DARI Kairo merentang ke selatan. Jauh ke selatan, masuk
perbatasan Sudan dan menembus negeri-negeri Afrika timur--sambil
memotong garis katulistiwa. Sekitar 750 mil dari ibukota Mesir,
Sungai Nil yang tua pelan-pelan melemparkan hampir seluruh
hijau-hijauan dataran sekelilingnya--dan mengiris gurun sahara
yang menjadi begitu tajam perbedaannya. Hanya di pinggir-pinggir
sungai terdapat warna yang segar. Selebihnya padang pasir yang
purba.
Tapi itulah pusat kehidupan Mesir. Hanya di daerah-daerah
sekitar sungai penduduk memadat: kota-kota membujur rapat dari
utara ke arah udik di selatan. Sampai tiba di bendungan
Aswan--yang mengubah Lembah Nubia yang kering menjadi Danau
Nasser, memanjang 195 mil ke perbatasan Sudan.
Lebih 34 juta jumlahnya penduduk negeri yang ditinggalkan Anwar
Sadat ini. Dan hanya bagian kecil saja yang tinggal di daerah
yang jauh lebih luas. Yakni yang lebih jauh dari sungai, disebut
sebagai Gurun Timur (plus Semenanjung Sinai) dan Gurun Barat
yang membentang sampai ke Libya.
Betapapun gurun yang timur masih lumayan. Di sana terlapat
berbagai wadi, sungai-sungai kering yang akan berair bila Nil
mengirim banjir. Juga Sinai. Tapi yang sebelah barat? Hanya
fatamorgana. Tak ada lembah basah, dan jangan mimpi air terjun.
Hanya rahmat Tuhan, yang kadang-kadang aneh, rupanya dibuktikan
dengan memancarkan beberapa oasis alias wahah: mata air yang
tahu-tahu saja muncul--dan tumbuhlah pohon-pohon.
Di situlah hidup berbagai kabilah udik, sangat udik. Jalan
kereta maupun bis hanya ada sekitar Nil--kecuali sejak beberapa
lama, sebagai rintisan.
Malah sejak masa-masa yang akhir mulai digali sumber air bawah
tanah -- untuk gurun-gurun Kharijah, Dakhilah, Farafirah,
Bahriyah dan Siwah. Kerja itu dinamai 'Proyek Lembah Baru'.
Dari kelima gurun itu, yang berpenduduk total hanya 63 ribu
(perkiraan 1970), Lembah Farafirah (Farfar) terhitung yang
paling kecil --dan paling susah dicapai. Lembah Siwah memang
kelihatan yang paling jauh. Tapi gurun di perbatasan Libya itu
terhitung dekat dengan Marsa Matruh, ibukota provinsi. Baru di
hari-hari kemarin saja Farfar mulai dibuka--meski daerah ini
sebenarnya sudah punya hubungan lalu-lintas di zaman kuno.
Malah sebenarnya ada jalan jalan kecil yang dibangun Libya tahun
1900-an, untuk memerangi Mesir dari arah barat. Sebelum terjadi
hubungan modern sekarang, pengembara Libya acap melalui lembah
ini. Jual-beli pun lantas terjadi. Tak perlu orang Farfar
menjual ternaknya jauh-jauh ke Abu Ruash atau Kardasah. Malah
para ahli sejarah sendiri mencatat orang Farfar sebenarnya
keturunan Libya dan Mesir.
Nah. Dua wartawan majalah Al Mushawwar, Kairo, Batsinah Al Bieli
dan Syauqi Mushthafa, menjenguknya Agustus lalu. Tentu mereka
tak menempuh jalan Libya itu--kalaupun masih ada. Mereka
bertolak dari Kairo. "Jangan ditanya perjalanan yang panjang dan
membosankan,' kata Batsinah --padahal ia orang senegeri. Maklum
yang dilihat hanya pasir, puncak-puncak pasir semata-mata.
Lantas ia menulis:
Di jalan, ratusan untaberlalu dengan mata memandang nyalang.
Pucuk-pucuk kurma yang baru bersemi bergerak-gerak memanggil
dari jauh. Mata air mengering ditelan bumi, tapi kehidupan sudah
diatur oleh kehendak Allah. Pita hijau lalu memanjang tinggi
rendah di depan mata. Tapi, di mana rumah-rumah?
Setelah beberapa kilometer masuk oasis, seseorang duduk sambil
merangkul kakinya di pinggir jalan. Menunggu siapa? Mobil?
Barangkali ia sedang menunggu apa saja yang bisa mengantarnya ke
rumahnya yang jauh di tengah pasir. Gunung hitam di kanankiri.
Sinar matahari mengilapkan warna putih.
Dan inilah Al Bawiti. Sebuah oasis yang telah berkembang. Tampak
lalulalang motor, mobil, gedung-gedung, wanita-wanita yang
mengenakan pakaian masa kini. Tapi toh tidak terlalu lama. Masuk
lagi ke padang pasir.
Gersang. Gunung-gunung berdiri kokoh dan memanjang. Bagai tak
memberi celah untuk lolos, sosok anak-anak bukit yang
mengelilingi bak gunung berapi yang menyemburkan awan gelap
dengan bayang-bayangnya. Yang ada hanya udara panas, debu yang
beterbangan. Masih 150 km lagi di depan. Kami bagai embrio di
dalam perut hantu.
Dan kemudian tampak piramidapiramida tua--sisa-sisa budaya yang
tak terawat ditelan zaman.
PANORAMA telah berubah. Samar-samar, dari jauh, kelihatan
sebuah masjid putih. Lalu di dekatnya sebuah balai pertemuan.
Sebuah sekolah. Poliklinik. Rumah kepala kampung, dan ruang
perkumpulan gotong royong.
Lepas senja, Batsinah mengelilingi perkampungan. Laki-laki dan
anak-anak tampak bersenang-senang. Tidak tampak wanita. Tidak
tampak anjing dan kucing, tapi penuh berkeliaran kambing, sapi,
keledai dan unta. Tidak tampak kuda dan gerobak. Tidak tampak
bekas ladam. Dan lalat, oh lalat-begitu banyak lalat. Seperti
seluruh lalat di dunia berkumpul di sini. Inilah Farafirah,
perkauman induk di Lembah Farfar, salah satu dari lima gurun
yang dipunyai Mesir yang tua.
Barangkali belum banyak yang tahu, orang Farfar sudah memiliki
hubungan dagang dengan Lembah Nil di timur--jauh sejak zaman
Firaun.
Dalam sejarah dicatat, zaman itu Farafirah didaftar sebagai
lingkungan kelima--sementara Oasis Al Bahriyah lingkungan ke-17.
Dikenal dengan nama Ta-uht. Artinya Tanah Sapi--dinisbahkan
kepada nama Tuhan Hathur, sebuah nama Firaun dari Farfar. Ta-uht
disebut sebagai salahsatu oasis tujuh yang tercantum dalam Kuil
Adfo. Anehnya, tidak tercermin peninggalan Firaun. Yang tampak
hanya bekas-bekas Kristen Koptik zaman kuno dan Romawi yang
mubazir.
Ada satu bukit yang pernah berperan pada Abad Pertengahan, yang
mereka namakan Istana Farafirah. Catatan sejarah menyebutnya
sebagai benteng rakyat setempat. Sebuah bangunan di atas bukit
batu, lebih tinggi dari bangunan rumah biasa. Berbentuk segi
empat, panjangnya 50 meter, lebarnya 10 meter. Terbuat dari batu
bata mentah dengan pintu-pintu yang kokoh. Di dalamnya terdapat
jalanjalan kecil, dan 116 kamar dalam dua tingkat. Ada kolam air
dari batu. Orang Farfar berkata, nenek moyang mereka
menyelamatkan diri ke mari jika ada serangan Barbar atau Badui.
Paling atas, dari bangunan ini, adalah tempat menyerang yang
kedap api. Tampak kini tak terawat, walau setiap keluarga di
Farafirah memiliki sebuah kamar khusus di situ lengkap dengan
kuncinya--hingga 1945. Kemudian, satu kali, turunlah hujan yang
bukan main deras. Dan hancurlah dinding-dinding itu.
Antropolog Mesir, Ahmad Fakhri, terakhir kali ia mengunjungi
lembah ini 1968. Itu berarti 30 tahun sesudah ia menginjakkan
kaki di sana pertama kali--1938.
Menurut ceritanya, kepala kampung waktu itu (disebut 'umdah)
bertugas sebagai pemelihara lembah dibantu dua orang tua dari
keluarga besar di situ. Tapi yang menonjol peranannya adalah
seorang kadi--yang tugasnya hanya menghadiri kelahiran anak dan
mencatatnya, mendaftar perkawinan, kematian dan menjadi imam
Jumat.
Umdah bergaji 5 pon Mesir (lebih Rp 5 ribu), sedang dua
pembantunya tiga pon. Tahun 1948, ternyata ada perubahan. Dua
orang lagi yang digaji penuh: seorang petugas kesehatan dan
seorang guru.
Hubungan ke luar sama sekali tidak ada. Tidak ada mobil. Tidak
ada telepon, telegrap atau radio yang bisa memberi kabar tentang
lembah itu. Jika sang Umdah ingin mengadakan pertemuan dengan
beberapa wakil di beberapa dukuh terpencil, perjalanan bisa
makan waktu empat hari dengan unta. Pertemuan seperti itu
dilakukan tiap akhir bulan, seraya beramai-ramai minum teh.
Perjalanan yang ditempuh arkeolog itu dari Kairo, dengan mobil,
kapal sungai dan unta, menelan dua minggu.
Setelah Mesir menjadi republik tentu saja keadaan berubah.
Terutama pada kegiatan pendidikan untuk menghapus kepicikan
keyakinan mereka. Toh taraf pendidikan masih amat rendah, hingga
kini. Dari kalangan wanita hanya 20%--itu pun hanya di sekolah
dasar dan menengah. Laki-lakinya 100% sudah bisa menikmati
pelajaran.
Bahkan yang 20% sudah duduk di universitas--di Kairo, tentu saja
atau kota lain.
Betapapun orang Farfar dengan begitu sudah lebih maju dibanding
penduduk gurun negeri-negeri Arab lain. Mesir, dari segi
rohaniahJ memang boleh dibilang yang paling depan. Mereka
misalnya tinggal hanya punya sedikit sekali suku pengembara--di
sudutsudut barat daya, di dataran tinggi Wadil Jadid. Bisa
dibanding dengan misalnya Arab Saudi, yang sampai dua tahun lalu
masih punya 15% suku pengembara di antara penduduk. Atau dengan
Libya dan negeri-negeri sebelah baratnya, dengan suku-suku
Barbar dan Tuareg yang belum semuanya menetap.
PANDANGAN mereka terhadap alam "modern", meski begitu, masih
tertinggal di belakang. Misalnya, di lingkungan Farfar koran dan
majalah masih dilarang keras membacanya--entah apa sebabnya
mula-mula. Mereka hanya bisa mendengar berita dari radio--kini.
Jika ada koran dan majalah, itu pun hanya karena kebetulan:
seorang musafir lewat dan kertas pembungkus dibuangnya di situ.
Juga, seperti dituturkan Mabruk Muhammad,seorangguru: "Kami
menginginkan televisi, tapi baru bisa diterima gambarnya 178 km
dari sini."
Para pemuda Farafira memang bingung memilih: tetap tinggal di
udik, yang kebutuhan hidupnya selalu menggantungkan diri pada
dunia luar yang jauh, atau tinggal di luar--di kota-kota, dan
jadi "orang berpangkat" (kalau bukan malah gelandangan). Tapi
kebanyakan mereka, walaupun sudah mengembara toh akhirnya akan
kembali--setidak-tidaknya waktu kawin. Entah ada apanya perawan
Farafira ini, makanya cowoknya pada lengket.
Dan perkawinan di sini, seperti layaknya di suku-suku Arab udik,
satu hal yang eksotis. Rata-rata wanita mereka dipingit--tak
diperkenankan keluar sejak berusia 16 tahun--kecuali pada malam
hari dan subuh. Batas usia itu sudah mundur. Dulunya lebih muda.
Pemandangan di lembah itu jadinya hanya diisi wajah laki-laki
dan gadis-gadis kecil dengan pakaian tertutup Sungguh sumpek.
Pergaulan laki-wanita hanya terjadi dalam sekolah--nah--yang
kadangkala, jika terlihat jumlah murid cukup besar, dipisahkan.
Tapi hanya dari situ si cowok bisa mengenal wanita--resminya,
nih. Waktu meminang saja, seorang pemuda tak bisa dengan leluasa
melihat wajah sang gadis. Sebab, menurut mereka: "Perkawinan
bukan jerat melalui kecantikan." Ada baiknya, kalau memang ini
konsekuen. Gadis yang kurang rupawan pun lebih besar
kemungkinannya mendapat jodoh. Atau tidak?
Masa gembira pengantin berlangsung selama seminggu. Tiga hari
pertama dihabiskan di rumah pengantin pria -- yang diberi
kewajiban menyiapkan rumah dan segala perlengkapannya. Tiga hari
kemudian tinggal di rumah pengahtin wanita. Pada hari-hari itu
semua tetangga kerabat mengumpul hingga pukul sepuluh malam.
Sebab, bukan apa-apa.
DI atas pukul sepuluh listrik lembah itu padam. Nah. Sebelum
padam itu, muncul berbagai hiburan berupa nyanyian rakyat yang
dinyanyikan bersama. Atau kreasi para seniman kampunglah. Sedang
pada siang harinya, jalan-jalan yang dilalui pengantin dipenuhi
orang yang mengi ringinya dengan restu. Beberapa penabuh rebana
dan peniup trompet menguntit keramaian arak-arakan pengantin di
situ. Satu orang kawin, seluruh lembah tahu. Mas kawin sekitar
50 pon. Murah.
Dan ketika pengantin wanita dibawa ke rumah si pria, ia diberi
sandang yang menarik. Penuh dengan perhiasan, bagai pohon
permata laiknya. Wanita dinaikkan di punggung unta--dalam hudaj
alias sekedup. Sedang pengantin pria mengenakan baju panjang
putih, disebut karmud. Memakai baju luar dan topi khas Mesir,
lantas--jangan lupa--membawa senjata api. Kalau di Jawa,
tentunya, keris. Karena mereka tidak punya keris, ya bedil pun
jadi. Senjata ini di sana sebagai lambang kesatria dan siap
melindungi.
Jika sudah di rumah pengantin pria, ayah si perempuan
menurunkannya dari hudaj dalam keadaan masih tertutup. Artinya,
barangkali saja, "masih asli". Sedih juga melihatnya. Keesokan
harinya, mereka membawanya berkeliling ke rumah kerabat. Dan
malamnya baru mereka menerima sanak-famili yang membawa ucapan
selamat, doa, dan hadiah.
Nah. Setelah seminggu, pengantin wanita sengaja tinggal di rumah
orang tuanya selama dua hari--tanpa diikuti suaminya. Tak jelas
apa hikmahnya. Tapi rupanya orang-orang dusun itu pada arif. Ini
mungkin saat "laporan", sambil melepaskan rasa kangen ayahbunda
yang baru "kehilangan". Atau mungkin malah untuk mencoba:
bagaimana kalau berpisah, setelah jadi suami-istri. Nanti, jika
si wanita kembali, ia disertai iring-iringan yang membawa
penganan--dan burung-burung (!). Tak diceritakan, adakah yang
tidak mau kembali. Siapa tahu, toh?
Wanita Farafirah tidak suka bergaul dengan orang asing. Tidak
suka mengenakan perhiasan meriah--kecuali waktu kawin. Bisa
ditebak jika ada perempuan mengenakan gelang-kalung
intan-berlian, ia bukan orang situ. Orang Kairo, yang kesasar,
kali. Mungkin di sana tidak terpakai, lari ke sini.
Mereka hanya mengenakan gelang perak dan anting-anting perak
juga. Menyukai warna yang cerah--walaupun saat berkabung. Hanya
saja, bagi gadis di atas umur 16 tahun, kerja sehari-hari tak
lain dari menunggu seorang pelamar. Yang mengasyikkan hanya:
mengintip perjaka dari lubang bilik mereka yang kecil dan
berkelambu kumal (aduh, Ibu Kartini).
Antropolog Ahmad Fakhri yang tadi menuturkan kehidupan mereka
hanya menjual unta. Para peternak yang giat. Pemandangan
sehari-hari hanyalah menggembala. Toh sapi, unta dan kambing
tampak kurang gemuk.
Penduduk hanya sekitar 1.800 orang--dengan 240 rumah. Kehidupan
stabil. Kamtibmas dan ketahanan gurun pasir ditopang secara
menyeluruh.
Kalaupun ada pencuri, bisa dipastikan lagi: bukan orang situ.
Tapi, apa sih yang hendak dicuri dari Farafirah? Lembah miskin
yang nyaris terlupa. Biarlah mereka hidup dengan baik, tenteram,
saleh. Sebuah masjid akan selalu berhubungan dengan balai
rakyat, rumah 'umdah dan sebuah perkumpulan gotong
royong--jam'iyyah ta'awuniyyah.
MENDATANG dari Kairo dengan mobil, yang bukan main Jarangnya
itu, memang akan lebih dahulu melihat menara masjid putih yang
dibuat amat sederhana. Di sela pohon-pohon kurma, terdapat
rumah-rumah mereka yang kecil.
Jika mereka hendak ke Kairo, sudah disediakan angkutan bis
sekarang. Sebulan dua kali: tanggal 5 dan 25. Waktu perjalanan:
satu minggu. Ongkos 50 pon, sama dengan bayaran rata-rata mas
kawin. Maka dapatlah saudara-saudara kita itu diantar ke dunia
luar yang membimbangkan.
Meski ada poliklinik--puskesmas-tak ada seorang dokter. Malah
puskesmasnya sekarang suka ngadat. Jika seorang membutuhkan
pertolongan serius, ia terpaksa dibawa menempuh 55 km--ke sebuah
pos kesehatan betulan. Dulu, di balai kesehatan di sini memang
ada dokter, malah sebuah mobil ambulan. Tapi belum sebulan si
dokter pergi. Ambulannya dibawa. Edan, tidak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini