Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jepang awal kebangkitan kedua

Posisi pertahanan jepang ditengah menggebu desakan amerika serikat agar jepang meningkatkan kemampuan militernya. tapi jepang tidak ingin berperanan secara militer di asia.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEPANG bagai landak yang hanya mampu membalas jika diserang." Demikian bekas PM Takeo Fukuda mencoba menggambarkan posisi pertahanan Jepang di tengah menggebunya desakan (yang mirip tuntutan) Amerika Serikat. Desakan atau tuntutan AS memang makin santer--agar Jepang meningkatkan kemampuan militernya. Karena, kayaknya bekas jagoan Perang Dunia II itu sudah tidak mampu sendirian mengimbangi membengkaknya kebolehan angkatan perang Uni Soviet. Boleh saja Amerika mendesak atau menuntut. Toh tidak mungkin memaksa. Setidak-tidaknya demikianlah anggapan Kenneth S. Chern, yang menulis tentang dilema pertahanan Jepang dalam The Asian Wall Street Journal. Untuk mengukuhkan anggapannya, dosen sejarah Universitas Hongkong itu mengutip penyair Rudyard Kipling: "Tolollah orang yang memaksakan kehendaknya kepada Dunia Timur." Syukurlah: menurut Chern, paling kurang para ahli militer Amerika memahami "kearifan" bait sajak Kipling -- yang dikenal sangat membedabedakan Barat dan Timur itu ("Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, keduanya tak mungkin bertemu, katanya"). Pemahaman itu terbukti ketika Armada VII AS ikut dalam latihan tahunan AL Jepang untuk pertama kalinya. Realisasi desakan Amerika sendiri, di pihak Jepang baik PM Zenko Suzuki maupun Menlu Sunao Sonoda berkali-kali mengingatkan komitmen Jepang pada diplomasi damainya dan kebijaksanaan bantuan ekonomi kepada negeri-negeri sedang berkembang. Jepang masih tidak ingin berperanan secara militer di Asia. "Isu itu tidak baru," tulis Chern. Sudah satu dasawarsa, masalah yang jalin berjalin ya itu-itu saja. Yakni: surplus perdagangan Jepang-Amerika, biaya pertahanan di Jepang dan di negeri-negeri Asia lain. Selama ini semua masalah tersebut menjadi kerepotan AS--sementara Jepang sibuk sendiri dengan urusan dagang. Inilah yang mengganggu hubungan kedua negara yang dalam Perang Pasifik pernah main hancur-hancuran ini. Tapi ada "yang telah berubah secara dramatis," Chern menyimpulkan. Yaitu kesediaan orang Jepang berbicara secara bebas di kalangan mereka sendiri--jika perlu dengan Amerika-tentang peranan Jepang sebagai kekuatan dunia. Dihadapkan pada situasi internasional yang berbahaya, Jepang yang sudah jadi super power ekonomi itu mulai berpikir-pikir tentang kelemahannya: ketergantungan yang terlalu pada perdagangan, jalur lalu lintas laut yang rapuh, dan tekanan-tekanan dari luar dan dari dalam negeri sendiri. Ini semua, sekarang atau nanti, mendorong negeri kekaisaran itu menemukan identitas-politik dan strateginya yang paling sesuai. "Usaha Amerika yang mendorong mereka agar buru-buru mengambil keputusan, pada waktunya malah tidak produktif," Chern mengingatkan. Secara resmi, desakan Amerika agar Jepang meningkatkan anggaran belanja pertahanannya sudah dimulai ketika Nixon masih duduk di Gedung Putih. Ketika Suzuki bertemu Reagan di Washington, Mei lalu, orang Amerika mengajukan alasan-alasan baru. Untuk menolong AS, kata mereka, Jepang harus berbuat banyak. Dan ternyata memang cukup banyak bagi Jepang yang terkenal pelit itu. Amerika yang royal itu minta agar Jepang sudi meningkatkan anggaran belanja pertahanannya dari 1% menjadi 6% dari GNP. Desakan yang sama datang pula dari kalangan AL AS dan Menhankam Caspar Wienberger. Mereka ingin agar Jepang memperpanjang jangkauan pertahanannya sampai 1.600 km ke arah selatan kepulauan negeri tersebut. Dan dua bulan lalu Pentagon membocorkan ketidakpuasan mereka terhadap sikap tak ambil pusing khalayak Jepang-berkenaan dengan ancaman Soviet di jalur vital transpor minyak. Padahal Jepang sendiri sangat berkepentingan terhadap keamanan jalur tersebut. Tekanan Amerika tidak berhenti di sini. Kini giliran para senator dan anggota Kongres. Dalam kunjungan senator dari Partai Demokrat John Glen dan anggota Kongres dari Partai Republik Sam Gibbons ke Jepang kasakkusuk untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Jepang juga dilakukan. Dan, ketika berlangsung Konperensi Shimoda September lalu, yang disponsori kalangan swasta, para peserta Amerika mengeluhkan sikap santai Jepang menghadapi ancaman Soviet itu. Yang memalukan, kata Chern lebih jauh dalam tulisannya, ialah perselisihan antara Jepang dan Korea Selatan-justru di tengah posisi canggung Jepang. Bunga sengketanya adalah soal Menlu Korea yang menagih janji bantuan US$ 6 milyar dari Jepang untuk pembangunan lima tahun mendatangnya. Tagihan itu diluluskan sebagian sebagian oleh Jepang, ditambah dengan sindiran. Yang disindir mudah ditebak: Korea mengemis-ngemis bantuan ekonomi--yang sebagian justru digunakan untuk mempertangguh angkatan perangnya. Padahal Jepang sendiri tidak melakukan ulah itu. Sebaliknya Korea tidak kalah siap. Kata mereka, sebenarnya merupakan kepentingan Jepang sendiri bila stabilitas di Semenanjung Korea terjamin. Dan ini memang mengharuskan Tokyo menopang perekonomian Korea Selatan. SONODA tak kalah sigap. Dengan keras dan angkuh ia menyangkal Jepang pernah mengaitkan bantuan ekonomi dengan kepentingan militer. Tak jelas, apakah Korea ganti pula menyangkal. Pertikaian itu segera ditengahi pejabat Deparlu AS, Michael Armacost. Tapi penengah yang sesungguhnya tidak benar-benar tengah itu, ternyata memihak Korea. Dalam kesempatan Konperensi Shimuda ia menekankan: Jepang sungguh-sungguh berkewajiban membantu Korea yang memadukan kepentingan ekonomi dengan strategi. Dan pernyataan seperti itu menimbulkan kecurigaan Tokyo: janganjangan Seoul - Washington bersekongkol menekan negeri mereka agar meningkatkan kekuatan militernya di Asia Tenggara. Tekanan-tekanan itulah yang dianggap Chern mempersulit Jepang--dalam usaha negeri ini menilai kembali komitmennya yang hendak tetap ngotot tidak berperanan secara militer di gelanggang dunia. Jepang memang bangsa yang kaku--apalagi untuk mengubah konstitusi damainya. Di samping itu, dapat dipaham, pengalaman pahit telah mereka rasakan ketika berada di bawah duli kaum militer yang pernah membawa mereka ke kehancuran perang. Tapi, sebaliknya, ada rasa rapuh bila diserang: sebuah nasion kepulauan yang hampir sepenuhnya tergantung pada perdagangan luar negeri. Inilah rintangan-rintangan batin yang membuat Jepang tercanggung-canggung. Namun jelas sudah, dengan begitu sikap pasifisme Jepang sudah mulai dilanda erosi. Tak mengejutkan ketika kemudian Departemen Pertahanan Jepang mengeluarkan Buku Putih tahun 1981. Buku itu berbicara tentang kebutuhan negeri tersebut memperkuat angkatan bersenjatanya. Lebih penting lagi, pe Jepang--yang secara tradisional antimiliterisme--malah mulai mempermasalahkan apakah persiapan pertahanan Jepang sudah memadai. Di antara media cetak yang angkat bicara termasuk YumiariShimbun danAsahi Shimbun--d ua surat kabar Jepang dengan oplah jutaan. Partai-partai oposisi juga mulai berubah. Partai Komeito, misalnya, yang sejak lama menganggap adanya Pasukan Bela Diri Jepang tidak konstitusional, sudah mengubah pendirian. Para pemimpin mereka sedang berusaha mengakui legalitas itu pasukan. Malah mulai meneliti dan memperinci senjata yang boleh dipakai. Di dalamnya tidak termasuk samurai, tentu saja. Jadinya, Jepang tergencet antara desakan rakyatnya sendiri dan Amerika. Akibatnya: harus ada pengeluaran ekstra untuk membiayai pertahanan. Jepang harus meningkatkan anggaran pertahanannya sarnpai 7,5% lebih tinggi dari peningkatan anggaran keseluruhan--meskipun 2% lebih rendah dari yang diinginkan para pejabat di Washington. Bahkan pemerintah Suzuki memutuskan mencadangkan dana dari anggaran 1983 dan 1984 untuk membeli beberapa pesawat anti-kapal selam jenis F-15 dan P-3C. Toh, kepada para pengajur Amerika, perdana menteri ini menyatakan Jepang tidak mungkin berperanan ekspansif. Jadi tak lebih dari seekor landak yang hanya membalas jika diserang--seperti perumpamaan bekas PM Fukuda. Tak heran: dalam Konperensi Shimuda, para peserta Jepang mengakui ancaman bahaya Soviet--malah "sebuah serbuan militer Soviet di Asia". Menurut mereka, tingkah agresif Soviet di seantero dunia itu untuk menutupi kelemahannya di bidang ekonomi dan politik. US$ 13 milyar yang dikeluarkan Amerika untuk membiayai pertahanannya untuk masa 3 tahun mendatang telah membukakan mata Tokyo. Toh Washington salah jika meminta 'ganti' dari Jepang--kendati dengan dalih untuk mengimbangi Soviet. Kebanyakan orang Jepang menganggap Washington memaksa mereka meningkatkan pembiayaan militer untuk menyelesaikan keruwetan ekonomi Amerika sendiri. Setidaknya melalui penjualan senjata atau kendaraan militer Amerika yang sangat mahal, seperti pesawat F-15 dan P-3C. Memang, pihak Jepang bagaimanapun sudah sampai pada pengakuan perlunya bermain secara lebih sepadan di arena dunia. Dalam kata-kata seorang wartawan: "Jika Jepang tidak main dalam peningkatan peranan militer, harus jelas dalam peran yang bagaimana. Dan ini harus didukung suatu tindakan." Tapi salah satu tindakan yang diambil itu ternyata penggandaan bantuan luar negeri. Yaitu sebesar 0,7% dari GNP-nya menjelang 1985. Nah. Keputusan terpuji itu sayangnya kurang berharga di mata para perancang pertahanan Amerika. Tapi sebenarnya ada batu pengganjal lain sehubungan dengan peningkatan persenjataan itu. Yakni reaksi keras negara-negara ASEAN. Menurut Kennet S. Chern, empat dari lima negeri ASEAN--termasuk Indonesia, tentu saja--dulu menderita kebrutalan pendudukan militer Jepang semasa Perang Dunia kedua. Tak heran bila mereka inilah yang paling khawatir, si "landak sipit" akan "dapat melemparkan beban tubuhnya ke sekeliling, yang walau bukan untuk sesuatu maksud, tapi mencelakakan anak ayam," kata Chern. Padahal negeri-negeri ASEAN bukan anak ayam. Korea juga menderita kepahitan tak terlupakan selama 36 tahun dijajah Jepang. Di samping itu Uni Soviet--sudah tentu--menyatakan keberatannya dengan maksud remiliterisasi Jepang. Malah juga Cina. Dan itu belum seluruhnya. Sejak 1945, Uni Soviet menguasai Kepulauan Kuril -- yang menurut Jepang bagian wilayahnya. Soviet menolak mem bicarakan penyerahan kembali kepulauan di utara pulau utama Jepang Hokkaido itu. Dan penolakan inilah yang menjadi duri perjanjian bilateral Soviet-Jepang, sejak 1978. Ini pulalah yang mendorong Jepang berkawan dengan musuh utama Soviet, kini, RRC, melalui perjanjian perdamaian yang mereka buat di tahun yang sama. Perjanjian perdamaian ini membikin Uni Soviet sering bermimpi buruk. Soviet lalu membalas. Nelayan Jepang, yang beroperasi di perairan utara, diganggunya. Di Kuril sendiri Soviet memperbesar jumlah pasukan dalam ukuran divisi. Maka Jepang pun mempertimbangkan dalam-dalam segala polah negeri tukang caplok itu. Dua bulan lalu, misalnya, Suzuki mengunjungi Hokkaido. Agak mengagetkan: ia mengadakan inspeksi dari udara atas Kepulauan Kuril. Dan, peristiwa ini disiarkan secara luas. Suzuki adalah PM Jepang pertama setelah perang yang mengadakan inspeksi semacam itu di kepulauan tersebut. Politik Soviet, tapi juga tanggapan Jepang terhadap sahabat-sahabatnya di Asia di satu segi, dan Amerika di segi lain, itulah kunci isu peningkatan militer Jepang. Tambahan lagi cadangan 1 % GNP Jepang untuk pertahanannya tersebut tidak berdiri sendiri. Ia kait mengait dengan konstitusi negara ini-yang antimiliterisme--dan kenangan tak tertupakan penduduk Asia akan kekejaman tentara Tenno Heika dulu. Semuanya merupakan rintangan psikologis dan politis--yang tenu saja tidak dapat diselesaikan hanya dengan debat soal anggaran tahunan. Itulah pendapat seorang penulis luar Jepang, seorang Barat. Bagaimana menurut orang Asia, si Jepang sendiri? "Dalam dasawarsa ini, Uni Soviet 'kan mencapai puncak kejayaan militernya," tulis Shin Kanemaru dalam media yang sama. Amerika akan melorot ke posisinya yang lebih rendah dalam keseluruhan perimbangan kekuatan. Dan kemelorotan itu bukan saja akan merupakan "sumbangan" kepada keleluasaan Soviet menjalankan aksi militernya dalam skala dunia. Tapi juga bisa mendorong keberanian negeri beruang itu menyerbu Jepang. Padahal Jepang-sendiri belum siap. Pendapat Kanemaru cukup berharga untuk disimak. Di samping bekas menteri pertahanan Jepang, ia juga presiden Pusat Studi Jepang Tentang Masalah-Masalah Strategi. Tulisan ini sendiri berdasarkan makalahnya yang terakhir, "Pertahanan Jepang, Pandangan Alternatif Dari Tokyo". Uni Soviet maupun Jepang, tulisnya, menganggap jalan masuk ke Teluk Persia yang 'berminyak' sebagai vital. Karena kita melimpahkan kepercayaan yang besar terhadap minyak Timur Tengah, Jepang sependapat dengan Menteri Pertahanan Amerika Harold Brown. Yaitu dalam hal bahwa dominasi Soviet terhadap teluk itu akan meningkat menjadi pendudukan wilayah Jepang. Karena Samudera Hindia dan Pasifik adalah kawasan strategis, Jepang dan Amerika harus mempertahankannya mati-matian. Padahal kekuatan militer Jepang di Asia.tidak cukup untukmengamankan stabilitas militer di kedua lautan itu secara penuh. Itulah kemungkinan yang terlihat: konfrontasi militer AS-Soviet di Timur Tengah bisa menyebar ke mana-mana. Eropa Barat, Atlantik, Asia Timur dan Pasifik Barat. Dengan berbagai alasan, para analis percaya, Asia sedang terperosok dalam fase perkembangan berbahaya. Sementara itu, superioritas kekuatan AL-AS sedang melorot. Tentu saja dibandingkan dengan musuh bebuyutannya, Uni Soviet, terutama di kawasan Pasifik dan India. Kekuatan konvensional Soviet di kawasan itu terentang dari Provinsi Maritime dan Shakalin sampai ke utara Jepang. Sementara itu Vietnam semakin dalam menjadi basis militer Soviet. Sedangkan Korea Utara dengan garis politiknya yang kaku dan keras, masih ingin 'coba-coba main ke utara'. Soalnya mereka merasa kuat. Dan kekuatan militernya cukup tangguh. Bertahun-tahun Jepang mempercayakan pertahanannya kepada sistem keamanan bersama AS-Jepang. Sambil mengandalkan kemampuan Pasukan Bela Dirinya yang defensif, Jepang lebih mementingkan sektor lainnya. "Kini penting sekali bagi Jepang mengandalkan kemampuannya sendiri," tulis Kanemaru. Jepang dapat meningkatkan kemampuannya sejak jauh-jauh hari. Dan "membuktikan kemampuan menopang pertahanannya sendiri melebihi dari sebelumnya." Berbareng dengan itu, pengandalan kepada sistem keamanan Jepang-AS masih tetap dipertimbangkan. Dalam tulisannya itu Shin Kanemaru menyampaikan beberapa usul. Pertahanan Jepang, menurutnya, harus dibangun agar mampu secara efektif menghadapi berbagai kemungkinan ancaman. Untuk menjamin keamanan tidak boleh dipakai pertimbangan anggaran, yang dapat mencapai puncaknya dalam formulasi kebijaksanaan keamanan. Sistem keamanan Jepang-AS diselesaikan dan dibicarakan berdasarkan saling menghargai kepada tanggung iawab dan keterbatasan masing-masing. "Jepang perlu membangun kesiapan militernya dengan segera," tulis Kanemaru pula. Dalamnya termasuk penggalakan kewaspadaan yang besar dari unsur Hansip. Di samping itu juga kesiapan fisik: jalan, jembatan, angkutan darat dan kereta api. Sebagai langkah pertama, menurut bekas Menhankam Jepang itu, harus diundangkan peraturan atau hukum preventif terhadap kegiatan spionase. Antaranya untuk menjaga kerahasiaan negara. Dengan negara sahabat, kerahasiaan itu justru dianjurkan dipertukarkan. Untuk maksud pembangunan pertahanan dan keamanan Jepang itu, diperlukan personil bersenjata sekitar 100.000 orang. Itulah perkiraan Kanemaru. Ini berarti, setiap tahun harus direkrut 30.000 personil. Status sosial dan jaminan pengembangan karirnya juga harus dipikirkan. Peralatan dan kesenjataan tentu saja diharapkan dari Amerika. Pembiayaannya tidak bisa dalam satu dua tahun anggaran, tapi diperlukan 3-5 tahun. Penting pula dikelola jaringan produksi untuk meningkatkan pengadaan perbekalan dalam negeri. Untuk ini, Kanemura menganjurkan penanaman modal spekulatif dari pihak swasta. Ini tak sukar bagi Jepang. Semua yang dianjurkan itu tentu percuma, kalau larangan penggunaan tenaga nuklir tidak dilaksanakan. Kanemaru menganjurkan agar penempatan senjata nuklir di kapal-kapal dilarang. Sambil menganjurkan perlunya basis-basis militer dan pusat-pusat latihan, perlu digalakkan latihan-latihan militer. "Pertahanan nasional harus menjadi jantung politik nasional. Sentimen-sentimen patriotis dan semangat nasional, yang kini langka di Jepang, harus digalakkan kembali".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus