Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah Surga Di Taman Yang Kering

Angka statistik bunuh diri dikalangan remaja dan anak-anak di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan. Kasus penyair remaja vivienne yang bunuh diri, menjadi menarik perhatian.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESEMBER yang dingin di Meirose. Di daerah suburb Massachusetts itu, seorang gadis remaja termangu sendirian, di gudang bawah tanah yang pengap. Itu bukan pertama kalinya. Berulang-ulang ia datang ke sana, seperti mencari "kenyataan lain di balik kesunyian berdebu". Pada sudut tersembunyi itu--seperti tersisih dari tumpukan barang-barang bekas yang memenuhi gudang -- ia menuliskan kegundahannya. Suara sayup alunan piano dari ruangan atas. Dan gadis 14 tahun itu pun menuliskan puisi: Takut mencegat untuk terus. Hidup menerpa seperti harmoni yang sendat. Ada pilihan. Pamit, lalu pergi atau ikut bernyanyi. Keras dan makin keras. Sendat. Vivienne Loomis, si gadis remaja, kemudian ditemukan menggantung diri. Takjauh dari sudut itu. Semua orang terkejut. Sebab, di lingkungannya ia dikenal sebagai gadis yang menarik, disukai kawan-kawan dan guru-gurunya. Sedang saudara-saudara maupun ayah dan ibunya sangat sayang. Ia sendiri cerdas dan memiliki bakat luar biasa dalam menulis. Pendidik maupun orang tuanya yakin, ia punya kesempatan untuk menjadi penyair atau penulis yang berhasil di masa depan --bila sajaia mau ke sana. Namun Vivienne rupanya tidak tertarik. Mengapa? Ia adalah bagian dari epidemi yang kini sangat menakutkan di Amerika Serikat: bunuh diri di kalangan remaja dan anak-anak. Sejumlah angka statistik dengan pasti menunjukkan pembesaran kecenderungan ini dalam 30 tahun terakhir. Dan dari data 10 tahun terakhir, kesimpulan bisa ditarik: angka-angka itu mengkhawatirkan. Di sana, sejak 1978 sampai kini setiap tahun terdapat kurang lebih 2000 kasus bunuh diri. Usia anak-anak yang nekat itu 10 sampai 19 tahun. Dan jumlah itu dua kali jumlah rata-rata 10 tahun yang lalu. Di kalangan kelompok umur 20-24 tahun, tercatat 3.500. Sepuluh tahun yang lalu 1500. Dan yang paling mengkhawatirkan, ada sekitar 200-300 kasus bunuh diri pada kelompok umur 5 sampai 14 tahun. Sebelumnya, hampir tak pernah dikenal seorang anak usia 5 tahun melakukan percobaan bunuh diri. Pernahkah anda dengar? Malah bunuh diri jenis terakhir itu (kelompok umur 5 sampai 14 tahun, yang sebenarnya merupakan kasus baru) langsung menduduki tempat ke-8 dalam deretan sebab-sebab kematian di AS. Sedang kelompok umur 15 sampai 24 tahun melonjak menduduki tempat ketiga--sesudah pembunuhan biasa di tempat kedua dan kecelakaan di tempat pertama. Angka-angka ini didapat dari berbagai laporan resmi. Dan bisa dipastikan terdapat kasus-kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan. Maklum, di Amerika --dan di mana pun--anak yang bunuh diri merupakan aib. Karena itu tidak sedikit kejadian semacam ini ditutup-tutupi dan disamarkan. Jadi menurut dugaan polisi, jumlah kasus bunuh diri remaja dan anak-anak yang tidak tercatat paling tidak sama dengan yang tercatat--kalau tidak lebih. Entahlah. TAPI mimpi buruk itu masih harus berlanjut. Masih terdapat berbagai percobaan bunuh diri yang gagal, yang pada dasarnya sama mengkhawatirkannya dengan yang berhasil. Termasuk dalam kelompok ini mereka yang ternyata tak punya keberanian untuk mati betulan. Jumlahnya sampai pada tingkat yang sungguh-sungguh menakutkan. "Berdasarkan beberapa statistik, secara teoretis bisa dikatakan jumlah kecenderungan bunuh diri di kalangan remaja dan anak-anak 50 kali dari mereka yang sungguh-sungguh melakukannya," kata Dr. Cynthia Pfeffer. Psikiater dari Universitas Cornell itu menunjukkan: angka-angka ketakutan dan depresi di kalangan anak-anak memang meningkat. Dua puluh tahun yang lalu angka-angka tersebut tak menunjukkan jumlah yang berarti. Sepuluh tahun lampau--di sekitar '68-an --Lembaga Kesehatan Mental Nasional mulai mencatat: 10% anak yang diteliti punya kecenderungan untuk bunuh diri. Kini angka itu hampir mencapai 40%. Dilanda epidemi macam begiu, kasus si penyair remaja Vivienne tadi menjadi menarik perhatian. Sebuah buku tentang gadis itu telah selesai disusun--dan dalam waktu dekat akan disebarkan ke seluruh Amerika Serikat. Judulnya: 'Kehidupan Vivienne, Gadis Remaja yang Bunuh Diri'. Disusun oleh John Mack, profesor psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, dan Holy Hickler, guru sekolah. Memang ada yang luar biasa pada Vivienne. Ia punya kebiasaan menulis esei dan syair. Dan itu rupanya pangkal dari gagasan menerbitkan buku tentang dia. Setengah bagian dari buku itu berisi sajak, esei dan catatan-catatan harian Vivienne yang diedit oleh Holy Hickler. Setengahnya lagi, komentar-komentar Prof. John Mack. Buku itu mau menghimbau orang-orang Amerika, sebaiknya memperhatikan epidemi baru yang menakutkan itu. Dan berusaha bersama-sama mengatasinya. "Kita tak ada, ketika Vivienne menyerah pada kematian," tulis John Mack, "dan kita terlambat ketika ia menyatakan kekalahannya. Namun kita kini memanfaatkan pengalaman gadis kecil itu. Ada sebuah kenyataan, masa pancaroba bisa sangat menakutkan." Dan di bagian terakhir kata pengantarnya, profesor itu mengekspresikan rasa harunya: "Biarlah semua anak-anak jadi milik kita bersama. Dan sewajarnya kita memperhatikan mereka, di mana pun dan anak siapa pun mereka." Tak syak, kasus Vivienne membangun penyesalan pada orang-orang yang mengenalnya. Ia tak begitu saja memutuskan untuk bunuh diri. Jauh sebelumnya ia sudah bergulat dengan kegundahan, dan mengirim tanda-tanda. Cuma tak seorang pun menangkapnya. Suatu kali ia pernah menulis surat pada salah seorang gurunya: Apakah sangat mengganggu bila bapak menulis surat pada saya?. Ada sesuatu yang memberatkan kepala saya: Bapak tak lagi menyukai saya. Saya sangat sedih, saya tak mau mencari jawaban, apakah bapak masih menyukai saya atau tidak. Aneh, saya tak pernah merasa kesepian seperti sekarang!!! . . . Maafkanlah kemurungan saya. VIVIENNE tak mendapat jawaban. Barangkali saja orang menganggapnya terlalu manja. Dan suratnya memang masih mungkin untuk ditafsirkan sebagai rakus perhatian. Itu kan biasa di kalangan anak remaja. Namun toh tak biasa bagi Vivienne. Di bagian lain buku hariannya, tak jauh dari konsep suratnya ditemukan catatan: Dua jam aku mendekam di kamar mandi belakang mencoba mencekik leherku, dan mengirim sebuah doa. Doa itu rasanya kurang kuat--aku tak pernah bisa berdoa dengan baik. Sebutlah doa itu tak akan menembus . . . Aku harus melatih kemampuan mencekik, suatu kali pasti kubutuhkan kepandaian ini. Ada dua akibat memutus nadi pernapasan di leher. Yang satu kehidupan dan yang lain kematian. Kehidupan nampak sebagai wajah yang memucat, getaran sensasi yang mengalir ke seluruh tubuh. Kematian muncul sebagai wajah yang menghitam, tali napas yang menipis. Di kaca kulihat wajahku bila ku mati . Vivienne memang akhirnya menggunakan kepandaian yang sudah dilatihnya, hanya saja dengan bantuan tali. Serta merta catatan yang dibuatnya tak lagi nampak sebagai tulisan cengeng seorang remaja yang manja dan rakus perhatian, tapi tangis pahit yang berkepanjangan. Mengapa? Mengapa! Itu pertanyaan yang kini bergaung berulang-ulang di Amerika. Mengapa anak-anak Amerika terjerat dalam depresi yang kompleks dan jadi berlarut-larut. Tak ada jaaban absolut ditemukan. Ada seju lah pengamat yang menyoroti lingkungan sosial sebagai penyebab. Seorang psikoterapis, Margery Fridstein, berspekulasi: film-film televisi punya andil besar dalam "mengasah" rasa putus asa pada anak-anak. Cara berpikir anak-anak, katanya, mengambil pola film-film televisi yang selain pendek juga menyajikan penyelesaian yang mudah. Maka anak-anak itu tak siap menghadapi frustrasi panjang. Tak memiliki kesabaran bila dihajar kesulitan yang berat. Lalu pendapat lain melihat lingkungan sebagai: frustrasi di kalangan orang tua. Orang tua saja, kata pendapat ini, seringkali menemui jalan buntu menghadapi frustrasi. Apalagi kalau ini berjangkit ke anak-anak: fatal. Pendapat ini mengambil contoh Florida, sebuah daerah "impian" bagi orang-orang Amerika. Daerah yang lewat brosur-brosur pariwisata dan berbagai iklan jadi terkenal indah dan menyenangkan, pada kenyataannya justru menakutkan: angka bunuh diri di kalangan anak-anaknya, termasuk salah satu yang paling tinggi di Amerika. Daerah ini tercatat sebagai daerah kaum pensiunan, orang-orang yang tua renta. Ini sudah sebuah tanda buruk. Dikenal berjangkit frustrasi yang dalam di kalangan kaum jompo ini. Keadaan orang-orang lanjut usia masyarakat Barat, memang menyedihkan. Disisihkan, dianggap mengganggu dan ditinggalkan. Bunuh diri di kalangan ini juga tercatat tinggi. Di samping itu daya pikat Florida membuat banyak penduduk Amerika mengalir ke situ. Berharap mendapat ketenangan. Nyatanya tidak. Florida adalah daerah yang kisruh, dengan kepadatan penduduk yang termasuk salah satu yang tertinggi. "Banyak penduduk yang menjual semua harta miliknya, meninggalkan rekan-rekan, lingkungan dan sanak familinya. Seperti berjudi, berharap bisa menemukan sesuatu yang luar biasa di Florida," kata William Young, seorang direktur klinik mental. "Tentu saja mereka jadinya marah dan kecewa setelah tinggal beberapa bulan. Dan kecewa yang berkepanjangan akan membangun frustrasi. Seperti kalah judi," katanya lagi. Maka frustrasi meluas pula di kalangan orang dewasa di daerah ini. Angka bunuh diri di Florida sangat tinggi: 17,7 setiap 100.000 orang. Angka rata-rata ini lebih tinggi dari angka rata-rata nasional: 12,5 setiap 1 00.000 orang. Frustrasilah orang-orang tua, frustrasilah anak-anak. Namun tak banyak pendapat yang mau meneropong lewat masalah lingkungan sosial, kendati tak menyangkal pengaruhnya. Meneliti cara ini dianggap terlampau spekulatif juga cenderung membangun terapi yang terlampau umum. Menyamaratakan. Karena itu pada majalah Discover yang menyoroti masalah ini, lebih banyak ditemukan pendapat yang melihat dari berbagai faktor individual. Beberapa penyebab disebutkan: perkembangan emosi karena masalah keluarga, kelainan genetik, psikotik, kesenjangan hubungan dengan orang tua, perceraian orang tua, pengangguran, perkembangan yang terlampau cepat, perkembangan yang terlambat. Khususnya untuk anak-anak antara 5 sampai 14 tahun: keinginan untuk mengikuti kakak atau adik yang meninggal, atau bahkan binatang kesayangan yang mati. MAKA kecenderungan bunuh diri anak-anak dan remaja Amerika, kembali menjadi masalah psikologi yang sudah berulang kali dikaji: berawal pada depresi. Anna Freud pada bukunya Psychoanolitic Study of the Child--diterbitkan 1951--menulis: ibu yang dua tahun pertama setelah anaknya lahir mengalami depresi, umumnya menjangkitkan depresinya pada anaknya. Anak-anak ini kemudian berkembang menjadi anak-anak yang depresif. Pendapat "kuno" ini ternyata masih berlaku. Cynthia Pfeffer menemukan, anak-anak yang bunuh diri umumnya mempunyai orang tua yang depresif dan tak jarang frustrasi. Salah satu hubungan yang langsung terlihat, orang tua macam ini umumnya kurang memberi perhatian pada anak-anaknya. Kesedihan yang dalam, kesepian dan rasa putus asa akibat keadaan ini, ditemukan pada 60% anak-anak yang punya kecenderungan bunuh diri. Dan jawaban "tak ada seorang pun yang mencintai saya " diberikan hampir 90% dari anak-anak yang putus asa itu. Bibit ini umumnya berkembang. Ada yang diakibatkan khayalan, cerita dan janji kebahagiaan yang didapat lewat agama. "Saya ingin ke surga karena Tuhan mau menjadi kawan saya. Di sini saya tak punya teman," kata seorang anak 5 tahun. "Saya ingin bertemu dengan nenek, dan berbicara dengan Yesus, "kata kawan sebayanya yang lain. Pada usia yang lebih lanjut, keadaan menjadi lebih tragis. Anak-anak depresif ini umumnya tak mampu membuat prestasi apa-apa. Panhs saja biasanya mereka murung dan kehilangan ambisi. Padahal prestasi atau suatu kebanggaan lain mutlak dimiliki seorang anak untuk membangun kepercayaan diri dan keberanian untuk terus berjalan. Di sini keadaan menjadi kompleks: bangkit rasa marah. Dalam psikologi ini dikenal sebagai keinginan untuk menghancurkan diri. Gabungan dari rasa marah, putus asa dan usaha mencari perhatian. Dan tindakan ini umumnya nyerempet-nyerempet bahaya kalau tidak gagasan langsung untuk bunuh diri. Sama saja akhirnya. Di bolak-balik ke mana pun, faktor orang tua menduduki tempat sentral dalam epidemi bunuh diri di kalangan anak-anak dan remaja. Dan di Amerika Serikat, faktor ini lagi mengalami "abses" di berbagai bagiannya. Beberapa tahun yang lalu sejumlah kaum moderat mengecam cara mendidik: memaksakan kehendak pada anak. Menuntut agar punya prestasi di sekolah, mendesaknya ke sebuah college yang dianggap baik, dan akhirnya memilihkan jurusan di perguruan tinggi. Ini, menurut pendapat itu, mematikan daya juang seorang anak, dan membuatnya jadi pesimistis. Tentunya masih banyak akibat jelek lain yang disebutkan . KALAU pendapat ini bisa dikatakan berhasil mempengaruhi banyak orang tua Amerika, maka bisa pula dikatakan, paham ini bertanggung jawab pada keadaan yang lebih buruk dari sekedar pesimistis. Patricia Couto, seorang direktur pembinaan mental di Kota Nashville, yang dinamai "Pusat Krisis", menemukan, ada frustrasi di kalangan anak-anak justru karena tak ada "tekanan" dari orang tua. Artinya, orang tua dianggap terlampau liberal, membiarkan anaknya berbuat sesuka hati menurut pertimbangannya sendiri. Bisa juga diartikan, merasa tidak berhak untuk membimbing. "Nashville kota musik, tapi juga kota bunuh diri," kata Couto--memang Nashville dikenal "pusat country music" di Amerika. "Beratus-ratus anak remaja meninggalkan rumah dengan sebuah tas dan gitar di punggungnya," kata psikiater itu lagi. "Mengira begitu saja mereka bisa mendapat kesempatan memperlihatkan kemampuan bernyanyi, di berbagai studio rekaman, lalu dalam waktu singkat menjadi bintang tenar." Semua pun tahu, ini pikiran yang sederhana. Dan Couto beranggapan, sewajar-wajarnya bila orang tua mengajak anaknya mendiskusikan gagasan semacam itu--umpama ia tak mau melarang. Tapi itu rupanya jarang terjadi, sekalipun para orang tua tahu, anak-anaknya bakal menemui kegagalan. Kenyataannya memang begitu. "Jangankan memperlihatkan kemampuan, masuk pintu pun mereka tak diberi kesempatan," kata Couto. Akibatnya mudah diduga: kecewa, lalu frustrasi. Di Nashville, tahun ini saja sudah tercatat 57 kasus bunuh diri, 22 di antaranya anak-anak remaja. Satu, seorang anak berumur sebelas tahun. Pusat Krisis di Nashville sampai kini menjaring cukup banyak anak-anak remaja yang putus asa--dibanggakan Couto sebagai rem bagi angka bunuh diri di kalangan anak-anak. Tapi dibutuhkan usaha serius untuk menyembuhkan anak-anak ini. Keadaan yang sudah kasip, menurut Couto, membuat anak-anak menjadi curiga dan tak mau diajak kerjasama. "Mereka lebih suka memasalahkan kegundahan mereka pada kawan-kawan sebayanya, dan menganggap masalah itu sebagai rahasia yang tak boleh diketahui orang-orang dewasa," kata direktur Pusat Krisis itu. "Memang, membicarakan rasa tertekan dengan seseorang lain sudah merupakan terapi, tapi kawar sebaya tak bisa dijamin kemampuannya menawarkan jalan keluar," kata psikolog itu lagi. Maka usaha itu bisa dipastikan lebih banyak gagalnya--kalau tak menjadi lebih buruk. Yang jadi sebab: pikiran positif di kalangan anak-anak frustrasi--modal untuk mengatasi rasa putus asa--umumnya tipis, lemah dan sangat ragu-ragu. Seperti nampak pada tulisan Vivienne: Aku tak berharga. Aku tak berguna bagi siapa pun--juga tak seorang pun berguna buat aku. Untuk apa bunuh diri? Bagaimana membunuh sebuah kekosongan? Bunuh diri adalah mengakhiri sesuatu, bukan kekosongan. Menjawab pertanyaan: mengapa hidup, mengapa mati. Dibutuhkan kesabaran pada seseorang yang kosong untuk mau hidup terus dalam sebuah kehidupan yang kosong.... SANGAT berbahaya bila kemauan yang rapuh ini mati juga akhirnya. Menurut William Young, ini adalah satu-satunya pertahanan bagi anak-anak yang punya kecenderungan bunuh diri. "Umumnya mereka mempunyai hanya satu jalan keluar," katanya, "Dan bila ini pun tertutup, muncul keputusan untuk bunuh diri." Salah satu tanda frustrasi, menurut psikolog itu, tak lagi mampu berpikir positif. Itulah sebabnya mengapa kemungkinan dalam memecahkan masalah susut dengan drastis jumlahnya Terapi untuk mencegah frustrasi berkembang ke bunuh diri, umumnya mengambil jalan mengembangkan berpikir positif yang sudah ciut ini. Karena itu memakan waktu lama: mengambil jalan keliling, tidak dengan langsung mencari sebab-sebab frustrasi. Di kalangan anak-anak dan remaja, jalan keliling ini termasuk sulit untuk dibina "Selain pikiran mereka memang masih sederhana, biasanya ada rasa sakit yang sangat mengganggu," kata Patricia Couto. Dan, rasa sakit inilah yang diekspresikan Vivienne Loomis pada catatan harian, esei dan sajak-sajaknya. John Mack melihat rasa sakit ini datang dari luka emosi yang sangat dalam. Dan ini membuat gadis remaja itu terjatuh pada keadaan yang lebih parah. Sebab: "Pada Vivien, ini membangun kemampuan empathy yang sangat intens. Ia jadi peka untuk ikut merasakan rasa sakit pada orang lain," kata profesor Universitas Harvard itu. Tapi, justru karena itulah catatan-catatan Vivienne jadi penting bagi Amerika. Seperti karya-karya besar yang mampu menggambarkan impuls masyarakat, sajak-sajak Vivienne barangkali adalah gambaran dari impuls remaja Amerika. Dan dalam pada itu ironis, bahwa karya-karya seni mutakhir Amerika sendiri--sebagai gambaran kecenderungan atau semangat umum--banyak sekali yang melantunkan keputusasaan dan kehampaan, sadisme dan, tak urung, undangan bunuh. Dalam lembaran lembaran catatan harian Vivienne--dan rekan-rekan sebayanya--Amerika tidak sekaya perhitungan ahli-ahli ekonomi. Tidak sesejahtera perkiraan ahli-ahli ilmu sosial. Dan tidak seindah bayangan orangorang dari negara miskin. Ia menulis: Aku tersesat di sebuah taman bunga yang kering. Bintang-bintang rapuh meredup, kehilangan kerdipnya. Angin berpencar ke berbagai arah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus