Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kembalinya si Anak Hilang

Setelah 32 tahun diberangus, wayang Cina kembali manggung. Sayang, pertunjukan ini cuma tampil seadanya.

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asap dupa mengepul. Di atas panggung setinggi setengah meter, boneka-boneka bermata sipit itu memainkan legenda Tiongkok Pembalasan si Jin Kui, sebuah lakon yang berkisah tentang perjuangan anak yang disia-siakan keluarganya. Setelah ditelantarkan, Jin Kui berhasil menjadi jenderal. Saat di puncak, pamannya yang pernah menyakitinya datang untuk meminta maaf. "Terimalah pai-pai-ku, Jin Kui," kata sang Paman. Jin Kui pun memaafkan. Ah, sebuah lakon yang seperti tengah menggugat perilaku pembesar negeri terhadap etnis Cina masa lalu.

Pergelaran wayang ini memang menyedot perhatian warga Cina di Solo. Mereka akhirnya bisa menyaksikan kembali kesenian dari tanah leluhurnya itu, seperti halnya kesenian Tiongkok lain. Saat Orde Baru, semua yang berkait dengan agama, adat-istiadat, dan kepercayaan Cina dilarang melalui Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1967. Terbitnya Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 membatalkan larangan itu. Malam itu, Sutanto alias Tan King Hauw, sang Dalang, menghadirkan kesenian yang pernah hilang itu. "Ini akan menambah keanekaragaman budaya Indonesia," ujarnya.

Wayang yang dimainkan jebolan ASRI Yogyakarta ini merupakan turunan dari wayang potehi, yang masuk ke Indonesia ratusan tahun silam. Saat Orde Lama, potehi kerap dimainkan di berbagai kelenteng. Lakon yang biasa dimainkan adalah legenda dari Negeri Tirai Bambu. Namun, di tangan Tan, 50 tahun, wayang yang muncul sekitar tiga ribu tahun silam itu dinamai Wayang Peranan Suteng. Nama Suteng adalah sebutan bagi masyarakat Cina peranakan di Solo.

Meski begitu, wayang ini tetap mengacu pada bentuk potehi, yang berarti wayang kantong kain yang meniru bentuk manusia. Kepalanya dibuat dari bahan fiber sedangkan bagian tubuh lainnya dibentuk dari kantong kain. Wayang ini dimainkan dengan cara memasukkan tangan ke dalam badan wayang yang dibuat dari kantong kain. Ibu jari dan kelingking adalah penggerak bagian tangan wayang.

Bedanya cuma soal bahasa. Wayang Peranan Suteng ini berdialog dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa yang kental. Terkadang, diselingi ungkapan kata-kata Jawa, Inggris, dan tentu saja Cina. Sesekali, terdengar siulan ataupun dendangan sang Dalang, seperti melantunkan lagu Khe Ce Cin Cai Lai, lagu Mandarin yang populer dilantunkan Teresa Teng. Penuturannya pun amat santai.

Hanya, wayang yang dimainkannya itu tampil seadanya. Musiknya pun ala kadarnya: hanya tambur besar yang biasa digunakan untuk mengiringi barongsai. Perabot lainnya, sebuah batok kelapa dan lempengan besi yang dipukul-pukul. "Boneka-boneka ini kami buat hanya dalam waktu empat hari," ujar Nita Puspitasari alias Yap Tjin Hwa, istri Sutanto. Yang cukup menolong, busana dan tata rias wajah para pemain yang memancarkan aroma khas Negeri Tirai Bambu.

Agaknya, soal ini terletak pada masalah dana. Setelah berusaha mencari sponsor tidak berhasil, akhirnya pertunjukan bisa terselenggara dengan hanya mengandalkan penjualan tiket. Toh, pertunjukan dalang yang tahun lalu ikut memomulerkan barongsai saat deklarasi Partai Amanat Nasional di Solo itu berhasil menyita perhatian warga etnis Cina. Setidaknya buat mereka yang ingin bernostalgia.

Pramono, salah satu penonton yang ingin bernostalgia. Dulu, sebelum pertunjukan ini dilarang, ia sering menyaksikan wayang potehi yang biasa dimainkan di depan kelenteng. "Biasanya diadakan oleh masyarakat Cina saat ulang tahun wihara," katanya. Yang jelas, malam itu benar-benar istimewa buat dia. Pasalnya, malam itu ia juga menyaksikan beberapa kesenian Cina, seperti barongsai, permainan pedang, dan tarian yang dipentaskan dengan gemulai.

Kemunculan kembali berbagai kesenian Cina ini, menurut James Dananjaya, ahli folklor, patut disyukuri. Sebab, selama ini masyarakat Cina dan keseniannya sering mengalami diskriminasi hanya dengan alasan tidak memiliki daerah teritori. Padahal, menurut James, kesenian Cina sudah banyak diserap oleh kesenian daerah lain. Cokek, misalnya. "Kesenian itu merupakan kebudayaan Cina peranakan," katanya. Menurut James, maraknya kesenian Cina tidak perlu ditakuti. Sebaliknya, hal ini bisa memperkaya khazanah budaya yang dapat memperkuat sinergi.

Nah, melihat kegairahan semacam itu, agaknya saat ini merupakan waktu yang tepat untuk membangunkan kembali kesenian-kesenian yang telah lama mati suri ini. Cuma, dengan kondisi yang seperti sekarang ini, keberadaan kesenian itu tampak seperti orok yang belajar berjalan. Kehadiran orang berduit yang punya cita rasa seni agaknya diperlukan, agar langkah mereka tak lagi tersendat. Siapakah maesenas itu?

Irfan Budiman dan L.N. Idayanie (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus