PERSAINGAN dagang antara Jepang dan dunia Barat makin menonjol.
Amerika Serikat dan Eropa tak ragu-ragu mengecap negeri itu
"pengekspor yang keterlaluan." Dan kedudukan Jepang sebagai
salah satu raksasa bisnis dewasa ini diakui mutlak.
Jenis dan mutu produksi mereka terus meningkat. Barang made in
Japan memenuhi etalase toserba di hampir seluruh dunia,
melantamkan kebolehan negeri itu di bidang ekspor.
Lihatlah Pesawat tevelisi. Tipe recorder Kamera. Arloji. Dan
pelbagai barangkonsumsi yang menyebar secara tidak kepalang
tanggung. Ini pula akar ketidakseimbangan perdagangan Jepang
dengan negara-negara lain.
Tapi bila persoalannya menyangkut penyebaran produk rohaniah
berupa informasi dan kebudayaan, kepincangan segera terasa.
Sejak berkembangnya peradaban Jepang modern pada zaman Meiji,
bangsa ini secara mantap mengimpor (bukan mengekspor) segala
keterangan dan gagasan. Ekspornya untuk Jenis ini bahkan sangat
terbatas.
Bagi mereka, 'defisit dalam perdagangan kebudayaan' tak begitu
menimbulkan soal--paling tidak selama satu abad terakhir.Sampai
saat ini mereka tampak puas dan bangga dalam kedudukan sebagai
pihak penyerap untuk jenis itu.
Ketika karya seni termasyhur semacam Venus de Milo atau Mona
Lisa dipamerkan di Jepang, berduyun-duyun anak negeri datang
menonton. Hampir tidak ada pekan yang lewat tanpa peragaan
kesenian dan kebudayaan kaliber internasional. Rombongan orkes
dan opera ternama mengunjungi Jepang secara berkala. Orang asing
yang tinal di Tokyo boleh bersenang hati--di sana mereka bisa
menikmati pertunjukan seniman dan penghibur kualitas andalan.
Kadang orang berkata, dalam variasi pertunjukan negeri ini boleh
bersaingan dengan New York umpamanya. Dengan sistem keamanan
umum dan disiplin masyarakat yang tinggi -- yang konon menjadi
ciri Tokyo dan Jepang--pilihan kepada Jepang sebagai tempat
tontonan semakin ideal.
Kata-kata di atas mungkin terasa berbau iklan. Ini dikutip dari
karangan Yasuo Kurata, penulis editorial senior Kantor Berita
Kyodo. Sebagai koresponden luar negeri) ia pernah bertugas di
Amerika Serikat dan Eropa. Terkenal oleh komentar-komentarnya
yang berpengaruh atas pelbagai peristiwa internasional.
Kurata juga mengarang buku. Dua di antaranya, yang banyak
disebut-sebut ialah Joo no Iru Kyowakoku Igirisu (Republik
dengan seorang Ratu), Kobunsha, 1966. Dan Japone to
Furcnse--Pari Tokuhain no Nichi-Futsu Hikcku Konsatsuron (Jepang
dan Prancis: Dalam Perbandingan Seorang Koresponden Paris),
Simul Shuppankai, 1975.
"Tak perlu kaget," kata Kurata. "Di Amerika Serikat, perhatian
terhadap Jepang sangat terbatas. Apalagi di Eropa." Dan
menghadapi kenyataan itu, orang Jepang tak ambil pusing. Bagi
mereka lebih menguntungkan bila merekalah yang tahu keadaan di
negeri-negeri lain. Pasal mereka tidak diperhatikan orang lain,
biarin.
Maka kantor berita seperti Reuter dari Inggris, AP dan UPI dari
Amerika, AFP dari Prancis, Tass dari Uni Soviet, Shinhua dari
RRC--sekedar menyebut beberapa--menjadi penyalur informasi yang
setia kepada tuan-tuan Jepang ini. Volume berita yang mereka
angkut ke sana kurang lebih 600 ribu kata setiap hari. Belum
terhitung pelbagai komentar dan tulisan feature.
Yang menadah segala berita dari luar itu untuk disajikan ke
tengah masyarakat, adalah seksi internasional Kyodo dan Jiji
Press--dua kantor berita utama Jepang. Pada gilirannya pekerjaan
ini dibagi ke beberapa koran domestik terkemuka dan radio NHK.
Kyodo dan Jiji menerjemahkan sekitar 30 ribu kata setiap hari.
Sedang sisa yang ratusan ribu kata sudah tentu sebagiannya masuk
ke "pelbagai sel" dalam denyut kehidupan Jepang yang riuh.
"Jumlah berita luar negeri yang masuk ke Jcpang menawarkan
pilihan lebih dari cukup untuk kebutuhan aktual," kata Kurata.
Dan ragam informasi yang beredar itu mampu memuaskan dahaga
intelektual Jepang akan pengetahuan dan perkembangan
internasional .
DIBANDING 'ekspor' berita Jepang ke luar, keadaan memang sangat
tidak berimbang. Berita yang disalurkan melalui proyek
Kementerian Luar Negeri, berkisar hanya sekitar 50 ribu kata
setiap hari--dan itulah semuanya.
Kepincangan juga kentara bila seseorang melongok etalase toko
buku, di Tokyo umpamanya. Tak terbilang buku terjemahan yang
dipajang. Kadang-kadang edisi Jepang dari buku asing sudah
muncul sebelum buku aslinya beredar.
Sekedar mengutip kantor statistik: dari 26.906 buku baru yang
diterbitkan di Jepang 1978 (tidak termasuk buku anak-anak dan
(texbook) 2.591 adalah terjemahan. Dengan kata lain, tahun itu
setiap hari Jepang menerbitkan delapan buku terjemahan -- angka
tertinggi untuk kegiatan serupa di antara bangsa sedang
berkembang di seluruh dunia.
Dari segi penjualan sendiri buku terjemahan ternyata lebih laku
ketimbang karya aslinya. Khusus tahun-tahun terakhir ini,
pembaca sangat tergila-gila akan terjemahan karya asing yang
berteori--atau berpendapat--mengenai Jepang. Misalnya buku The
Japanese karya Edwin Reischauer, bekas dubes Amerika di Jepang.
Atau Japan as Number One karya Ezra R. Vogel, profesor
Universitas Harvard.
Masing-masing volume terjemahan terjual 10 sampai 20 kali lebih
banyak ketimbang edisi bahasa Inggrisnya. Hal seperti ini tidak
akan pernah terjadi di Amerika misalnya. Rupanya orang Jepang
sedang senang sekali melihat: apa yang dikatakan orang, atau
yang mereka tahu, tentang diri mereka.
Jepang juga tidak ketinggalan menerjemahkan sastra Prancis.
Bahkan beberapa terjemahan karya Sartre--yang untuk orang
Prancis sendiri terbilang musykil--laku dijual hampir tiga juta
eksemplar di Jepang. Kawula Prancis sampai bingung.
Apalagi setelah Jepang menerbitkan 'Karya Lengkap Sartre',
kumpulan terjemahan semua karangan Sartre, yang di Prancis
sendiri belum pernah dihimpun jadi satu. Edan. Buku ini juga
laku keras.
Menurut Yasuo Kurata, gejala ini berakar pada struktur sosial.
Di Prancis, dan sebagian besar Eropa, perbedaan kelas masih
tersisa. Hanya kelas menengah dan atas yang membaca Sartre atau
de Beauvoir.
Di Jepang, konon, pembeda-bedaan seperti itu tidak dikenal.
Atau, palingpaling, "sembilan dari tiap sepuluh orang mengaku
dari kelas menengah." Pendidikan universitas di sana kabarnya
sudah urusan massa. Seorang pelancong bisa sja mendapatkan
sopir, polisi, atau hostes lepasan perguruan tinggi. Itu tidak
aneh.
Meski demikian, larisnya terjemahan Sartre di Jepang tidak
langsung berarti filosofi tokoh eksistensialisme itu dipahami
betul ataupun disetujui. Di samping itu banyak juga problem yang
ditimbulkan "kesusastraan impor" itu.
Ketika novel Shogun karya James Clavell muncul sebagai serial tv
di Amerika, orang segera tergila-gila. Terjemahan Jepang pun
dicetak, langsung jadi best seller. "Padahal sangat sedikit
manfaat buku itu untuk orang Jepang," kata Kurata.
Di Amerika dan Eropa, Shogun memang terjual hampir 10 juta
eksemplar. "Tapi itu tidak menunjukkan menggebu-gebunya minat
mereka terhadap kebudayaan Jepang," kata Kurata. Melainkan hanya
karena "buku itu eksotis dan mengasyikkan." Setting Jepang hanya
muncul sekedar pelengkap.
Dari segi ini, Kurata melihat ketidakadilan. "Misalkan kita
punya seorang profesor Jepang termasyhur. Ahli Prancis. Pernah
menjadi dubes di Prancis. Menulis buku tenrang Prancis, dan
diterjemahkan ke bahasa Prancis," katanya. Lakukah buku itu
dijual di Prancis? "Tidak!" jawabnya sendiri. Kecuali untuk
segelintir orang yang berminat pada urusan, yah, persahabatan
Prancis-Jepang. Berbeda dengan sikap orang Jepang. Orang Jepang,
bila menemukan buku mengenai Prancis, Amerika, atau negeri mana
saja, biasanya segera memilahmilahkan: man yang bacaan fiksi,
mana yang nonfiksi. Tujuan utama mereka adalah memperdalam
pengetahuan dan pengertian akan negeri bersangkutan.
Tapi dari mana asal-usul dahaga orang Jepang akan pengetahuan
ini? Kurata cenderung meninjau akhir periode Tokugawa, setelah
Jepang lepasdari isolasi selama 300 tahun.
"Saya pernah tinggal 10 tahun di London dan Paris," kata Kurata.
"Menyaksikan jalan raya, bangunan terkenal, monumen, bahkan
hotel--yang nyaris tak berubah keadaannya dengan sewaktu para
pelancong Jepang dari penghujung zaman Tokugawa itu
menyaksikannya." Dapat dipahami, betapa samurai-samurai abad
yang silam itu, dari negeri yang waktu itu belum maju,
terkagum-kagum memandang peradaban Eropa yang sudah "sama dengan
sekarang" itu.
DALAM hubungan ini pula Kurata memahami semangat "penyembahan
impor" yang bangkit di zaman Meiji. Tidak hanya barang-barang,
melainkan setiap pengetahuan yang bermeterai asing pasti
dipuja-puja di zaman itu.
Penyerapan informasi sejak waktu itu kemudian berjalan atas dua
jalur. Tingkat pertama melalui orang-orang asing yang digaji
Jepang membantu negeri itu. Jalur kedua melalui para perantau
Jepang yang menuntut ilmu di luar negeri. Terjemahan ketika itu
belum digalakkan, mengingat tenaga masih terbatas.
Pada masa itu pula bepergian ke luar negeri merupakan acara
istimewa-entah untuk belajar atau sekedar jalan-jalan. Di zaman
Meiji, seorang Jepang yang baru pulang dari mancanegara langsung
meningkat reputasinya.
Tapi impor pengetahuan, baru dilakukan Jepang secara
besar-besaran setelah Perang Dunia II. Terutama sejak tahun
1950-an. Selama perang, impor itu macet. Bahkan penggunaan
bahasa Inggris sempat dilarang.
Maka setelah perang, kaum cendekiawan berlomba-lomba merambah
jalan. Masih dalam pendudukan Sekutu 'Pusat Kebudayaan Amerika'
tumbuh bagai jamur di musim basah. Tidak hanya
mahasiswa--khalayak dari pelbagai lapisan berduyun-duyun mencari
pengetahuan.
Dalam kaitan ini Kurata terkenang sebuah peristiwa--"kalau tak
salah pada tahun 1947." Sebuah perpustakaan Pusat Kebudayaan
Amerika dibuka di Distrik Hibiya, Tokyo. Lantai pertamanya
khusus berisi majalah dan buku bekas.
Di antara pengunjung perpustakaan itu terdapat orang-orang yang
sekarang memegang posisi kunci di lapangan ekonomi, ilmu,
teknologi atau lainnya di Jepang. Kurata masih ingat, betapa ia
dulu mengagumi ketekunan orang-orang itu menyalin pelbagai peta
dan grafik. Mesin fotokopi belum dikenal waktu itu. Semuanya
dikerjakan dengan tangan. "Itulah contoh paling gamblang akan
semangat Jepang menyerap informasi dan pengetahuan yang
bersumber dari luar negeri." Dan dengan demikian meningkatkan
kedudukan mereka sendiri.
Jepang 30 tahun yang lalu adalah kekuatan ekonomi yang baru
mulai berkembang. Mereka sangat bernafsu mengimpor pengetahuan
apa saja. Kini, "meski tak terbilang superpower, kami sudah
menjadi negeri ekonomi, bahkan memimpin perdagangan dan
bisnis," kata Kurata. Dan sudah tentu sukses tersebut tidak
nomplok begitu saja.
Ada kelakar yang menyebutkan, kemampuan perusahaan-perusahaan
dagang Jepang menyerap dan mengolah informasi boleh dibandingkan
dengan dinas rahasia Amerika, CIA. "Berdasar pengalaman saya di
luar negeri, saya percaya akan hal itu," kata Kurata.
Ambillah umpamanya riwayat penetrasi mobil Jepang ke Amerika,
negeri penemu mobil itu. Ia dimungkinkan bukan lantaran mobil
produksi Jepang lebih ampuh. Melainkan karena keyakinan
pabrik-pabrik mobil Jepang, bahwa Amerika sebenarnya membutuhkan
kendaraan yang lebih kecil dan hemat bahan bakar. Dan keyakinan
ini muncul dari studi dan survei yang sangat serius, alias
pengolahan informasi.
Melihat ke depan adalah salah satu kunci sukses dalam
perdagangan internasional. "Dan menjadi raksasa pengimpor
informasi sangat penting dalam hubungan ini," kata Kurata.
Tapi dalam dunia usaha, sukses biasanya seiring dengan
persaingan. Dan dalam hal ini, setelah Jepang muncul dengan
sukses sebagai pihak penyaing, kini mulai merasakan ancaman.
Sebagian kalangan meramalkan, industri AS "bakal ambruk" dikubur
Jepang. Lalu di tengah kancah kekhawatiran dan persaingan, tidak
urung media seperti AP dan UPI turut pula dimanfaatkan.
Laporan-laporan mengenai "bahaya mobil Jepang" sendiri segera
sampai ke Eropa. Dan di sana para industrialis mobil memasang
kuda-kuda.
Reuter dan AFP menurunkan pula laporannya sendiri. "Dapat
dibayangkan," kata Kurata, "Jepang segera akan menjadi
bulan-bulanan protes bersama Amerika dan Eropa." Isunya adalah
perlindungan produksi, dan hakikatnya ini persaingan niaga.
Kurata menyajikan seonggok data. AP didistribusikan ke 107
bangsa, melalui sekitar 10 ribu surat kabar, sertastasiun radio
dan televisi yang tak terbilang. Reuter mencapai 124 bangsa,
sekitar 6000 surat kabar dengan sirkulasi total 100 juta
eksemplar, dan jaringan radio/televisi yang mencapai 650 juta
pesawat penerima. Dan sebagai tambahan Kurata menyebut harian
The New York Times di Amerika, The London Times di Inggris dan
Le Monde di Prancis. Maka, bila pecah persaingan niaga terbuka,
"dapat dibayangkan betapa luas jaringan komunikasi yang bisa
dipakai menjotos Jepang."
Sebaliknya, bagaimana persiapan Jepang sendiri? Industri surat
kabar negeri itu ternyata masih didominasi pelayanan berita
asing. Sangat sedikit . yang mereka lakukan dalam menangkis
pelbagai kritik.
Jepang memang punya Asahi Shimbun dan Yomiuri Shimbun, harian
dengan sirkulasi masing-masing lebih tujuh juta eksemplar setiap
hari. Tapi "koran ini tidak dibaca tokoh politik dan ekonomi
dunia," kata Kurata.
Sementara itu, "para pejabat pemerintah Jepang sudah terbiasa
bermanis-manis kepada Amerika." Mereka tak sanggup membayangkan
perseteruan antara kedua negara.
Dari segi itulah Kurata melihat pentingnya Jepang mulai
mengekspor informasi.
Ia menawarkan "metode terbaik." Yaitu membina sebuah jaringan
komunikasi internasional, setingkat AP atau Reuter. Melalui
jaringan ini Jepang "membela" barang produksinya. "Mungkin makan
waktu lima sampai sepuluh tahun, tapi harus dikerjakan."
Akan hal dana untuk melaksanakan gagasan ini, Kurata mengetuk
hati para hartawan. Ia sangat tidak setuju memakai uang
pemerintah. Sebab jaringan informasi yang diongkosi pemerintah,
katanya, "tidak akan mampu mengimbangi lembaga seperti AP dan
Reuter."
Seperti seorang pengamat di sebuah menara, Yasuo Kurata akhirnya
mencanangkan sebuah peringatan. "Di antara kekuatan ekonomi
terpenting di dunia saat ini, hanya satu bangsa yang tidak
memiliki jaringan informasi internasional yang aktif mengedarkan
informasi dan opini," katanya. "Yaitu Jepang!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini