalah berkat jasa antropologi teknik militer. Kalau ada orang dibunuh tanpa saksi mata, polisi tetap bisa menangkap pembunuhnya karena bantuan antropologi forensik.
Lalu, kenapa ilmu itu tidak berkembang di sini?
Di mana-mana ilmu ini dikembangkan. Tapi, karena kita masih bodoh dan terbelakang, kita merasa tidak perlu. Pikiran kita hanya sejauh tonjolan ujung hidung. Ilmu ini tak dilihat oleh rakyat biasa karena ilmu ini bukan jembatan atau gedung tinggi. Kalau gedung tinggi, semua orang akan melihat.
Bagaimana orang melihat kalau ilmu itu tidak akrab dengan masyarakat?
Akrab dan tidak akrab tergantung wawasan. Kadang-kadang kita mencari kambing hitam di luar, padahal kambing hitam itu ada di dalam diri sendiri. Ini kesalahan berpikir paling pokok dari orang yang kurang latihan berpikir. Ibaratnya, selalu senam badan, tapi tidak pernah senam otak.
Apa saja bidang yang dipelajari dalam antropologi ragawi?
Keanekaragaman biologis manusia dalam ruang dan waktu, menelaah soal ras, perawakan, evolusi manusia, dan manusia purba. Ia juga menelaah perbedaan dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia sejak lahir sampai usia lanjut. Ilmu ini sangat luas karena mempelajari manusia. Dan manusia kan tidak cuma makan. Ada juga yang mengaji, main sepak bola, membunuh, atau menjadi tentara. Seluas itulah antropologi ragawi.
Bagaimana kita mau mengenalkan ilmu ini lebih luas jika sampai sekarang tidak ada program S-1 untuk bidang studi ini di perguruan tinggi?
Kita jangan ingat diri, tapi harus bisa melihat lebih luas. Dalam prioritas nasional, di mana letak bidang pendidikan ini? Apa memang sarjana antropologi ragawi banyak dibutuhkan masyarakat? Kalau ya, harus dibuat. Kalau cuma 10 orang yang mau belajar, ya, S-1-nya tidak akan diizinkan.
Apakah masyarakat kita memang belum membutuhkan banyak ahli antropologi ragawi?
Menurut saya, manusia harus menjadi manusia, berpikir untuk membuat manusia lebih baik dan membuat kemanusiaan semakin lama semakin tinggi. Untuk itu, perlu ilmu yang mempelajari manusia. Tapi kan saya bukan diktator yang memaksakan pandangan ini kepada semua orang? Harus kita yakinkan pelan-pelan bahwa masyarakat butuh ilmu pengetahuan lain.
Betul. Tapi, kalau mau antropologi ragawi dikenal lebih luas, bukankah harus ada cara meyakinkan orang lain tentang perlunya studi ini?
Kita bisa saja bilang bahwa Indonesia tidak hanya butuh lebih banyak antropolog, tapi juga butuh bermacam-macam ahli. Dan bukan hanya ekonomi karena ia bisa menghasilkan laba untuk membuat jembatan. Pola berpikir seperti ini yang harus diubah.
Bagaimana aplikasi antropologi ragawi di Indonesia sejauh ini?
Sudah bermacam-macam hal yang kita lakukan. Dalam hal olahraga, misalnya, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sudah minta bantuan kita. Lalu, polisi dari laboratorium kriminal sudah banyak minta kerja sama kita. Kasus Marsinah juga kita kerjakan di sini.
Dari kasus Marsinah, apa yang diperoleh?
Hasilnya sudah kita serahkan ke polisi. Dan polisi yang berhak mengumumkannya.
Bisa Anda ceritakan bagaimana pemeriksaan forensik terhadap Marsinah?
Kasus Marsinah sama dengan kasus pembunuhan biasa yang lain. Dan jangan paksa saya berbicara tentang Marsinah. Itu sama dengan Anda tidak lagi mewawancarai saya.
Kembali ke soal kajian antropologi ragawiyang meneropong masa lalu untuk bisa melihat masa yang akan datangAnda selama ini. Apakah kehidupan manusia Indonesia sekarang sudah Anda ketahui sebelumnya?
Sebetulnya, saya sudah banyak menulis tentang apa yang terjadi sekarang. Cuma, dulu orang tidak peduli, menganggap ini tidak relevan. Setelah terjadi, baru orang mulai melihat kembali. Situasi sekarang sudah bisa dilihat pada 1960-an, ketika orang sudah mulai mengalami krisis multidimensional. Ketika itu, terjadi krisis pemuda, krisis wanita, krisis lingkungan, krisis ekonomi. Tapi begitulah, orang baru dibawa ke rumah sakit kalau sudah sakit betul.
Dari jumlah ahli yang ada sekarang, apakah bisa disimpulkan bahwa kebutuhan antropologi ragawi di Indonesia memang tidak banyak?
Dibandingkan dengan ahli lain, jumlahnya memang tidak banyak. Makin terbelakang sebuah bangsa, kebutuhan akan ahli antropologi ragawi ini semakin sedikit, dan sebaliknya. Malaysia sama sekali tidak memiliki ahli antropologi ragawi. Dalam hal ini, ternyata Indonesia lebih maju. Filipina punya tiga orang ahli, Vietnam kurang dari lima orang, sedangkan Cina dan India punya banyak ahli.
Berdasarkan jumlah penduduk, berapa jumlah antropolog ragawi yang dibutuhkan Indonesia sekarang?
Kalau semua universitas menghasilkan 25 ahli per tahun, untuk 15 tahun pertama, akan sangat lumayan. Sebab, nanti mereka akan menjual kebutuhan kepada orang. Ibarat baju atau sepatu impor yang kelonggaran karena dibuat dengan ukuran tubuh orang asing, tapi kalau ada ahlinya, semua kebutuhan itu bisa dibuat sesuai dengan ukuran tubuh manusia Indonesia. Begitu juga ahli antropologi forensik.
Tapi sampai sekarang kan baru UGM, Universitas Indonesia, dan Universitas Airlangga yang punya ahli antropologi ragawi?
Makanya, kalau fakultas kedokteran di semua universitas punya kajian antropologi forensik, itu akan sangat menolong tugas-tugas kepolisian. Sekarang kan polisi masih main pukul untuk memperoleh pengakuan tanpa perlu bukti. Tapi masyarakat kita memang lain. Tanpa ada ahli antropologi ragawi pun, semua urusan tetap bisa jalan.
Berapa peneliti dari UGM yang bekerja sama dengan Anda selama ini?
Lima peneliti dari fakultas kedokteran, biologi, kedokteran gigi, fakultas teknik jurusan geologi, dan fakultas sastra jurusan arkeologi serta antropologi. Dengan dana dan kebutuhan yang ada sekarang, lima orang itu sudah cukup. Di luar negeri juga begitu. Peneliti inti mungkin hanya lima orang. Yang lain datang, meneliti, belajar, lalu pergi lagi. Yang penting adalah jumlah publikasi yang dikeluarkan.
Sejauh ini, apa yang Anda lakukan untuk lebih mengenalkan ilmu ini kepada masyarakat?
Sudah berulang-ulang saya lakukan, khususnya lewat tulisan yang sudah saya mulai sejak 1960. Tapi makin lama saya makin bosan.
Mengapa?
Karena seperti berkhotbah di hutan tentang soal vegetarian, di mana serigala dan macan pasti tidak setuju.
Jadi, Anda merasa gagal?
Sebetulnya bukan gagal, cuma waktunya belum sampai. Mungkin saya merasa dilahirkan terlalu awal. Tapi saya tidak merasa frustrasi. Sebab, saya masih tetap melakukan usaha menyosialisasikan antropologi ragawi. Saya yakin, kalau ekonomi bertambah baik, orang mulai memikirkan kesenian, ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Kalau ekonomi buruk, orang hanya bisa berpikir memenuhi kebutuhan makan. Jadi, jangan berharap rakyat kampung yang miskin mau disuruh menonton pameran lukisan dengan membayar Rp 10 ribu.
Dengan lain kata, apakah disiplin ilmu antropologi ragawi merupakan sebuah kemewahan?
Bagi sebagian orang, ya. Tapi ini sebenarnya sama saja dengan disiplin ilmu perdamaian, misalnya. Seperti kata almarhum Romo Mangunwijaya, kalau perut kosong, bagaimana mungkin berpikir tentang perdamaian di Bosnia? Tapi orang yang perutnya sudah kenyang pun ternyata tidak memikirkan soal pelanggaran hak asasi. Ini soal wawasan. Pada umumnya orang hanya melihat sesuatu yang dekat dalam waktu dan ruang, jarang memikirkan 15 tahun yang akan datang atau melihat ke belakang 10 ribu tahun lalu.
Apa manfaatnya menengok ke masa sepuluh ribu tahun lalu?
Untuk bersikap seperti ini, memang perlu waktu dan uang. Manfaatnya? Ini menimbulkan kebanggaan nasional dan kebanggaan kita sebagai manusia. Manusia akan selalu bertanya, ''Dari mana saya datang?" Dia bisa berpikir di luar ruang dan waktunya yang sekarang. Sebaliknya, kambing tidak akan pernah menanyakan asal-usul dan nasibnya.
Seringkah Anda bertemu dengan orang yang sama sekali tidak tahu tentang antropologi ragawi?
Tidak cuma di sini, tapi juga di Amerika. Dalam sebuah pesta koktail di Amerika, setiap orang memperkenalkan diri. Saya katakan, saya bekerja di bidang antropologi. Seorang ibu langsung berkomentar, ''Very interesting, but what is that? (menarik sekali, tapi apa itu?)"
Apa jawaban Anda?
Namanya juga pesta koktail. Jawabannya harus ringan, dong. Saya ambil contoh seseorang yang hadir dalam acara kami. Kepada ibu itu, saya ganti bertanya, ''Kenapa orang ini berbusana demikian? Dan mengapa bentuk hidungnya begitu?" Lalu, si ibu menjawab, ''Karena dia orang Yahudi." Lalu, saya bilang, itulah antropologi. Setelah itu, barulah saya uraikan lebih lanjut.
Sejak kapan Anda berminat memperdalam bidang studi yang langka ini?
Setelah menjadi dokter, saya sempat berpraktek sebentar. Saya mendapat tawaran meneruskan spesialisasi penyakit dalam. Saat itu, ada juga tawaran lain untuk mengambil master di bagian anatomi. Jadi, percuma kalau mengambil spesialisasi penyakit dalam. Saya kemudian menjadi asisten dosen anatomi yang bekerja dengan mayat. Tapi saya lebih suka bekerja dengan manusia hidup karena mayat kan berbau.
Toh, akhirnya Anda menekuni tulang-belulang manusia yang sudah mati. Mengapa?
Tulang-tulang manusia yang sudah diproses kan tidak berbau lagi. Ketika belajar di Amerika, saya bertemu dengan fosil, yang bagi saya sangat menarik karena begitu banyak rahasia alam yang terkandung di dalamnya.
Yang menarik itu apanya?
Pekerjaan ini seperti detektif. Sepotong tulang tidak berguna bagi orang yang tidak bisa membaca bahasa tulang. Tuhan menulis pada setiap benda di alam ini. Inilah sebenarnya kitab suci yang pertama. Orang cuma tahu kitab suci dalam bahasa Arab atau Yahudi. Padahal, melalui benda-benda di alam inilah kitab suci pertama diturunkan Tuhandan mudah dimengerti bila manusia mampu memahami bahasa alam.
Lalu, apa yang bisa dibacadengan bahasa alam tadidalam sepotong tulang?
Tulang, walau hanya sepotong, bercerita tentang masa hidup manusia di masa lalu. Bekas dipukul atau kekurangan makan di usia kanak-kanak bisa terbaca di atas sepotong tulang. Sehelai rambut bisa membawa kita kepada pemiliknya. Beberapa potong tulang bisa merekonstruksi evolusi manusia yang begitu besar. Hal-hal inilah yang merangsang saya begitu kuat, membuat darah saya mengalir cepat.
Berati penemuan fosil di Sangiran pada 1963 merupakan peristiwa penting betul dalam hidup Anda?
Kalau saya tidak menemukan fosil di Sangiran, mungkin saya akan mengambil cabang antropologi lain. Penemuan itu membuat saya kian tertarik pada antropologi ragawi. Ketika saya mengerjakan disertasi di Belanda, fosil itu saya bawa. Memegang dan memiliki fosil yang sudah begitu lama kita pelajari adalah kenikmatan luar biasa.
Bagaimana Anda bisa kuliah antropologi di dua tempat?
Saya mengambil studi antropologi di Universitas Arizona dan master antropologi di Universitas Howard. Ketika saya akan mengikuti program doktor antropologi pertumbuhan di Pennsylvania, eh, Bung Karno mengganyang Amerika. Jadi, saya tidak boleh berangkat. Tapi hubungan Bung Karno dengan Belanda baik-baik saja. Makanya, saya bisa berangkat ke Rijksuniversiteit di Utrecht.
Penelitian apa yang sedang Anda kerjakan sekarang?
Bersama sebuah tim, saya sedang mengerjakan penelitian tentang manusia yang hidup dan manusia yang akan datang. Di Flores, kami meneliti suku terasing dalam perkawinan yang kurang pengaruh dari luar. Radius perkawinan mereka hanya sekitar 10 kilometer. Nanti akan dilihat pengaruh genetika dan kebudayaannya, bagaimana hubungan genetika dengan fisik.
Pengalaman menarik apa yang Ada temukan selama menekuni antropologi ragawi?
Pernah, suatu ketika, saya menyangka fosil yang saya temukan di Sangiran adalah tulang selangka. Bentuknya memang mirip selangka manusia. Tapi ternyata itu fosil tulang paha buaya. Karena tidak pernah melihat kerangka buaya, saya hampir saja terjerumus, tapi tidak jadi. Sejak saat itu, saya selalu mengumpulkan banyak bahan dulu untuk meyakinkan diri. Ini menjadi peringatan bagi saya agar berhati-hati dan tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo