WARISAN.
Chairul Harun, PT Dunia Pustaka Jaya, 1979, 152 hal.
BAGINDO Tahar meninggal dengan tenang. Setelah kakak perempuan
dan kemanakannya mendahuluinya, orang tua itu yakin bahwa
Rafilus, anaknya, akan menyelesaikan soal warisan dengan adil
dan bijaksana.
Novel Chairul Harun ini, yang ditulis pada medio 70-an, akhir
bulan lalu diumumkan oleh Yayasan Buku Utama sebagai pemenang
untuk 1979. Harganya terutama, memang terletak pada temanya soal
warisan--yang di sini dihubungkan dengan adat matrilineal di
tanah Minang.
Bagindo Tahar sendiri sebenarnya tak begitu merasa tenteram
dengan tanah-tanah yang diperoleh dari neneknya yang "semua
hasil rampasan dengan cara yang halus maupun kasar." (Hal. 123).
Maka ia tak begitu ambil peduli kalau kakak perempuannya dan
kemanakannya memboroskan harta tersebut. Nampaknya lelaki itu
justru menjadi tenteram setelah ternyata semua tanah habis
tergadai -- dan hanya ia yang tahu persis.
Sengaja atau tidak, sikap Bagindo Tahar terhadap harta itulah
yang menyebabkan adat lama tak berdaya. Pusaka tinggi, harta tak
bergerak yang diwariskan turun-temurun menurut garis ibu, dalam
adat matrilineal memang sering dikacaukan dengan harta hasil
pencaharian suami-istri sendiri. Dan itu sering menjadi sumber
sengketa antara anak dan kemanakan. Ludasnya harta Bagindo
Tahar, karena tak seorang pun sanak saudaranya bersedia menebus
tanah-tanah tergadai itu, justru menghilangkan sumber sengketa.
Ia sendiri berpendapat, yang disebut harta warisan adalah
"darah, perangai serta semangatku" (hal 122).
Mobil Jepang
Tak teringat lagi, apakah novel ini juga disinggung-singgung
dalam seminar tentang adat dan kebudayaan Minangkabau, di
Padang, September tahun lalu. Yang jelas, dalam seminar itu para
peserta menyatakan berlega hati, karena adat matrilineal "telah
memudar."
Maka novel Chairul Harun, 41 tahun, seorang penulis dan wartawan
kelahiran Kayutanam, Sumatera Barat, merupakan cerita menarik
tentang perubahan adat itu--dengan bumbu adegan-adegan panas
antara Rafilus dan jandajanda muda di kampungnya.
Novel ini memang tak memberikan waktu yang persis, kapan
kisahnya ini berlangsung. Hanya dikatakan bahwa adik Rafilus
menjadi agen penjualan mobil Jepang. Kalau begitu, kisah Wansan
ini kira-kira berlangsung di akhir tahun 60-an. Cocok dengan
sinyalemen dalam seminar tahun lalu itu, yang mengatakan sekitar
15 tahun yang lalulah adat itu mulai memudar.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini