SEKELOMPOK Polisi Khusus (Special Branch) mendadak menangkap
seorang wartawan. Abdul Halim Mahmud, 35 tahun, pemimpin redaksi
koran dwi mingguan Watan, disergap di rumahnya di Petaling Jaya,
Kualalumpur, ketika tengah berkemas hendak ke kantor. Pagi itu,
Faridah Sulaiman, 23 tahun, yang baru dinikahinya enam bulan
kelihatan kaget. "Saya tidak tahu apa yang harus saya kerjakan.
Saya kini sendiri," kata wanita itu.
Mahmud ditangkap 9 Oktober karena dituduh menyebarkan ajaran
komunis lewat korannya. Menurut Wakil Menteri Dalam Negeri
Malaysia Abdul Rahim Thamby Chik, sedikitnya 10 artikel yang
ditulis Mahmud enam bulan belakangan ini dengan jelas
mempropagandakan dan memuliakan komunisme. Tulisan Islam di Uni
Soviet yang pernah dijadikan berita utama, misalnya, mengesankan
bahwa Islam masih bisa tumbuh subur dan cocok di negeri komunis
sekali pun. "Bagaimana mungkin itu bisa terjadi," ujar Rahim.
"Setiap orang mengetahui bahwa kaum komunis tidak percaya pada
Tuhan, dan Islam karenanya tak akan rukun dengannya."
Sebagian dari artikel tersebut konon berisi kutipan propaganda
yang pernah diterbitkan Kedutaan Besar Uni Soviet di
Kualalumpur. Partai Komunis Malaysia (MCP) yang terlarang,
demikian Rahim, juga turut menyediakan materi propaganda bagi
Mahmud. Tindakan semacam itu dianggap mengancam ke amanan
Malaysia dan karenanya, tambah Rahim, seseorang bisa ditahan
berdasarkan Akta Keamanan Dalam Negeri (ISA)--semacam Penpres
No. 11 tahun 1963 di Indonesia. Dengan ISA tersebut, pemerintah
berhak menahan seseorang selama 60 hari untuk diinterogasi.
Siapa Mahmud? Hanya beberapa bulan sesudah Mohamad Khir Johari,
bekas Dubes Malaysia di Washington, menerbitkan Watan
(pertengahan 1976), Mahmud bekerja di situ sebagai reporter. Di
koran berbahasa Malaysia itu, ia kemudian ditunjuk sebagai
pemimpin redaksi sementara, tapi sejak 15 September ia
mengundurkan diri dari jabatan itu karena "berat
tanggungjawabnya". Sekalipun Mahmud ditangkap, Kualalumpur masih
mengizinkan koran tersebut tetap terbit. Sejauh itu pula, Khir
Johari belum terdengar memberikan komentar.
Sekitar lima tahun lalu, pernah terjadi peristiwa serupa. Ketika
itu Abdul Samad Ismail, pemimpin redaksi koran Tbe New Straits
Times, tiba-tiba ditahan. Lewat korannya itu, ia dituduh secara
aktif menyebarkan komunisme. Dalam siaran televisi Malaysia,
Samad mengaku bahwa dia sesungguhnya adalah orang komunis
anggota MCP. Bersama dia, ditahan pula Samani Amin (Berita
Harian, Kualalumpur), Hussein Jahidin dan Azmi (Berita Harian,
Singapura). Keempat wartawan yang mempunyai hubungan erat itu
ditahan berdasarkan ISA. Sekalipun tak pernah diajukan ke
pengadilan, Samad dibebaskan Fcbruari lalu--sementara tak jelas
nasib tiga temannya.
Akurat, Obyektif
Mungkinkah Mahmud membuat pengakuan serupa di layar televisi
Malaysia? Belum jelas. Tapi PM Datuk Mahathir Mohamad tampak
cemas akan kecenderungan pers dipakai sebagai media propaganda
komunisme. Dia, katanya, tak menghendaki pers Malaysia menganut
kebebasan pers model Barat. Menurut dia, kebebasan pers adalah
nomor dua -- sedang nomor satu adalah kebutuhan bangsa dan
rakyat. Kendati demikian, "kita harus berpikir apa yang terbaik
diberikan untuk negara dan rakyat," katanya dalam jamuan makan
di Press Club, Kualalumpur, pekan lalu.
Belum lama ini Mahathir menolak permintaan wawancara BBC
(London) mengenai kebijaksanaannya terhadap berbagai perusahaan
Inggris. Hubungan London dan Kualalumpur memburuk sesudah
Permodalan Nasional Berhad membeli sebagian (30%) saham Guthrie
Corp, perusahaan perkebunan kelapa sawit Inggris terkemuka. Dia
menolak karena ia merasa media itu akan menggunakan setiap
ucapannya untuk menghantam dirinya sendiri dan Malaysia. "Buat
saya, BBC bukan merupakan bagian dari sistem kebebasan pers,"
katanya.
Menurut Mahathir, pers harus menguji kebebasannya dengan rasa
tanggungjawab dan pengendalian diri. Dia menginginkan pers
Malaysia membuat laporan akurat, obyektif dan hati-hati
menurunkan tulisan yang mempertentangkan perbedaan ras. Pers
Malaysia tampak menaati anjuran itu dan bernada lembut. Kenapa?
Mungkin karena UMNO (United Malays National Organization),
partai yang berkuasa kini, lewat Fleet Holding mengontrol
sebagian besar saham koran terkemuka seperti The New Straits
Times dan Utusan Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini