JEPANG bagai landak yang hanya mampu membalas jika diserang."
Demikian bekas PM Takeo Fukuda mencoba menggambarkan posisi
pertahanan Jepang di tengah menggebunya desakan (yang mirip
tuntutan) Amerika Serikat.
Desakan atau tuntutan AS memang makin santer--agar Jepang
meningkatkan kemampuan militernya. Karena, kayaknya bekas jagoan
Perang Dunia II itu sudah tidak mampu sendirian mengimbangi
membengkaknya kebolehan angkatan perang Uni Soviet.
Boleh saja Amerika mendesak atau menuntut. Toh tidak mungkin
memaksa. Setidak-tidaknya demikianlah anggapan Kenneth S. Chern,
yang menulis tentang dilema pertahanan Jepang dalam The Asian
Wall Street Journal. Untuk mengukuhkan anggapannya, dosen
sejarah Universitas Hongkong itu mengutip penyair Rudyard
Kipling: "Tolollah orang yang memaksakan kehendaknya kepada
Dunia Timur."
Syukurlah: menurut Chern, paling kurang para ahli militer
Amerika memahami "kearifan" bait sajak Kipling -- yang dikenal
sangat membedabedakan Barat dan Timur itu ("Timur adalah Timur,
Barat adalah Barat, keduanya tak mungkin bertemu, katanya").
Pemahaman itu terbukti ketika Armada VII AS ikut dalam latihan
tahunan AL Jepang untuk pertama kalinya.
Realisasi desakan Amerika sendiri, di pihak Jepang baik PM
Zenko Suzuki maupun Menlu Sunao Sonoda berkali-kali mengingatkan
komitmen Jepang pada diplomasi damainya dan kebijaksanaan
bantuan ekonomi kepada negeri-negeri sedang berkembang. Jepang
masih tidak ingin berperanan secara militer di Asia.
"Isu itu tidak baru," tulis Chern. Sudah satu dasawarsa, masalah
yang jalin berjalin ya itu-itu saja. Yakni: surplus perdagangan
Jepang-Amerika, biaya pertahanan di Jepang dan di negeri-negeri
Asia lain. Selama ini semua masalah tersebut menjadi kerepotan
AS--sementara Jepang sibuk sendiri dengan urusan dagang. Inilah
yang mengganggu hubungan kedua negara yang dalam Perang Pasifik
pernah main hancur-hancuran ini.
Tapi ada "yang telah berubah secara dramatis," Chern
menyimpulkan. Yaitu kesediaan orang Jepang berbicara secara
bebas di kalangan mereka sendiri--jika perlu dengan
Amerika-tentang peranan Jepang sebagai kekuatan dunia.
Dihadapkan pada situasi internasional yang berbahaya, Jepang
yang sudah jadi super power ekonomi itu mulai berpikir-pikir
tentang kelemahannya: ketergantungan yang terlalu pada
perdagangan, jalur lalu lintas laut yang rapuh, dan
tekanan-tekanan dari luar dan dari dalam negeri sendiri. Ini
semua, sekarang atau nanti, mendorong negeri kekaisaran itu
menemukan identitas-politik dan strateginya yang paling sesuai.
"Usaha Amerika yang mendorong mereka agar buru-buru mengambil
keputusan, pada waktunya malah tidak produktif," Chern
mengingatkan.
Secara resmi, desakan Amerika agar Jepang meningkatkan anggaran
belanja pertahanannya sudah dimulai ketika Nixon masih duduk di
Gedung Putih. Ketika Suzuki bertemu Reagan di Washington, Mei
lalu, orang Amerika mengajukan alasan-alasan baru. Untuk
menolong AS, kata mereka, Jepang harus berbuat banyak. Dan
ternyata memang cukup banyak bagi Jepang yang terkenal pelit
itu. Amerika yang royal itu minta agar Jepang sudi meningkatkan
anggaran belanja pertahanannya dari 1% menjadi 6% dari GNP.
Desakan yang sama datang pula dari kalangan AL AS dan Menhankam
Caspar Wienberger. Mereka ingin agar Jepang memperpanjang
jangkauan pertahanannya sampai 1.600 km ke arah selatan
kepulauan negeri tersebut. Dan dua bulan lalu Pentagon
membocorkan ketidakpuasan mereka terhadap sikap tak ambil pusing
khalayak Jepang-berkenaan dengan ancaman Soviet di jalur vital
transpor minyak. Padahal Jepang sendiri sangat berkepentingan
terhadap keamanan jalur tersebut.
Tekanan Amerika tidak berhenti di sini. Kini giliran para
senator dan anggota Kongres. Dalam kunjungan senator dari Partai
Demokrat John Glen dan anggota Kongres dari Partai Republik Sam
Gibbons ke Jepang kasakkusuk untuk meningkatkan kemampuan
pertahanan Jepang juga dilakukan. Dan, ketika berlangsung
Konperensi Shimoda September lalu, yang disponsori kalangan
swasta, para peserta Amerika mengeluhkan sikap santai Jepang
menghadapi ancaman Soviet itu.
Yang memalukan, kata Chern lebih jauh dalam tulisannya, ialah
perselisihan antara Jepang dan Korea Selatan-justru di tengah
posisi canggung Jepang. Bunga sengketanya adalah soal Menlu
Korea yang menagih janji bantuan US$ 6 milyar dari Jepang untuk
pembangunan lima tahun mendatangnya. Tagihan itu diluluskan
sebagian sebagian oleh Jepang, ditambah dengan sindiran. Yang
disindir mudah ditebak: Korea mengemis-ngemis bantuan
ekonomi--yang sebagian justru digunakan untuk mempertangguh
angkatan perangnya. Padahal Jepang sendiri tidak melakukan ulah
itu.
Sebaliknya Korea tidak kalah siap. Kata mereka, sebenarnya
merupakan kepentingan Jepang sendiri bila stabilitas di
Semenanjung Korea terjamin. Dan ini memang mengharuskan Tokyo
menopang perekonomian Korea Selatan.
SONODA tak kalah sigap. Dengan keras dan angkuh ia menyangkal
Jepang pernah mengaitkan bantuan ekonomi dengan kepentingan
militer. Tak jelas, apakah Korea ganti pula menyangkal.
Pertikaian itu segera ditengahi pejabat Deparlu AS, Michael
Armacost.
Tapi penengah yang sesungguhnya tidak benar-benar tengah itu,
ternyata memihak Korea. Dalam kesempatan Konperensi Shimuda ia
menekankan: Jepang sungguh-sungguh berkewajiban membantu Korea
yang memadukan kepentingan ekonomi dengan strategi.
Dan pernyataan seperti itu menimbulkan kecurigaan Tokyo:
janganjangan Seoul - Washington bersekongkol menekan negeri
mereka agar meningkatkan kekuatan militernya di Asia Tenggara.
Tekanan-tekanan itulah yang dianggap Chern mempersulit
Jepang--dalam usaha negeri ini menilai kembali komitmennya yang
hendak tetap ngotot tidak berperanan secara militer di
gelanggang dunia. Jepang memang bangsa yang kaku--apalagi untuk
mengubah konstitusi damainya. Di samping itu, dapat dipaham,
pengalaman pahit telah mereka rasakan ketika berada di bawah
duli kaum militer yang pernah membawa mereka ke kehancuran
perang. Tapi, sebaliknya, ada rasa rapuh bila diserang: sebuah
nasion kepulauan yang hampir sepenuhnya tergantung pada
perdagangan luar negeri. Inilah rintangan-rintangan batin yang
membuat Jepang tercanggung-canggung.
Namun jelas sudah, dengan begitu sikap pasifisme Jepang sudah
mulai dilanda erosi. Tak mengejutkan ketika kemudian Departemen
Pertahanan Jepang mengeluarkan Buku Putih tahun 1981. Buku itu
berbicara tentang kebutuhan negeri tersebut memperkuat angkatan
bersenjatanya. Lebih penting lagi, pe Jepang--yang secara
tradisional antimiliterisme--malah mulai mempermasalahkan apakah
persiapan pertahanan Jepang sudah memadai. Di antara media cetak
yang angkat bicara termasuk YumiariShimbun danAsahi Shimbun--d
ua surat kabar Jepang dengan oplah jutaan.
Partai-partai oposisi juga mulai berubah. Partai Komeito,
misalnya, yang sejak lama menganggap adanya Pasukan Bela Diri
Jepang tidak konstitusional, sudah mengubah pendirian. Para
pemimpin mereka sedang berusaha mengakui legalitas itu pasukan.
Malah mulai meneliti dan memperinci senjata yang boleh dipakai.
Di dalamnya tidak termasuk samurai, tentu saja.
Jadinya, Jepang tergencet antara desakan rakyatnya sendiri dan
Amerika. Akibatnya: harus ada pengeluaran ekstra untuk membiayai
pertahanan. Jepang harus meningkatkan anggaran pertahanannya
sarnpai 7,5% lebih tinggi dari peningkatan anggaran
keseluruhan--meskipun 2% lebih rendah dari yang diinginkan para
pejabat di Washington.
Bahkan pemerintah Suzuki memutuskan mencadangkan dana dari
anggaran 1983 dan 1984 untuk membeli beberapa pesawat anti-kapal
selam jenis F-15 dan P-3C.
Toh, kepada para pengajur Amerika, perdana menteri ini
menyatakan Jepang tidak mungkin berperanan ekspansif. Jadi tak
lebih dari seekor landak yang hanya membalas jika
diserang--seperti perumpamaan bekas PM Fukuda.
Tak heran: dalam Konperensi Shimuda, para peserta Jepang
mengakui ancaman bahaya Soviet--malah "sebuah serbuan militer
Soviet di Asia". Menurut mereka, tingkah agresif Soviet di
seantero dunia itu untuk menutupi kelemahannya di bidang ekonomi
dan politik. US$ 13 milyar yang dikeluarkan Amerika untuk
membiayai pertahanannya untuk masa 3 tahun mendatang telah
membukakan mata Tokyo.
Toh Washington salah jika meminta 'ganti' dari Jepang--kendati
dengan dalih untuk mengimbangi Soviet. Kebanyakan orang Jepang
menganggap Washington memaksa mereka meningkatkan pembiayaan
militer untuk menyelesaikan keruwetan ekonomi Amerika sendiri.
Setidaknya melalui penjualan senjata atau kendaraan militer
Amerika yang sangat mahal, seperti pesawat F-15 dan P-3C.
Memang, pihak Jepang bagaimanapun sudah sampai pada pengakuan
perlunya bermain secara lebih sepadan di arena dunia. Dalam
kata-kata seorang wartawan: "Jika Jepang tidak main dalam
peningkatan peranan militer, harus jelas dalam peran yang
bagaimana. Dan ini harus didukung suatu tindakan."
Tapi salah satu tindakan yang diambil itu ternyata penggandaan
bantuan luar negeri. Yaitu sebesar 0,7% dari GNP-nya menjelang
1985. Nah. Keputusan terpuji itu sayangnya kurang berharga di
mata para perancang pertahanan Amerika.
Tapi sebenarnya ada batu pengganjal lain sehubungan dengan
peningkatan persenjataan itu. Yakni reaksi keras negara-negara
ASEAN. Menurut Kennet S. Chern, empat dari lima negeri
ASEAN--termasuk Indonesia, tentu saja--dulu menderita kebrutalan
pendudukan militer Jepang semasa Perang Dunia kedua. Tak heran
bila mereka inilah yang paling khawatir, si "landak sipit" akan
"dapat melemparkan beban tubuhnya ke sekeliling, yang walau
bukan untuk sesuatu maksud, tapi mencelakakan anak ayam," kata
Chern. Padahal negeri-negeri ASEAN bukan anak ayam.
Korea juga menderita kepahitan tak terlupakan selama 36 tahun
dijajah Jepang. Di samping itu Uni Soviet--sudah
tentu--menyatakan keberatannya dengan maksud remiliterisasi
Jepang. Malah juga Cina.
Dan itu belum seluruhnya. Sejak 1945, Uni Soviet menguasai
Kepulauan Kuril -- yang menurut Jepang bagian wilayahnya. Soviet
menolak mem bicarakan penyerahan kembali kepulauan di utara
pulau utama Jepang Hokkaido itu. Dan penolakan inilah yang
menjadi duri perjanjian bilateral Soviet-Jepang, sejak 1978. Ini
pulalah yang mendorong Jepang berkawan dengan musuh utama
Soviet, kini, RRC, melalui perjanjian perdamaian yang mereka
buat di tahun yang sama. Perjanjian perdamaian ini membikin Uni
Soviet sering bermimpi buruk.
Soviet lalu membalas. Nelayan Jepang, yang beroperasi di
perairan utara, diganggunya. Di Kuril sendiri Soviet memperbesar
jumlah pasukan dalam ukuran divisi. Maka Jepang pun
mempertimbangkan dalam-dalam segala polah negeri tukang caplok
itu.
Dua bulan lalu, misalnya, Suzuki mengunjungi Hokkaido. Agak
mengagetkan: ia mengadakan inspeksi dari udara atas Kepulauan
Kuril. Dan, peristiwa ini disiarkan secara luas. Suzuki adalah
PM Jepang pertama setelah perang yang mengadakan inspeksi
semacam itu di kepulauan tersebut.
Politik Soviet, tapi juga tanggapan Jepang terhadap
sahabat-sahabatnya di Asia di satu segi, dan Amerika di segi
lain, itulah kunci isu peningkatan militer Jepang. Tambahan lagi
cadangan 1 % GNP Jepang untuk pertahanannya tersebut tidak
berdiri sendiri. Ia kait mengait dengan konstitusi negara
ini-yang antimiliterisme--dan kenangan tak tertupakan penduduk
Asia akan kekejaman tentara Tenno Heika dulu. Semuanya merupakan
rintangan psikologis dan politis--yang tenu saja tidak dapat
diselesaikan hanya dengan debat soal anggaran tahunan.
Itulah pendapat seorang penulis luar Jepang, seorang Barat.
Bagaimana menurut orang Asia, si Jepang sendiri?
"Dalam dasawarsa ini, Uni Soviet 'kan mencapai puncak kejayaan
militernya," tulis Shin Kanemaru dalam media yang sama. Amerika
akan melorot ke posisinya yang lebih rendah dalam keseluruhan
perimbangan kekuatan. Dan kemelorotan itu bukan saja akan
merupakan "sumbangan" kepada keleluasaan Soviet menjalankan aksi
militernya dalam skala dunia. Tapi juga bisa mendorong
keberanian negeri beruang itu menyerbu Jepang. Padahal
Jepang-sendiri belum siap.
Pendapat Kanemaru cukup berharga untuk disimak. Di samping bekas
menteri pertahanan Jepang, ia juga presiden Pusat Studi Jepang
Tentang Masalah-Masalah Strategi. Tulisan ini sendiri
berdasarkan makalahnya yang terakhir, "Pertahanan Jepang,
Pandangan Alternatif Dari Tokyo".
Uni Soviet maupun Jepang, tulisnya, menganggap jalan masuk ke
Teluk Persia yang 'berminyak' sebagai vital. Karena kita
melimpahkan kepercayaan yang besar terhadap minyak Timur Tengah,
Jepang sependapat dengan Menteri Pertahanan Amerika Harold
Brown. Yaitu dalam hal bahwa dominasi Soviet terhadap teluk itu
akan meningkat menjadi pendudukan wilayah Jepang.
Karena Samudera Hindia dan Pasifik adalah kawasan strategis,
Jepang dan Amerika harus mempertahankannya mati-matian. Padahal
kekuatan militer Jepang di Asia.tidak cukup untukmengamankan
stabilitas militer di kedua lautan itu secara penuh. Itulah
kemungkinan yang terlihat: konfrontasi militer AS-Soviet di
Timur Tengah bisa menyebar ke mana-mana. Eropa Barat, Atlantik,
Asia Timur dan Pasifik Barat.
Dengan berbagai alasan, para analis percaya, Asia sedang
terperosok dalam fase perkembangan berbahaya. Sementara itu,
superioritas kekuatan AL-AS sedang melorot. Tentu saja
dibandingkan dengan musuh bebuyutannya, Uni Soviet, terutama di
kawasan Pasifik dan India. Kekuatan konvensional Soviet di
kawasan itu terentang dari Provinsi Maritime dan Shakalin sampai
ke utara Jepang. Sementara itu Vietnam semakin dalam menjadi
basis militer Soviet. Sedangkan Korea Utara dengan garis
politiknya yang kaku dan keras, masih ingin 'coba-coba main ke
utara'. Soalnya mereka merasa kuat. Dan kekuatan militernya
cukup tangguh.
Bertahun-tahun Jepang mempercayakan pertahanannya kepada sistem
keamanan bersama AS-Jepang. Sambil mengandalkan kemampuan
Pasukan Bela Dirinya yang defensif, Jepang lebih mementingkan
sektor lainnya.
"Kini penting sekali bagi Jepang mengandalkan kemampuannya
sendiri," tulis Kanemaru. Jepang dapat meningkatkan kemampuannya
sejak jauh-jauh hari. Dan "membuktikan kemampuan menopang
pertahanannya sendiri melebihi dari sebelumnya." Berbareng
dengan itu, pengandalan kepada sistem keamanan Jepang-AS masih
tetap dipertimbangkan.
Dalam tulisannya itu Shin Kanemaru menyampaikan beberapa usul.
Pertahanan Jepang, menurutnya, harus dibangun agar mampu secara
efektif menghadapi berbagai kemungkinan ancaman. Untuk menjamin
keamanan tidak boleh dipakai pertimbangan anggaran, yang dapat
mencapai puncaknya dalam formulasi kebijaksanaan keamanan.
Sistem keamanan Jepang-AS diselesaikan dan dibicarakan
berdasarkan saling menghargai kepada tanggung iawab dan
keterbatasan masing-masing.
"Jepang perlu membangun kesiapan militernya dengan segera,"
tulis Kanemaru pula. Dalamnya termasuk penggalakan kewaspadaan
yang besar dari unsur Hansip. Di samping itu juga kesiapan
fisik: jalan, jembatan, angkutan darat dan kereta api.
Sebagai langkah pertama, menurut bekas Menhankam Jepang itu,
harus diundangkan peraturan atau hukum preventif terhadap
kegiatan spionase. Antaranya untuk menjaga kerahasiaan negara.
Dengan negara sahabat, kerahasiaan itu justru dianjurkan
dipertukarkan.
Untuk maksud pembangunan pertahanan dan keamanan Jepang itu,
diperlukan personil bersenjata sekitar 100.000 orang. Itulah
perkiraan Kanemaru. Ini berarti, setiap tahun harus direkrut
30.000 personil. Status sosial dan jaminan pengembangan karirnya
juga harus dipikirkan.
Peralatan dan kesenjataan tentu saja diharapkan dari Amerika.
Pembiayaannya tidak bisa dalam satu dua tahun anggaran, tapi
diperlukan 3-5 tahun. Penting pula dikelola jaringan produksi
untuk meningkatkan pengadaan perbekalan dalam negeri. Untuk ini,
Kanemura menganjurkan penanaman modal spekulatif dari pihak
swasta. Ini tak sukar bagi Jepang.
Semua yang dianjurkan itu tentu percuma, kalau larangan
penggunaan tenaga nuklir tidak dilaksanakan. Kanemaru
menganjurkan agar penempatan senjata nuklir di kapal-kapal
dilarang. Sambil menganjurkan perlunya basis-basis militer dan
pusat-pusat latihan, perlu digalakkan latihan-latihan militer.
"Pertahanan nasional harus menjadi jantung politik nasional.
Sentimen-sentimen patriotis dan semangat nasional, yang kini
langka di Jepang, harus digalakkan kembali".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini