DESEMBER yang dingin di Meirose. Di daerah suburb Massachusetts
itu, seorang gadis remaja termangu sendirian, di gudang bawah
tanah yang pengap. Itu bukan pertama kalinya. Berulang-ulang ia
datang ke sana, seperti mencari "kenyataan lain di balik
kesunyian berdebu". Pada sudut tersembunyi itu--seperti tersisih
dari tumpukan barang-barang bekas yang memenuhi gudang -- ia
menuliskan kegundahannya.
Suara sayup alunan piano dari ruangan atas. Dan gadis 14 tahun
itu pun menuliskan puisi:
Takut mencegat untuk terus. Hidup menerpa seperti harmoni yang
sendat. Ada pilihan. Pamit, lalu pergi atau ikut bernyanyi.
Keras dan makin keras. Sendat. Vivienne Loomis, si gadis remaja,
kemudian ditemukan menggantung diri. Takjauh dari sudut itu.
Semua orang terkejut. Sebab, di lingkungannya ia dikenal sebagai
gadis yang menarik, disukai kawan-kawan dan guru-gurunya. Sedang
saudara-saudara maupun ayah dan ibunya sangat sayang. Ia sendiri
cerdas dan memiliki bakat luar biasa dalam menulis. Pendidik
maupun orang tuanya yakin, ia punya kesempatan untuk menjadi
penyair atau penulis yang berhasil di masa depan --bila sajaia
mau ke sana. Namun Vivienne rupanya tidak tertarik. Mengapa?
Ia adalah bagian dari epidemi yang kini sangat menakutkan di
Amerika Serikat: bunuh diri di kalangan remaja dan anak-anak.
Sejumlah angka statistik dengan pasti menunjukkan pembesaran
kecenderungan ini dalam 30 tahun terakhir. Dan dari data 10
tahun terakhir, kesimpulan bisa ditarik: angka-angka itu
mengkhawatirkan.
Di sana, sejak 1978 sampai kini setiap tahun terdapat kurang
lebih 2000 kasus bunuh diri. Usia anak-anak yang nekat itu 10
sampai 19 tahun. Dan jumlah itu dua kali jumlah rata-rata 10
tahun yang lalu. Di kalangan kelompok umur 20-24 tahun, tercatat
3.500. Sepuluh tahun yang lalu 1500. Dan yang paling
mengkhawatirkan, ada sekitar 200-300 kasus bunuh diri pada
kelompok umur 5 sampai 14 tahun. Sebelumnya, hampir tak pernah
dikenal seorang anak usia 5 tahun melakukan percobaan bunuh
diri. Pernahkah anda dengar?
Malah bunuh diri jenis terakhir itu (kelompok umur 5 sampai 14
tahun, yang sebenarnya merupakan kasus baru) langsung menduduki
tempat ke-8 dalam deretan sebab-sebab kematian di AS. Sedang
kelompok umur 15 sampai 24 tahun melonjak menduduki tempat
ketiga--sesudah pembunuhan biasa di tempat kedua dan kecelakaan
di tempat pertama.
Angka-angka ini didapat dari berbagai laporan resmi. Dan bisa
dipastikan terdapat kasus-kasus bunuh diri yang tidak
dilaporkan. Maklum, di Amerika --dan di mana pun--anak yang
bunuh diri merupakan aib. Karena itu tidak sedikit kejadian
semacam ini ditutup-tutupi dan disamarkan. Jadi menurut dugaan
polisi, jumlah kasus bunuh diri remaja dan anak-anak yang tidak
tercatat paling tidak sama dengan yang tercatat--kalau tidak
lebih. Entahlah.
TAPI mimpi buruk itu masih harus berlanjut. Masih terdapat
berbagai percobaan bunuh diri yang gagal, yang pada dasarnya
sama mengkhawatirkannya dengan yang berhasil. Termasuk dalam
kelompok ini mereka yang ternyata tak punya keberanian untuk
mati betulan. Jumlahnya sampai pada tingkat yang
sungguh-sungguh menakutkan. "Berdasarkan beberapa statistik,
secara teoretis bisa dikatakan jumlah kecenderungan bunuh diri
di kalangan remaja dan anak-anak 50 kali dari mereka yang
sungguh-sungguh melakukannya," kata Dr. Cynthia Pfeffer.
Psikiater dari Universitas Cornell itu menunjukkan: angka-angka
ketakutan dan depresi di kalangan anak-anak memang meningkat.
Dua puluh tahun yang lalu angka-angka tersebut tak menunjukkan
jumlah yang berarti. Sepuluh tahun lampau--di sekitar '68-an
--Lembaga Kesehatan Mental Nasional mulai mencatat: 10% anak
yang diteliti punya kecenderungan untuk bunuh diri. Kini angka
itu hampir mencapai 40%.
Dilanda epidemi macam begiu, kasus si penyair remaja Vivienne
tadi menjadi menarik perhatian. Sebuah buku tentang gadis itu
telah selesai disusun--dan dalam waktu dekat akan disebarkan ke
seluruh Amerika Serikat. Judulnya: 'Kehidupan Vivienne, Gadis
Remaja yang Bunuh Diri'. Disusun oleh John Mack, profesor
psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, dan Holy
Hickler, guru sekolah.
Memang ada yang luar biasa pada Vivienne. Ia punya kebiasaan
menulis esei dan syair. Dan itu rupanya pangkal dari gagasan
menerbitkan buku tentang dia. Setengah bagian dari buku itu
berisi sajak, esei dan catatan-catatan harian Vivienne yang
diedit oleh Holy Hickler. Setengahnya lagi, komentar-komentar
Prof. John Mack.
Buku itu mau menghimbau orang-orang Amerika, sebaiknya
memperhatikan epidemi baru yang menakutkan itu. Dan berusaha
bersama-sama mengatasinya. "Kita tak ada, ketika Vivienne
menyerah pada kematian," tulis John Mack, "dan kita terlambat
ketika ia menyatakan kekalahannya. Namun kita kini memanfaatkan
pengalaman gadis kecil itu. Ada sebuah kenyataan, masa pancaroba
bisa sangat menakutkan." Dan di bagian terakhir kata
pengantarnya, profesor itu mengekspresikan rasa harunya:
"Biarlah semua anak-anak jadi milik kita bersama. Dan sewajarnya
kita memperhatikan mereka, di mana pun dan anak siapa pun
mereka."
Tak syak, kasus Vivienne membangun penyesalan pada orang-orang
yang mengenalnya. Ia tak begitu saja memutuskan untuk bunuh
diri. Jauh sebelumnya ia sudah bergulat dengan kegundahan, dan
mengirim tanda-tanda. Cuma tak seorang pun menangkapnya. Suatu
kali ia pernah menulis surat pada salah seorang gurunya:
Apakah sangat mengganggu bila bapak menulis surat pada saya?.
Ada sesuatu yang memberatkan kepala saya: Bapak tak lagi
menyukai saya. Saya sangat sedih, saya tak mau mencari jawaban,
apakah bapak masih menyukai saya atau tidak. Aneh, saya tak
pernah merasa kesepian seperti sekarang!!! . . . Maafkanlah
kemurungan saya.
VIVIENNE tak mendapat jawaban. Barangkali saja orang
menganggapnya terlalu manja. Dan suratnya memang masih mungkin
untuk ditafsirkan sebagai rakus perhatian. Itu kan biasa di
kalangan anak remaja. Namun toh tak biasa bagi Vivienne.
Di bagian lain buku hariannya, tak jauh dari konsep suratnya
ditemukan catatan:
Dua jam aku mendekam di kamar mandi belakang mencoba mencekik
leherku, dan mengirim sebuah doa. Doa itu rasanya kurang
kuat--aku tak pernah bisa berdoa dengan baik. Sebutlah doa itu
tak akan menembus . . . Aku harus melatih kemampuan mencekik,
suatu kali pasti kubutuhkan kepandaian ini. Ada dua akibat
memutus nadi pernapasan di leher. Yang satu kehidupan dan yang
lain kematian. Kehidupan nampak sebagai wajah yang memucat,
getaran sensasi yang mengalir ke seluruh tubuh. Kematian muncul
sebagai wajah yang menghitam, tali napas yang menipis. Di kaca
kulihat wajahku bila ku mati .
Vivienne memang akhirnya menggunakan kepandaian yang sudah
dilatihnya, hanya saja dengan bantuan tali. Serta merta catatan
yang dibuatnya tak lagi nampak sebagai tulisan cengeng seorang
remaja yang manja dan rakus perhatian, tapi tangis pahit yang
berkepanjangan. Mengapa?
Mengapa! Itu pertanyaan yang kini bergaung berulang-ulang di
Amerika. Mengapa anak-anak Amerika terjerat dalam depresi yang
kompleks dan jadi berlarut-larut.
Tak ada jaaban absolut ditemukan. Ada seju lah pengamat yang
menyoroti lingkungan sosial sebagai penyebab. Seorang
psikoterapis, Margery Fridstein, berspekulasi: film-film
televisi punya andil besar dalam "mengasah" rasa putus asa pada
anak-anak. Cara berpikir anak-anak, katanya, mengambil pola
film-film televisi yang selain pendek juga menyajikan
penyelesaian yang mudah. Maka anak-anak itu tak siap menghadapi
frustrasi panjang. Tak memiliki kesabaran bila dihajar kesulitan
yang berat.
Lalu pendapat lain melihat lingkungan sebagai: frustrasi di
kalangan orang tua. Orang tua saja, kata pendapat ini,
seringkali menemui jalan buntu menghadapi frustrasi. Apalagi
kalau ini berjangkit ke anak-anak: fatal.
Pendapat ini mengambil contoh Florida, sebuah daerah "impian"
bagi orang-orang Amerika.
Daerah yang lewat brosur-brosur pariwisata dan berbagai iklan
jadi terkenal indah dan menyenangkan, pada kenyataannya justru
menakutkan: angka bunuh diri di kalangan anak-anaknya, termasuk
salah satu yang paling tinggi di Amerika.
Daerah ini tercatat sebagai daerah kaum pensiunan, orang-orang
yang tua renta. Ini sudah sebuah tanda buruk. Dikenal berjangkit
frustrasi yang dalam di kalangan kaum jompo ini. Keadaan
orang-orang lanjut usia masyarakat Barat, memang menyedihkan.
Disisihkan, dianggap mengganggu dan ditinggalkan. Bunuh diri di
kalangan ini juga tercatat tinggi.
Di samping itu daya pikat Florida membuat banyak penduduk
Amerika mengalir ke situ. Berharap mendapat ketenangan. Nyatanya
tidak. Florida adalah daerah yang kisruh, dengan kepadatan
penduduk yang termasuk salah satu yang tertinggi.
"Banyak penduduk yang menjual semua harta miliknya, meninggalkan
rekan-rekan, lingkungan dan sanak familinya. Seperti berjudi,
berharap bisa menemukan sesuatu yang luar biasa di Florida,"
kata William Young, seorang direktur klinik mental. "Tentu saja
mereka jadinya marah dan kecewa setelah tinggal beberapa bulan.
Dan kecewa yang berkepanjangan akan membangun frustrasi. Seperti
kalah judi," katanya lagi. Maka frustrasi meluas pula di
kalangan orang dewasa di daerah ini.
Angka bunuh diri di Florida sangat tinggi: 17,7 setiap 100.000
orang. Angka rata-rata ini lebih tinggi dari angka rata-rata
nasional: 12,5 setiap 1 00.000 orang.
Frustrasilah orang-orang tua, frustrasilah anak-anak. Namun tak
banyak pendapat yang mau meneropong lewat masalah lingkungan
sosial, kendati tak menyangkal pengaruhnya. Meneliti cara ini
dianggap terlampau spekulatif juga cenderung membangun terapi
yang terlampau umum. Menyamaratakan.
Karena itu pada majalah Discover yang menyoroti masalah ini,
lebih banyak ditemukan pendapat yang melihat dari berbagai
faktor individual. Beberapa penyebab disebutkan: perkembangan
emosi karena masalah keluarga, kelainan genetik, psikotik,
kesenjangan hubungan dengan orang tua, perceraian orang tua,
pengangguran, perkembangan yang terlampau cepat, perkembangan
yang terlambat. Khususnya untuk anak-anak antara 5 sampai 14
tahun: keinginan untuk mengikuti kakak atau adik yang meninggal,
atau bahkan binatang kesayangan yang mati.
MAKA kecenderungan bunuh diri anak-anak dan remaja Amerika,
kembali menjadi masalah psikologi yang sudah berulang kali
dikaji: berawal pada depresi.
Anna Freud pada bukunya Psychoanolitic Study of the
Child--diterbitkan 1951--menulis: ibu yang dua tahun pertama
setelah anaknya lahir mengalami depresi, umumnya menjangkitkan
depresinya pada anaknya. Anak-anak ini kemudian berkembang
menjadi anak-anak yang depresif.
Pendapat "kuno" ini ternyata masih berlaku. Cynthia Pfeffer
menemukan, anak-anak yang bunuh diri umumnya mempunyai orang tua
yang depresif dan tak jarang frustrasi. Salah satu hubungan yang
langsung terlihat, orang tua macam ini umumnya kurang memberi
perhatian pada anak-anaknya.
Kesedihan yang dalam, kesepian dan rasa putus asa akibat keadaan
ini, ditemukan pada 60% anak-anak yang punya kecenderungan bunuh
diri. Dan jawaban "tak ada seorang pun yang mencintai saya "
diberikan hampir 90% dari anak-anak yang putus asa itu.
Bibit ini umumnya berkembang. Ada yang diakibatkan khayalan,
cerita dan janji kebahagiaan yang didapat lewat agama. "Saya
ingin ke surga karena Tuhan mau menjadi kawan saya. Di sini saya
tak punya teman," kata seorang anak 5 tahun. "Saya ingin bertemu
dengan nenek, dan berbicara dengan Yesus, "kata kawan sebayanya
yang lain.
Pada usia yang lebih lanjut, keadaan menjadi lebih tragis.
Anak-anak depresif ini umumnya tak mampu membuat prestasi
apa-apa. Panhs saja biasanya mereka murung dan kehilangan
ambisi. Padahal prestasi atau suatu kebanggaan lain mutlak
dimiliki seorang anak untuk membangun kepercayaan diri dan
keberanian untuk terus berjalan.
Di sini keadaan menjadi kompleks: bangkit rasa marah. Dalam
psikologi ini dikenal sebagai keinginan untuk menghancurkan
diri. Gabungan dari rasa marah, putus asa dan usaha mencari
perhatian. Dan tindakan ini umumnya nyerempet-nyerempet bahaya
kalau tidak gagasan langsung untuk bunuh diri. Sama saja
akhirnya.
Di bolak-balik ke mana pun, faktor orang tua menduduki tempat
sentral dalam epidemi bunuh diri di kalangan anak-anak dan
remaja. Dan di Amerika Serikat, faktor ini lagi mengalami
"abses" di berbagai bagiannya.
Beberapa tahun yang lalu sejumlah kaum moderat mengecam cara
mendidik: memaksakan kehendak pada anak. Menuntut agar punya
prestasi di sekolah, mendesaknya ke sebuah college yang dianggap
baik, dan akhirnya memilihkan jurusan di perguruan tinggi. Ini,
menurut pendapat itu, mematikan daya juang seorang anak, dan
membuatnya jadi pesimistis. Tentunya masih banyak akibat jelek
lain yang disebutkan .
KALAU pendapat ini bisa dikatakan berhasil mempengaruhi banyak
orang tua Amerika, maka bisa pula dikatakan, paham ini
bertanggung jawab pada keadaan yang lebih buruk dari sekedar
pesimistis. Patricia Couto, seorang direktur pembinaan mental di
Kota Nashville, yang dinamai "Pusat Krisis", menemukan, ada
frustrasi di kalangan anak-anak justru karena tak ada "tekanan"
dari orang tua. Artinya, orang tua dianggap terlampau liberal,
membiarkan anaknya berbuat sesuka hati menurut pertimbangannya
sendiri. Bisa juga diartikan, merasa tidak berhak untuk
membimbing.
"Nashville kota musik, tapi juga kota bunuh diri," kata
Couto--memang Nashville dikenal "pusat country music" di
Amerika. "Beratus-ratus anak remaja meninggalkan rumah dengan
sebuah tas dan gitar di punggungnya," kata psikiater itu lagi.
"Mengira begitu saja mereka bisa mendapat kesempatan
memperlihatkan kemampuan bernyanyi, di berbagai studio rekaman,
lalu dalam waktu singkat menjadi bintang tenar."
Semua pun tahu, ini pikiran yang sederhana. Dan Couto
beranggapan, sewajar-wajarnya bila orang tua mengajak anaknya
mendiskusikan gagasan semacam itu--umpama ia tak mau melarang.
Tapi itu rupanya jarang terjadi, sekalipun para orang tua tahu,
anak-anaknya bakal menemui kegagalan.
Kenyataannya memang begitu. "Jangankan memperlihatkan kemampuan,
masuk pintu pun mereka tak diberi kesempatan," kata Couto.
Akibatnya mudah diduga: kecewa, lalu frustrasi.
Di Nashville, tahun ini saja sudah tercatat 57 kasus bunuh diri,
22 di antaranya anak-anak remaja. Satu, seorang anak berumur
sebelas tahun.
Pusat Krisis di Nashville sampai kini menjaring cukup banyak
anak-anak remaja yang putus asa--dibanggakan Couto sebagai rem
bagi angka bunuh diri di kalangan anak-anak. Tapi dibutuhkan
usaha serius untuk menyembuhkan anak-anak ini. Keadaan yang
sudah kasip, menurut Couto, membuat anak-anak menjadi curiga dan
tak mau diajak kerjasama.
"Mereka lebih suka memasalahkan kegundahan mereka pada
kawan-kawan sebayanya, dan menganggap masalah itu sebagai
rahasia yang tak boleh diketahui orang-orang dewasa," kata
direktur Pusat Krisis itu. "Memang, membicarakan rasa tertekan
dengan seseorang lain sudah merupakan terapi, tapi kawar sebaya
tak bisa dijamin kemampuannya menawarkan jalan keluar," kata
psikolog itu lagi.
Maka usaha itu bisa dipastikan lebih banyak gagalnya--kalau tak
menjadi lebih buruk. Yang jadi sebab:
pikiran positif di kalangan anak-anak frustrasi--modal untuk
mengatasi rasa putus asa--umumnya tipis, lemah dan sangat
ragu-ragu. Seperti nampak pada tulisan Vivienne:
Aku tak berharga. Aku tak berguna bagi siapa pun--juga tak
seorang pun berguna buat aku. Untuk apa bunuh diri? Bagaimana
membunuh sebuah kekosongan? Bunuh diri adalah mengakhiri
sesuatu, bukan kekosongan. Menjawab pertanyaan: mengapa hidup,
mengapa mati. Dibutuhkan kesabaran pada seseorang yang kosong
untuk mau hidup terus dalam sebuah kehidupan yang kosong....
SANGAT berbahaya bila kemauan yang rapuh ini mati juga
akhirnya. Menurut William Young, ini adalah satu-satunya
pertahanan bagi anak-anak yang punya kecenderungan bunuh diri.
"Umumnya mereka mempunyai hanya satu jalan keluar," katanya,
"Dan bila ini pun tertutup, muncul keputusan untuk bunuh diri."
Salah satu tanda frustrasi, menurut psikolog itu, tak lagi mampu
berpikir positif. Itulah sebabnya mengapa kemungkinan dalam
memecahkan masalah susut dengan drastis jumlahnya Terapi untuk
mencegah frustrasi berkembang ke bunuh diri, umumnya mengambil
jalan mengembangkan berpikir positif yang sudah ciut ini. Karena
itu memakan waktu lama: mengambil jalan keliling, tidak dengan
langsung mencari sebab-sebab frustrasi.
Di kalangan anak-anak dan remaja, jalan keliling ini termasuk
sulit untuk dibina "Selain pikiran mereka memang masih
sederhana, biasanya ada rasa sakit yang sangat mengganggu," kata
Patricia Couto. Dan, rasa sakit inilah yang diekspresikan
Vivienne Loomis pada catatan harian, esei dan sajak-sajaknya.
John Mack melihat rasa sakit ini datang dari luka emosi yang
sangat dalam. Dan ini membuat gadis remaja itu terjatuh pada
keadaan yang lebih parah. Sebab: "Pada Vivien, ini membangun
kemampuan empathy yang sangat intens. Ia jadi peka untuk ikut
merasakan rasa sakit pada orang lain," kata profesor Universitas
Harvard itu.
Tapi, justru karena itulah catatan-catatan Vivienne jadi penting
bagi Amerika. Seperti karya-karya besar yang mampu menggambarkan
impuls masyarakat, sajak-sajak Vivienne barangkali adalah
gambaran dari impuls remaja Amerika. Dan dalam pada itu ironis,
bahwa karya-karya seni mutakhir Amerika sendiri--sebagai
gambaran kecenderungan atau semangat umum--banyak sekali yang
melantunkan keputusasaan dan kehampaan, sadisme dan, tak urung,
undangan bunuh.
Dalam lembaran lembaran catatan harian Vivienne--dan rekan-rekan
sebayanya--Amerika tidak sekaya perhitungan ahli-ahli ekonomi.
Tidak sesejahtera perkiraan ahli-ahli ilmu sosial. Dan tidak
seindah bayangan orangorang dari negara miskin. Ia menulis:
Aku tersesat di sebuah taman bunga yang kering. Bintang-bintang
rapuh meredup, kehilangan kerdipnya. Angin berpencar ke berbagai
arah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini