KUBAH
Ahmad Tohari, PT Dunia Pustaka Jaya, 1980, 184 halaman.
SEORANG dalang dibatasi bermacam-macam aturan yang mengikat.
Namun, dalam keterikatannya itu ia boleh mendalang
sebebas-bebasnya. Kerangka cerita sudah tersedia. Penokohan
tidak boleh diubah. Beberapa bagian kisahan dan cakapan sudah
tersusun rapih. Pathet dan adegan tidak boleh dilanggar
susunannya, dan seterusnya. Tapi ia bebas berbuat apa saja asal
tidak melepaskan ikatan itu.
Paradoks semacam itu memang bisa menjadikan sebuah pertunjukan
wayang menarik. Dan novel Kubah mengandung anasir yang
mirip-mirip itu.
Tokoh utama, Karman, adalah bekas tapol yang dibebaskan. Lelaki
separuh baya itu merasa asing di tengah lingkungannya yang
"baru", yakni kebebasan. Rasa asing menjadi berakar dalam
dirinya terutama karena istri yang ditinggalkannya, yang
dicintai dan mencintainya, telah kawin lagi. Untuk mengembalikan
dirinya sebaik-baiknya ke tengah masyarakat, ia akhirnya
memutuskan membuat kubah sebuah masjid. Ia berhasil, dan dengan
demikian mendapatkan martabatnya kembali.
Bayi dan Semut
Dalam skema cerlta yang demikian Ahmad Tohari sebenarnya tidak
bisa berbuat banyak. Skematisasi harus juga diterapkannya pada
unsur-unsur lain. Seperti halnya skema yang sudah dibuat Margo
bagi Karman dalam novel ini, sebenarnya unsur-unsur penting
dalam karya Ahmad Tohari ini berupa skema Dan seperti halnya
wayang, faktor kebetulanlah yang mengikat unsur-unsur itu
menjadi satu.
Novel ini berusaha mendeskripsikan sebab-musabab Karman menjadi
anggota partai komunis. Usaha yang dijalankan Margo dkk, para
aktivis partai, untuk mencari kader yang baik adalah kisah yang
sudah banyak dikenal--dan merupakan skema. Karena berbagai
faktor kebetulan (anak yatim, masalah tanah, cinta pertama, dan
lain-lain), Karman dengan mudah disuapi dengan berbagai
pengetahuan yang diperlukan seorang kader komunis.
Masa kanak-kanak dan remaja tokoh utama mendapa porsi besar. Aki
batnya, dengar mudah pencerit. melantur. Prose perkembangan
kejiwaan Karmar sebagai kader partai tidak mendapat sorotan,
sebaliknya kisah cinta anak muda itu tiba-tiba menjadi perhatian
utama.
Untuk maksud itu, dalang memang mencipta kan latar yang
cenderung romantik timmbang realistik, dengan sedikit polesan
warna daerah di sana-sini. Denan teknik itu, novel yang pada
bagian pemaparannya menjanjikan masalah keterasingan (yang
biasanya dikait-kaitkan dengan falsafah tentang keberadaan
manusia, absurditas, dan lain-lain), pada bagian-bagian
selanjutnya bermain-main di seputar kejadian-kejadian yang
bergeser ke sana ke mari, tidak sepenuhnya dalam jangkauan tema
utamanya.
Jelas tampak bahwa pencerita mengambil posisi sebagai dalang,
tanpa sama sekali bermaksud mengadakan semacam "pembaruan" dalam
teknik penulisan novel. Memang harus diakui tidak ada yang sama
sekali baru atau mengejutkan atau luar biasa dalam novel ini.
Namun ada beberapa hal yang bisa dicatat karena menarik. Banyak
peristiwa dalam novel ini sebenarnya merupakan lanturan, yang
secara teoritis melemahkan cerita. Tetapi justru pada waktu juru
cerita melantur itulah beberapa bagian novel ini menjadi
menarik, tanpa banyak merusak tema utamanya.
Ada sebuah peristiwa, bayi seorang penuai padi dikerumuni semut
waktu digeletakkan di pinggir sawah. Pencerita asyik sekali
menunjukkan watak Karman yang suka menolong itu. Di tengah
cerita, pencerita berkata, "Akan terbukti kelak, kejadian kecil
itu mempunyai andil dalam penentuan sikap hidup Karman." Ini
komentar si dalang, yang seenaknya saja keluar dari peristiwa
rekaan agar bisa langsung berbicara kepada pembaca.
Kisah cinta lebih banyak dimunculkan dalam novel ini tinimbang
kisah politik. Karman rupanya mencintai Rifah, putri Haji
Bakir. Tetapi cinta Karman gagal Gadis itu dikawinkan dengan
seorang yang lebih "terhormat". Kebetulan suami Rifah meninggal.
Cinta mereka kambuh lagi. Tetapi karena basabasi keduanya tidak
pernah bisa bertemu lagi. Dan si dalang dengan santai berkata,
"Andaikata Karman dapat mendengar keluhan Rifah ini, cerita pun
habis. . . Selesai."
Usaha Karman untuk menemui Rifall setelah kematian suaminya
merupakan adegan yang lancar dan menarik. Demiklan pula beberapa
penggambaran kehidupan di pedesaan dan pertemuan antara Karman
dan Kastagetek. Di antara adegan yang menarik itu ada yang agak
berbau "absurd". Yakni, ketika Marni istri Karman, hamil muda
dan minta buah kedondong malam-malam. Di belakang rumah memang
ada pohon kedondong. Namun Karman tidak bisa memanjatnya. Ia
tebang saja pohon itu.
Dalang novel ini pun tidak segan-segan memasukkan "tanya jawab
monolog" antara Karman dan dirinya sendiri. Di samping adegan
sisipan tentang konsep keadilan, yang bertokohkan Suta dan Naya,
yang mengingatkan kita pada goro-goro wayang. Rupanya Ahmad
Tohari tidak peduli, apakah peristiwa-peristiwa yang
diciptakannya itu bisa terjadi secara berurutan dalam kaitan
sebab-akibat atau tidak. Pengikat utama peristiwa-peristiwa itu
adalah faktor kebetulan, dan oleh karenanya masing-masing adegan
dituntut untuk menarik, meskipun kurang fungsional.
Bagian yang paling lemah justru awal novel ini. Di situ novelis
menunjukkan dirinya seorang yang belum menguasai bahannya dengan
baik. Untunglah, ia lekas-lekas melantur dan lanturan-lanturan
itulah yang sebenarnya menjadi daya tarik novel ini. Skema sudah
ada, pak dalang harus berusaha menarik perhatian khalayak dengan
berbagai adegan dan cakapan yang tidak bertentangan dengan
larangan yang sudah digariskan.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini