Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah,
pendiri dan CEO PolMark Indonesia, pusat riset dan konsultasi political marketing
PADA 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla, kita menyaksikan pertarungan sengit antara Joko dan Widodo. Joko mewakili sesuatu yang kita persepsikan dengan penuh harap. Widodo mewakili sesuatu yang kita saksikan dengan penuh kecemasan.
Kita berharap memiliki presiden yang-sebagaimana ia katakan sendiri-tak akan dikendalikan partai politik, menjadi petugas partai hanya selama pemilihan presiden, tapi mentransformasikan diri menjadi pelayan warga negara setelah terpilih. Kita berharap pada presiden yang tak sekadar berdiri di depan, tapi juga berada di tengah rakyatnya.
Kita berharap pada satu sosok bersahaja, datang dari keluarga dan lingkungan orang biasa, menjadi petarung politik yang gigih, lalu mendulang kemenangan karena berhasil membuat orang kebanyakan beramai-ramai mendukungnya. Kita berharap pada sosok yang tak hanya suka memerintah, tapi juga mampu mendengar, berempati, dan sigap bergerak nyata.
Kita berharap pada pemimpin yang-meminjam Benjamin R. Barber dalam If Mayors Ruled the World (2013)-memiliki seperangkat keterampilan dan kompetensi yang membuatnya paham persoalan sehingga kepemimpinannya nyata dan terjamah oleh warga. Kita berharap pada seseorang yang dicintai karena ketegasan sikap dan kejelasan perbuatan, bukan karena pidato penuh janji kosong.
Setelah pemerintahan Jokowi-JK berjalan 100 hari, sebagian dari kita mulai cemas karena Joko yang kita persepsikan dengan penuh harapan itu ternyata mesti berjuang keras memenangi pertarungan senyap melawan Widodo.
Siapakah Widodo?
Ia adalah manusia yang tak bisa lepas dari hukum alam bahwa semua orang dituntut untuk belajar. Bahwa belajar adalah proses menanam dan memelihara sang benih, bukan memetik bunga kertas yang keluar dari telapak tangan seorang pesulap. Widodo adalah orang yang belajar bagaimana berinteraksi dengan tokoh-tokoh dan jaringannya. Lewat kekuasaannya, Widodo dengan mudah dan cepat menemukan senyum setuju dan anggukan kepatuhan dari orang di sekitarnya, tapi butuh waktu lama dan proses tak sederhana untuk menemukan kepentingan mereka yang tersembunyi. Kaca istana yang terang bisa dibikin buram oleh mereka yang menanam jamur dan menaburkan debu di atas permukaannya.
Kelincahan Widodo mengelola Solo dan ketegasan memimpin Ibu Kota tak bisa segera ditransformasikan saat mengelola Indonesia. Negeri ini terlalu besar untuk dikelola dengan sekadar blusukan tanpa sistem yang menyangga penyelesaian persoalan secara mendasar.
Pertarungan Joko melawan Widodo membuat kita tak serta-merta menyaksikan seorang presiden yang sigap, cepat, tegas, kuat, berpikir di luar kelaziman, serta kreatif membuat kebijakan dan langkah segar. Kita belum menyaksikan Joko sebagai petarung yang gagah mengelola kepentingan partai penyokong.
Tentu saja menjadi presiden bukan sesuatu yang mudah. Di satu sisi, prosedur demokrasi membuatnya mesti mengakomodasi kepentingan partai politik. Tapi, di sisi lain, keputusan dan langkah yang diambilnya harus melampaui sekat-sekat kepentingan partai itu. Di satu sisi, ia dituntut mendengar suara rakyat yang secara formal disuarakan legislatif. Di sisi lain, ia tahu persis bahwa lembaga legislatif sampai tahap tertentu abai pada fungsi perwakilan rakyat yang mereka emban.
Joko versus Widodo. Pertarungan itu kini tengah terjadi-sesuatu yang sengit sekaligus senyap. Duel yang diharapkan berakhir dengan sebuah jawaban atas pertanyaan: sudahkah Presiden berhenti menjadi juru kampanye dalam pemilihan umum yang telah ia lewati?
Berkampanye adalah menulis puisi, memerintah adalah merangkai prosa. Sebelum menjadi presiden, Joko Widodo adalah Wali Kota Solo (2005-2012) dan Gubernur Jakarta (2012-2014). Ia sebetulnya sudah terbiasa membuat "prosa". Saya cemas Presiden bukan kebablasan terus-menerus menulis "puisi", melainkan masih mencari jalan untuk membuat prosa yang lebih kompleks. Joko Widodo adalah penulis cerita pendek yang terbata-bata menulis novel. Penulis cerpen umumnya terbiasa dengan narasi pendek, dengan penokohan dan hubungan antarpelaku yang terbatas dan relatif sederhana plus plot yang ringan dengan klimaks cepat di ujungnya. Menulis novel jauh lebih rumit.
Blusukan ke beberapa tempat sambil secara acak membagikan sejumlah uang untuk mengatasi masalah warga adalah gaya "penulis cerpen". Tanpa sistem jaminan sosial yang menyeluruh, menyantuni warga dengan jumlah yang bertambah dari waktu ke waktu merupakan sekadar "cerpen" atau "kumpulan cerpen", bukan "novel". Sebuah "novel" bukanlah "antologi cerpen".
Sejarah reformasi sejak kejatuhan Soeharto menunjukkan, dengan menjadi presiden, seseorang bertransformasi dari sosok mitologis menjadi sosok historis. Sebagai mitos, ia kokoh, besar, kuat, pencinta rakyat, pendamba keadilan, penggiat kemanusiaan, guru bangsa, cerdas, dan sederet kualitas di atas rata-rata lainnya. Kerja pengelolaan pemerintahan oleh sang Presiden memberi kita konfirmasi perihal kebesaran sang tokoh atau memfalsifikasi kekeliruan penilaian kita selama ini.
Jokowi mitologis cepat atau lambat akan menjadi Jokowi historis. Tak perlu tergesa-gesa menyimpulkan apakah konfirmasi atau falsifikasi yang akan kita peroleh. Waktu masih panjang untuk kerja, kerja, dan kerja. Bukan pada tempatnya mengumandangkan azan asar ketika hari masih duha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo