Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjenguk gurun farfar

Suasana dan kehidupan penduduk farafirah (farfar) di afrika. sosial budaya, kekerabatan, upacara adat penduduk tersebut yang menempati daerah gurun.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Kairo merentang ke selatan. Jauh ke selatan, masuk perbatasan Sudan dan menembus negeri-negeri Afrika timur--sambil memotong garis katulistiwa. Sekitar 750 mil dari ibukota Mesir, Sungai Nil yang tua pelan-pelan melemparkan hampir seluruh hijau-hijauan dataran sekelilingnya--dan mengiris gurun sahara yang menjadi begitu tajam perbedaannya. Hanya di pinggir-pinggir sungai terdapat warna yang segar. Selebihnya padang pasir yang purba. Tapi itulah pusat kehidupan Mesir. Hanya di daerah-daerah sekitar sungai penduduk memadat: kota-kota membujur rapat dari utara ke arah udik di selatan. Sampai tiba di bendungan Aswan--yang mengubah Lembah Nubia yang kering menjadi Danau Nasser, memanjang 195 mil ke perbatasan Sudan. Lebih 34 juta jumlahnya penduduk negeri yang ditinggalkan Anwar Sadat ini. Dan hanya bagian kecil saja yang tinggal di daerah yang jauh lebih luas. Yakni yang lebih jauh dari sungai, disebut sebagai Gurun Timur (plus Semenanjung Sinai) dan Gurun Barat yang membentang sampai ke Libya. Betapapun gurun yang timur masih lumayan. Di sana terlapat berbagai wadi, sungai-sungai kering yang akan berair bila Nil mengirim banjir. Juga Sinai. Tapi yang sebelah barat? Hanya fatamorgana. Tak ada lembah basah, dan jangan mimpi air terjun. Hanya rahmat Tuhan, yang kadang-kadang aneh, rupanya dibuktikan dengan memancarkan beberapa oasis alias wahah: mata air yang tahu-tahu saja muncul--dan tumbuhlah pohon-pohon. Di situlah hidup berbagai kabilah udik, sangat udik. Jalan kereta maupun bis hanya ada sekitar Nil--kecuali sejak beberapa lama, sebagai rintisan. Malah sejak masa-masa yang akhir mulai digali sumber air bawah tanah -- untuk gurun-gurun Kharijah, Dakhilah, Farafirah, Bahriyah dan Siwah. Kerja itu dinamai 'Proyek Lembah Baru'. Dari kelima gurun itu, yang berpenduduk total hanya 63 ribu (perkiraan 1970), Lembah Farafirah (Farfar) terhitung yang paling kecil --dan paling susah dicapai. Lembah Siwah memang kelihatan yang paling jauh. Tapi gurun di perbatasan Libya itu terhitung dekat dengan Marsa Matruh, ibukota provinsi. Baru di hari-hari kemarin saja Farfar mulai dibuka--meski daerah ini sebenarnya sudah punya hubungan lalu-lintas di zaman kuno. Malah sebenarnya ada jalan jalan kecil yang dibangun Libya tahun 1900-an, untuk memerangi Mesir dari arah barat. Sebelum terjadi hubungan modern sekarang, pengembara Libya acap melalui lembah ini. Jual-beli pun lantas terjadi. Tak perlu orang Farfar menjual ternaknya jauh-jauh ke Abu Ruash atau Kardasah. Malah para ahli sejarah sendiri mencatat orang Farfar sebenarnya keturunan Libya dan Mesir. Nah. Dua wartawan majalah Al Mushawwar, Kairo, Batsinah Al Bieli dan Syauqi Mushthafa, menjenguknya Agustus lalu. Tentu mereka tak menempuh jalan Libya itu--kalaupun masih ada. Mereka bertolak dari Kairo. "Jangan ditanya perjalanan yang panjang dan membosankan,' kata Batsinah --padahal ia orang senegeri. Maklum yang dilihat hanya pasir, puncak-puncak pasir semata-mata. Lantas ia menulis: Di jalan, ratusan untaberlalu dengan mata memandang nyalang. Pucuk-pucuk kurma yang baru bersemi bergerak-gerak memanggil dari jauh. Mata air mengering ditelan bumi, tapi kehidupan sudah diatur oleh kehendak Allah. Pita hijau lalu memanjang tinggi rendah di depan mata. Tapi, di mana rumah-rumah? Setelah beberapa kilometer masuk oasis, seseorang duduk sambil merangkul kakinya di pinggir jalan. Menunggu siapa? Mobil? Barangkali ia sedang menunggu apa saja yang bisa mengantarnya ke rumahnya yang jauh di tengah pasir. Gunung hitam di kanankiri. Sinar matahari mengilapkan warna putih. Dan inilah Al Bawiti. Sebuah oasis yang telah berkembang. Tampak lalulalang motor, mobil, gedung-gedung, wanita-wanita yang mengenakan pakaian masa kini. Tapi toh tidak terlalu lama. Masuk lagi ke padang pasir. Gersang. Gunung-gunung berdiri kokoh dan memanjang. Bagai tak memberi celah untuk lolos, sosok anak-anak bukit yang mengelilingi bak gunung berapi yang menyemburkan awan gelap dengan bayang-bayangnya. Yang ada hanya udara panas, debu yang beterbangan. Masih 150 km lagi di depan. Kami bagai embrio di dalam perut hantu. Dan kemudian tampak piramidapiramida tua--sisa-sisa budaya yang tak terawat ditelan zaman. PANORAMA telah berubah. Samar-samar, dari jauh, kelihatan sebuah masjid putih. Lalu di dekatnya sebuah balai pertemuan. Sebuah sekolah. Poliklinik. Rumah kepala kampung, dan ruang perkumpulan gotong royong. Lepas senja, Batsinah mengelilingi perkampungan. Laki-laki dan anak-anak tampak bersenang-senang. Tidak tampak wanita. Tidak tampak anjing dan kucing, tapi penuh berkeliaran kambing, sapi, keledai dan unta. Tidak tampak kuda dan gerobak. Tidak tampak bekas ladam. Dan lalat, oh lalat-begitu banyak lalat. Seperti seluruh lalat di dunia berkumpul di sini. Inilah Farafirah, perkauman induk di Lembah Farfar, salah satu dari lima gurun yang dipunyai Mesir yang tua. Barangkali belum banyak yang tahu, orang Farfar sudah memiliki hubungan dagang dengan Lembah Nil di timur--jauh sejak zaman Firaun. Dalam sejarah dicatat, zaman itu Farafirah didaftar sebagai lingkungan kelima--sementara Oasis Al Bahriyah lingkungan ke-17. Dikenal dengan nama Ta-uht. Artinya Tanah Sapi--dinisbahkan kepada nama Tuhan Hathur, sebuah nama Firaun dari Farfar. Ta-uht disebut sebagai salahsatu oasis tujuh yang tercantum dalam Kuil Adfo. Anehnya, tidak tercermin peninggalan Firaun. Yang tampak hanya bekas-bekas Kristen Koptik zaman kuno dan Romawi yang mubazir. Ada satu bukit yang pernah berperan pada Abad Pertengahan, yang mereka namakan Istana Farafirah. Catatan sejarah menyebutnya sebagai benteng rakyat setempat. Sebuah bangunan di atas bukit batu, lebih tinggi dari bangunan rumah biasa. Berbentuk segi empat, panjangnya 50 meter, lebarnya 10 meter. Terbuat dari batu bata mentah dengan pintu-pintu yang kokoh. Di dalamnya terdapat jalanjalan kecil, dan 116 kamar dalam dua tingkat. Ada kolam air dari batu. Orang Farfar berkata, nenek moyang mereka menyelamatkan diri ke mari jika ada serangan Barbar atau Badui. Paling atas, dari bangunan ini, adalah tempat menyerang yang kedap api. Tampak kini tak terawat, walau setiap keluarga di Farafirah memiliki sebuah kamar khusus di situ lengkap dengan kuncinya--hingga 1945. Kemudian, satu kali, turunlah hujan yang bukan main deras. Dan hancurlah dinding-dinding itu. Antropolog Mesir, Ahmad Fakhri, terakhir kali ia mengunjungi lembah ini 1968. Itu berarti 30 tahun sesudah ia menginjakkan kaki di sana pertama kali--1938. Menurut ceritanya, kepala kampung waktu itu (disebut 'umdah) bertugas sebagai pemelihara lembah dibantu dua orang tua dari keluarga besar di situ. Tapi yang menonjol peranannya adalah seorang kadi--yang tugasnya hanya menghadiri kelahiran anak dan mencatatnya, mendaftar perkawinan, kematian dan menjadi imam Jumat. Umdah bergaji 5 pon Mesir (lebih Rp 5 ribu), sedang dua pembantunya tiga pon. Tahun 1948, ternyata ada perubahan. Dua orang lagi yang digaji penuh: seorang petugas kesehatan dan seorang guru. Hubungan ke luar sama sekali tidak ada. Tidak ada mobil. Tidak ada telepon, telegrap atau radio yang bisa memberi kabar tentang lembah itu. Jika sang Umdah ingin mengadakan pertemuan dengan beberapa wakil di beberapa dukuh terpencil, perjalanan bisa makan waktu empat hari dengan unta. Pertemuan seperti itu dilakukan tiap akhir bulan, seraya beramai-ramai minum teh. Perjalanan yang ditempuh arkeolog itu dari Kairo, dengan mobil, kapal sungai dan unta, menelan dua minggu. Setelah Mesir menjadi republik tentu saja keadaan berubah. Terutama pada kegiatan pendidikan untuk menghapus kepicikan keyakinan mereka. Toh taraf pendidikan masih amat rendah, hingga kini. Dari kalangan wanita hanya 20%--itu pun hanya di sekolah dasar dan menengah. Laki-lakinya 100% sudah bisa menikmati pelajaran. Bahkan yang 20% sudah duduk di universitas--di Kairo, tentu saja atau kota lain. Betapapun orang Farfar dengan begitu sudah lebih maju dibanding penduduk gurun negeri-negeri Arab lain. Mesir, dari segi rohaniahJ memang boleh dibilang yang paling depan. Mereka misalnya tinggal hanya punya sedikit sekali suku pengembara--di sudutsudut barat daya, di dataran tinggi Wadil Jadid. Bisa dibanding dengan misalnya Arab Saudi, yang sampai dua tahun lalu masih punya 15% suku pengembara di antara penduduk. Atau dengan Libya dan negeri-negeri sebelah baratnya, dengan suku-suku Barbar dan Tuareg yang belum semuanya menetap. PANDANGAN mereka terhadap alam "modern", meski begitu, masih tertinggal di belakang. Misalnya, di lingkungan Farfar koran dan majalah masih dilarang keras membacanya--entah apa sebabnya mula-mula. Mereka hanya bisa mendengar berita dari radio--kini. Jika ada koran dan majalah, itu pun hanya karena kebetulan: seorang musafir lewat dan kertas pembungkus dibuangnya di situ. Juga, seperti dituturkan Mabruk Muhammad,seorangguru: "Kami menginginkan televisi, tapi baru bisa diterima gambarnya 178 km dari sini." Para pemuda Farafira memang bingung memilih: tetap tinggal di udik, yang kebutuhan hidupnya selalu menggantungkan diri pada dunia luar yang jauh, atau tinggal di luar--di kota-kota, dan jadi "orang berpangkat" (kalau bukan malah gelandangan). Tapi kebanyakan mereka, walaupun sudah mengembara toh akhirnya akan kembali--setidak-tidaknya waktu kawin. Entah ada apanya perawan Farafira ini, makanya cowoknya pada lengket. Dan perkawinan di sini, seperti layaknya di suku-suku Arab udik, satu hal yang eksotis. Rata-rata wanita mereka dipingit--tak diperkenankan keluar sejak berusia 16 tahun--kecuali pada malam hari dan subuh. Batas usia itu sudah mundur. Dulunya lebih muda. Pemandangan di lembah itu jadinya hanya diisi wajah laki-laki dan gadis-gadis kecil dengan pakaian tertutup Sungguh sumpek. Pergaulan laki-wanita hanya terjadi dalam sekolah--nah--yang kadangkala, jika terlihat jumlah murid cukup besar, dipisahkan. Tapi hanya dari situ si cowok bisa mengenal wanita--resminya, nih. Waktu meminang saja, seorang pemuda tak bisa dengan leluasa melihat wajah sang gadis. Sebab, menurut mereka: "Perkawinan bukan jerat melalui kecantikan." Ada baiknya, kalau memang ini konsekuen. Gadis yang kurang rupawan pun lebih besar kemungkinannya mendapat jodoh. Atau tidak? Masa gembira pengantin berlangsung selama seminggu. Tiga hari pertama dihabiskan di rumah pengantin pria -- yang diberi kewajiban menyiapkan rumah dan segala perlengkapannya. Tiga hari kemudian tinggal di rumah pengahtin wanita. Pada hari-hari itu semua tetangga kerabat mengumpul hingga pukul sepuluh malam. Sebab, bukan apa-apa. DI atas pukul sepuluh listrik lembah itu padam. Nah. Sebelum padam itu, muncul berbagai hiburan berupa nyanyian rakyat yang dinyanyikan bersama. Atau kreasi para seniman kampunglah. Sedang pada siang harinya, jalan-jalan yang dilalui pengantin dipenuhi orang yang mengi ringinya dengan restu. Beberapa penabuh rebana dan peniup trompet menguntit keramaian arak-arakan pengantin di situ. Satu orang kawin, seluruh lembah tahu. Mas kawin sekitar 50 pon. Murah. Dan ketika pengantin wanita dibawa ke rumah si pria, ia diberi sandang yang menarik. Penuh dengan perhiasan, bagai pohon permata laiknya. Wanita dinaikkan di punggung unta--dalam hudaj alias sekedup. Sedang pengantin pria mengenakan baju panjang putih, disebut karmud. Memakai baju luar dan topi khas Mesir, lantas--jangan lupa--membawa senjata api. Kalau di Jawa, tentunya, keris. Karena mereka tidak punya keris, ya bedil pun jadi. Senjata ini di sana sebagai lambang kesatria dan siap melindungi. Jika sudah di rumah pengantin pria, ayah si perempuan menurunkannya dari hudaj dalam keadaan masih tertutup. Artinya, barangkali saja, "masih asli". Sedih juga melihatnya. Keesokan harinya, mereka membawanya berkeliling ke rumah kerabat. Dan malamnya baru mereka menerima sanak-famili yang membawa ucapan selamat, doa, dan hadiah. Nah. Setelah seminggu, pengantin wanita sengaja tinggal di rumah orang tuanya selama dua hari--tanpa diikuti suaminya. Tak jelas apa hikmahnya. Tapi rupanya orang-orang dusun itu pada arif. Ini mungkin saat "laporan", sambil melepaskan rasa kangen ayahbunda yang baru "kehilangan". Atau mungkin malah untuk mencoba: bagaimana kalau berpisah, setelah jadi suami-istri. Nanti, jika si wanita kembali, ia disertai iring-iringan yang membawa penganan--dan burung-burung (!). Tak diceritakan, adakah yang tidak mau kembali. Siapa tahu, toh? Wanita Farafirah tidak suka bergaul dengan orang asing. Tidak suka mengenakan perhiasan meriah--kecuali waktu kawin. Bisa ditebak jika ada perempuan mengenakan gelang-kalung intan-berlian, ia bukan orang situ. Orang Kairo, yang kesasar, kali. Mungkin di sana tidak terpakai, lari ke sini. Mereka hanya mengenakan gelang perak dan anting-anting perak juga. Menyukai warna yang cerah--walaupun saat berkabung. Hanya saja, bagi gadis di atas umur 16 tahun, kerja sehari-hari tak lain dari menunggu seorang pelamar. Yang mengasyikkan hanya: mengintip perjaka dari lubang bilik mereka yang kecil dan berkelambu kumal (aduh, Ibu Kartini). Antropolog Ahmad Fakhri yang tadi menuturkan kehidupan mereka hanya menjual unta. Para peternak yang giat. Pemandangan sehari-hari hanyalah menggembala. Toh sapi, unta dan kambing tampak kurang gemuk. Penduduk hanya sekitar 1.800 orang--dengan 240 rumah. Kehidupan stabil. Kamtibmas dan ketahanan gurun pasir ditopang secara menyeluruh. Kalaupun ada pencuri, bisa dipastikan lagi: bukan orang situ. Tapi, apa sih yang hendak dicuri dari Farafirah? Lembah miskin yang nyaris terlupa. Biarlah mereka hidup dengan baik, tenteram, saleh. Sebuah masjid akan selalu berhubungan dengan balai rakyat, rumah 'umdah dan sebuah perkumpulan gotong royong--jam'iyyah ta'awuniyyah. MENDATANG dari Kairo dengan mobil, yang bukan main Jarangnya itu, memang akan lebih dahulu melihat menara masjid putih yang dibuat amat sederhana. Di sela pohon-pohon kurma, terdapat rumah-rumah mereka yang kecil. Jika mereka hendak ke Kairo, sudah disediakan angkutan bis sekarang. Sebulan dua kali: tanggal 5 dan 25. Waktu perjalanan: satu minggu. Ongkos 50 pon, sama dengan bayaran rata-rata mas kawin. Maka dapatlah saudara-saudara kita itu diantar ke dunia luar yang membimbangkan. Meski ada poliklinik--puskesmas-tak ada seorang dokter. Malah puskesmasnya sekarang suka ngadat. Jika seorang membutuhkan pertolongan serius, ia terpaksa dibawa menempuh 55 km--ke sebuah pos kesehatan betulan. Dulu, di balai kesehatan di sini memang ada dokter, malah sebuah mobil ambulan. Tapi belum sebulan si dokter pergi. Ambulannya dibawa. Edan, tidak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus