Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jepang sebagi "bintang penyerap"

Produksi barang jepang terus meningkat, tapi produk informasi dan kebudayaan akan menimbulkan kepincangan. sebab itu jepang akan mulai mengekspor informasi.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSAINGAN dagang antara Jepang dan dunia Barat makin menonjol. Amerika Serikat dan Eropa tak ragu-ragu mengecap negeri itu "pengekspor yang keterlaluan." Dan kedudukan Jepang sebagai salah satu raksasa bisnis dewasa ini diakui mutlak. Jenis dan mutu produksi mereka terus meningkat. Barang made in Japan memenuhi etalase toserba di hampir seluruh dunia, melantamkan kebolehan negeri itu di bidang ekspor. Lihatlah Pesawat tevelisi. Tipe recorder Kamera. Arloji. Dan pelbagai barangkonsumsi yang menyebar secara tidak kepalang tanggung. Ini pula akar ketidakseimbangan perdagangan Jepang dengan negara-negara lain. Tapi bila persoalannya menyangkut penyebaran produk rohaniah berupa informasi dan kebudayaan, kepincangan segera terasa. Sejak berkembangnya peradaban Jepang modern pada zaman Meiji, bangsa ini secara mantap mengimpor (bukan mengekspor) segala keterangan dan gagasan. Ekspornya untuk Jenis ini bahkan sangat terbatas. Bagi mereka, 'defisit dalam perdagangan kebudayaan' tak begitu menimbulkan soal--paling tidak selama satu abad terakhir.Sampai saat ini mereka tampak puas dan bangga dalam kedudukan sebagai pihak penyerap untuk jenis itu. Ketika karya seni termasyhur semacam Venus de Milo atau Mona Lisa dipamerkan di Jepang, berduyun-duyun anak negeri datang menonton. Hampir tidak ada pekan yang lewat tanpa peragaan kesenian dan kebudayaan kaliber internasional. Rombongan orkes dan opera ternama mengunjungi Jepang secara berkala. Orang asing yang tinal di Tokyo boleh bersenang hati--di sana mereka bisa menikmati pertunjukan seniman dan penghibur kualitas andalan. Kadang orang berkata, dalam variasi pertunjukan negeri ini boleh bersaingan dengan New York umpamanya. Dengan sistem keamanan umum dan disiplin masyarakat yang tinggi -- yang konon menjadi ciri Tokyo dan Jepang--pilihan kepada Jepang sebagai tempat tontonan semakin ideal. Kata-kata di atas mungkin terasa berbau iklan. Ini dikutip dari karangan Yasuo Kurata, penulis editorial senior Kantor Berita Kyodo. Sebagai koresponden luar negeri) ia pernah bertugas di Amerika Serikat dan Eropa. Terkenal oleh komentar-komentarnya yang berpengaruh atas pelbagai peristiwa internasional. Kurata juga mengarang buku. Dua di antaranya, yang banyak disebut-sebut ialah Joo no Iru Kyowakoku Igirisu (Republik dengan seorang Ratu), Kobunsha, 1966. Dan Japone to Furcnse--Pari Tokuhain no Nichi-Futsu Hikcku Konsatsuron (Jepang dan Prancis: Dalam Perbandingan Seorang Koresponden Paris), Simul Shuppankai, 1975. "Tak perlu kaget," kata Kurata. "Di Amerika Serikat, perhatian terhadap Jepang sangat terbatas. Apalagi di Eropa." Dan menghadapi kenyataan itu, orang Jepang tak ambil pusing. Bagi mereka lebih menguntungkan bila merekalah yang tahu keadaan di negeri-negeri lain. Pasal mereka tidak diperhatikan orang lain, biarin. Maka kantor berita seperti Reuter dari Inggris, AP dan UPI dari Amerika, AFP dari Prancis, Tass dari Uni Soviet, Shinhua dari RRC--sekedar menyebut beberapa--menjadi penyalur informasi yang setia kepada tuan-tuan Jepang ini. Volume berita yang mereka angkut ke sana kurang lebih 600 ribu kata setiap hari. Belum terhitung pelbagai komentar dan tulisan feature. Yang menadah segala berita dari luar itu untuk disajikan ke tengah masyarakat, adalah seksi internasional Kyodo dan Jiji Press--dua kantor berita utama Jepang. Pada gilirannya pekerjaan ini dibagi ke beberapa koran domestik terkemuka dan radio NHK. Kyodo dan Jiji menerjemahkan sekitar 30 ribu kata setiap hari. Sedang sisa yang ratusan ribu kata sudah tentu sebagiannya masuk ke "pelbagai sel" dalam denyut kehidupan Jepang yang riuh. "Jumlah berita luar negeri yang masuk ke Jcpang menawarkan pilihan lebih dari cukup untuk kebutuhan aktual," kata Kurata. Dan ragam informasi yang beredar itu mampu memuaskan dahaga intelektual Jepang akan pengetahuan dan perkembangan internasional . DIBANDING 'ekspor' berita Jepang ke luar, keadaan memang sangat tidak berimbang. Berita yang disalurkan melalui proyek Kementerian Luar Negeri, berkisar hanya sekitar 50 ribu kata setiap hari--dan itulah semuanya. Kepincangan juga kentara bila seseorang melongok etalase toko buku, di Tokyo umpamanya. Tak terbilang buku terjemahan yang dipajang. Kadang-kadang edisi Jepang dari buku asing sudah muncul sebelum buku aslinya beredar. Sekedar mengutip kantor statistik: dari 26.906 buku baru yang diterbitkan di Jepang 1978 (tidak termasuk buku anak-anak dan (texbook) 2.591 adalah terjemahan. Dengan kata lain, tahun itu setiap hari Jepang menerbitkan delapan buku terjemahan -- angka tertinggi untuk kegiatan serupa di antara bangsa sedang berkembang di seluruh dunia. Dari segi penjualan sendiri buku terjemahan ternyata lebih laku ketimbang karya aslinya. Khusus tahun-tahun terakhir ini, pembaca sangat tergila-gila akan terjemahan karya asing yang berteori--atau berpendapat--mengenai Jepang. Misalnya buku The Japanese karya Edwin Reischauer, bekas dubes Amerika di Jepang. Atau Japan as Number One karya Ezra R. Vogel, profesor Universitas Harvard. Masing-masing volume terjemahan terjual 10 sampai 20 kali lebih banyak ketimbang edisi bahasa Inggrisnya. Hal seperti ini tidak akan pernah terjadi di Amerika misalnya. Rupanya orang Jepang sedang senang sekali melihat: apa yang dikatakan orang, atau yang mereka tahu, tentang diri mereka. Jepang juga tidak ketinggalan menerjemahkan sastra Prancis. Bahkan beberapa terjemahan karya Sartre--yang untuk orang Prancis sendiri terbilang musykil--laku dijual hampir tiga juta eksemplar di Jepang. Kawula Prancis sampai bingung. Apalagi setelah Jepang menerbitkan 'Karya Lengkap Sartre', kumpulan terjemahan semua karangan Sartre, yang di Prancis sendiri belum pernah dihimpun jadi satu. Edan. Buku ini juga laku keras. Menurut Yasuo Kurata, gejala ini berakar pada struktur sosial. Di Prancis, dan sebagian besar Eropa, perbedaan kelas masih tersisa. Hanya kelas menengah dan atas yang membaca Sartre atau de Beauvoir. Di Jepang, konon, pembeda-bedaan seperti itu tidak dikenal. Atau, palingpaling, "sembilan dari tiap sepuluh orang mengaku dari kelas menengah." Pendidikan universitas di sana kabarnya sudah urusan massa. Seorang pelancong bisa sja mendapatkan sopir, polisi, atau hostes lepasan perguruan tinggi. Itu tidak aneh. Meski demikian, larisnya terjemahan Sartre di Jepang tidak langsung berarti filosofi tokoh eksistensialisme itu dipahami betul ataupun disetujui. Di samping itu banyak juga problem yang ditimbulkan "kesusastraan impor" itu. Ketika novel Shogun karya James Clavell muncul sebagai serial tv di Amerika, orang segera tergila-gila. Terjemahan Jepang pun dicetak, langsung jadi best seller. "Padahal sangat sedikit manfaat buku itu untuk orang Jepang," kata Kurata. Di Amerika dan Eropa, Shogun memang terjual hampir 10 juta eksemplar. "Tapi itu tidak menunjukkan menggebu-gebunya minat mereka terhadap kebudayaan Jepang," kata Kurata. Melainkan hanya karena "buku itu eksotis dan mengasyikkan." Setting Jepang hanya muncul sekedar pelengkap. Dari segi ini, Kurata melihat ketidakadilan. "Misalkan kita punya seorang profesor Jepang termasyhur. Ahli Prancis. Pernah menjadi dubes di Prancis. Menulis buku tenrang Prancis, dan diterjemahkan ke bahasa Prancis," katanya. Lakukah buku itu dijual di Prancis? "Tidak!" jawabnya sendiri. Kecuali untuk segelintir orang yang berminat pada urusan, yah, persahabatan Prancis-Jepang. Berbeda dengan sikap orang Jepang. Orang Jepang, bila menemukan buku mengenai Prancis, Amerika, atau negeri mana saja, biasanya segera memilahmilahkan: man yang bacaan fiksi, mana yang nonfiksi. Tujuan utama mereka adalah memperdalam pengetahuan dan pengertian akan negeri bersangkutan. Tapi dari mana asal-usul dahaga orang Jepang akan pengetahuan ini? Kurata cenderung meninjau akhir periode Tokugawa, setelah Jepang lepasdari isolasi selama 300 tahun. "Saya pernah tinggal 10 tahun di London dan Paris," kata Kurata. "Menyaksikan jalan raya, bangunan terkenal, monumen, bahkan hotel--yang nyaris tak berubah keadaannya dengan sewaktu para pelancong Jepang dari penghujung zaman Tokugawa itu menyaksikannya." Dapat dipahami, betapa samurai-samurai abad yang silam itu, dari negeri yang waktu itu belum maju, terkagum-kagum memandang peradaban Eropa yang sudah "sama dengan sekarang" itu. DALAM hubungan ini pula Kurata memahami semangat "penyembahan impor" yang bangkit di zaman Meiji. Tidak hanya barang-barang, melainkan setiap pengetahuan yang bermeterai asing pasti dipuja-puja di zaman itu. Penyerapan informasi sejak waktu itu kemudian berjalan atas dua jalur. Tingkat pertama melalui orang-orang asing yang digaji Jepang membantu negeri itu. Jalur kedua melalui para perantau Jepang yang menuntut ilmu di luar negeri. Terjemahan ketika itu belum digalakkan, mengingat tenaga masih terbatas. Pada masa itu pula bepergian ke luar negeri merupakan acara istimewa-entah untuk belajar atau sekedar jalan-jalan. Di zaman Meiji, seorang Jepang yang baru pulang dari mancanegara langsung meningkat reputasinya. Tapi impor pengetahuan, baru dilakukan Jepang secara besar-besaran setelah Perang Dunia II. Terutama sejak tahun 1950-an. Selama perang, impor itu macet. Bahkan penggunaan bahasa Inggris sempat dilarang. Maka setelah perang, kaum cendekiawan berlomba-lomba merambah jalan. Masih dalam pendudukan Sekutu 'Pusat Kebudayaan Amerika' tumbuh bagai jamur di musim basah. Tidak hanya mahasiswa--khalayak dari pelbagai lapisan berduyun-duyun mencari pengetahuan. Dalam kaitan ini Kurata terkenang sebuah peristiwa--"kalau tak salah pada tahun 1947." Sebuah perpustakaan Pusat Kebudayaan Amerika dibuka di Distrik Hibiya, Tokyo. Lantai pertamanya khusus berisi majalah dan buku bekas. Di antara pengunjung perpustakaan itu terdapat orang-orang yang sekarang memegang posisi kunci di lapangan ekonomi, ilmu, teknologi atau lainnya di Jepang. Kurata masih ingat, betapa ia dulu mengagumi ketekunan orang-orang itu menyalin pelbagai peta dan grafik. Mesin fotokopi belum dikenal waktu itu. Semuanya dikerjakan dengan tangan. "Itulah contoh paling gamblang akan semangat Jepang menyerap informasi dan pengetahuan yang bersumber dari luar negeri." Dan dengan demikian meningkatkan kedudukan mereka sendiri. Jepang 30 tahun yang lalu adalah kekuatan ekonomi yang baru mulai berkembang. Mereka sangat bernafsu mengimpor pengetahuan apa saja. Kini, "meski tak terbilang superpower, kami sudah menjadi negeri ekonomi, bahkan memimpin perdagangan dan bisnis," kata Kurata. Dan sudah tentu sukses tersebut tidak nomplok begitu saja. Ada kelakar yang menyebutkan, kemampuan perusahaan-perusahaan dagang Jepang menyerap dan mengolah informasi boleh dibandingkan dengan dinas rahasia Amerika, CIA. "Berdasar pengalaman saya di luar negeri, saya percaya akan hal itu," kata Kurata. Ambillah umpamanya riwayat penetrasi mobil Jepang ke Amerika, negeri penemu mobil itu. Ia dimungkinkan bukan lantaran mobil produksi Jepang lebih ampuh. Melainkan karena keyakinan pabrik-pabrik mobil Jepang, bahwa Amerika sebenarnya membutuhkan kendaraan yang lebih kecil dan hemat bahan bakar. Dan keyakinan ini muncul dari studi dan survei yang sangat serius, alias pengolahan informasi. Melihat ke depan adalah salah satu kunci sukses dalam perdagangan internasional. "Dan menjadi raksasa pengimpor informasi sangat penting dalam hubungan ini," kata Kurata. Tapi dalam dunia usaha, sukses biasanya seiring dengan persaingan. Dan dalam hal ini, setelah Jepang muncul dengan sukses sebagai pihak penyaing, kini mulai merasakan ancaman. Sebagian kalangan meramalkan, industri AS "bakal ambruk" dikubur Jepang. Lalu di tengah kancah kekhawatiran dan persaingan, tidak urung media seperti AP dan UPI turut pula dimanfaatkan. Laporan-laporan mengenai "bahaya mobil Jepang" sendiri segera sampai ke Eropa. Dan di sana para industrialis mobil memasang kuda-kuda. Reuter dan AFP menurunkan pula laporannya sendiri. "Dapat dibayangkan," kata Kurata, "Jepang segera akan menjadi bulan-bulanan protes bersama Amerika dan Eropa." Isunya adalah perlindungan produksi, dan hakikatnya ini persaingan niaga. Kurata menyajikan seonggok data. AP didistribusikan ke 107 bangsa, melalui sekitar 10 ribu surat kabar, sertastasiun radio dan televisi yang tak terbilang. Reuter mencapai 124 bangsa, sekitar 6000 surat kabar dengan sirkulasi total 100 juta eksemplar, dan jaringan radio/televisi yang mencapai 650 juta pesawat penerima. Dan sebagai tambahan Kurata menyebut harian The New York Times di Amerika, The London Times di Inggris dan Le Monde di Prancis. Maka, bila pecah persaingan niaga terbuka, "dapat dibayangkan betapa luas jaringan komunikasi yang bisa dipakai menjotos Jepang." Sebaliknya, bagaimana persiapan Jepang sendiri? Industri surat kabar negeri itu ternyata masih didominasi pelayanan berita asing. Sangat sedikit . yang mereka lakukan dalam menangkis pelbagai kritik. Jepang memang punya Asahi Shimbun dan Yomiuri Shimbun, harian dengan sirkulasi masing-masing lebih tujuh juta eksemplar setiap hari. Tapi "koran ini tidak dibaca tokoh politik dan ekonomi dunia," kata Kurata. Sementara itu, "para pejabat pemerintah Jepang sudah terbiasa bermanis-manis kepada Amerika." Mereka tak sanggup membayangkan perseteruan antara kedua negara. Dari segi itulah Kurata melihat pentingnya Jepang mulai mengekspor informasi. Ia menawarkan "metode terbaik." Yaitu membina sebuah jaringan komunikasi internasional, setingkat AP atau Reuter. Melalui jaringan ini Jepang "membela" barang produksinya. "Mungkin makan waktu lima sampai sepuluh tahun, tapi harus dikerjakan." Akan hal dana untuk melaksanakan gagasan ini, Kurata mengetuk hati para hartawan. Ia sangat tidak setuju memakai uang pemerintah. Sebab jaringan informasi yang diongkosi pemerintah, katanya, "tidak akan mampu mengimbangi lembaga seperti AP dan Reuter." Seperti seorang pengamat di sebuah menara, Yasuo Kurata akhirnya mencanangkan sebuah peringatan. "Di antara kekuatan ekonomi terpenting di dunia saat ini, hanya satu bangsa yang tidak memiliki jaringan informasi internasional yang aktif mengedarkan informasi dan opini," katanya. "Yaitu Jepang!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus