Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purbaya Yudhi Sadewa,
ekonom Danareksa Research Institute
Sudah banyak kebijakan yang dijalankan Kabinet Kerja dalam seratus hari pertama. Namun tampaknya kabinet baru ini belum berhasil mempercepat pergerakan ekonomi. Perekonomian kita tampaknya masih melambat.
Ada beberapa langkah berani yang ditempuh oleh Kabinet Kerja yang patut dinilai baik. Yang paling menonjol adalah keberanian mengurangi subsidi bahan bakar minyak secara signifikan pada November 2014. Kebijakan tersebut tidak populer dan akan memperlambat perekonomian secara signifikan. Namun kebijakan itu memang harus ditempuh untuk memperbaiki keuangan pemerintah. Pengurangan subsidi tersebut menghemat belanja pemerintah hingga lebih dari Rp 200 triliun, sehingga membuat kondisi fiskal kita lebih berkesinambungan dan pemerintah mempunyai dana untuk membangun proyek-proyek infrastruktur dengan lebih agresif.
Sebenarnya kenaikan harga BBM memberi dampak yang amat buruk terhadap perekonomian, karena diikuti oleh kenaikan harga barang (termasuk harga bahan kebutuhan pokok). Akibatnya, daya beli masyarakat tergerus. Dalam keadaan yang demikian, masyarakat cenderung mengurangi belanja. Ekonomi pun akan melambat, karena belanja rumah tangga memberi kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian (55 persen). Boleh dikatakan, tanpa adanya kebijakan stimulus dari sisi moneter dan fiskal yang signifikan untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga BBM, ekonomi kita hampir pasti akan memasuki masa resesi.
Untungnya, harga minyak dunia turun ke tingkat yang amat rendah, sehingga harga BBM bersubsidi pun dapat diturunkan mendekati harga semula. Dengan demikian, dampak kenaikan harga BBM pada November tahun lalu terhadap perekonomian pun tidak akan separah seperti yang diperkirakan.
Kebijakan harga BBM yang baru, yang memberi fleksibilitas kepada harga BBM untuk naik-turun sesuai dengan harga minyak dunia, pun merupakan kebijakan yang baik. Thailand sudah melepaskan harga BBM menurut harga keekonomiannya. Dalam jangka panjang, kebijakan tersebut ternyata menghasilkan tekanan inflasi yang lebih rendah dan cenderung dapat memperkecil pengaruh gejolak harga minyak dunia terhadap inflasi di Thailand. Hal ini mungkin lantaran para pelaku ekonomi di sana menjadi terbiasa dengan pergerakan harga BBM, sehingga tak bereaksi berlebihan terhadap kenaikan harga BBM. Jadi, walaupun dalam jangka pendek dapat menimbulkan kebingungan, dalam jangka panjang kebijakan BBM baru tersebut dapat menghasilkan tekanan inflasi yang lebih rendah.
Pemerintah pun rajin gembar-gembor memberantas pencurian ikan. Hal ini dilakukan antara lain dengan menenggelamkan kapal pencuri ikan yang tertangkap. Selain itu, praktek penjualan ikan di tengah laut (diduga banyak dijual ke kapal asing) akan dikurangi atau bahkan dihilangkan. Dengan implementasi kebijakan ini, dipastikan pemerintah dapat mengendalikan dengan lebih baik praktek penangkapan ikan di negeri ini, dan hampir dipastikan bisa mengurangi kerugian yang disebabkan oleh pencurian ikan.
Namun kebijakan ini tidak secara otomatis akan memakmurkan nelayan kita. Untuk menjadi makmur, nelayan harus pergi ke laut dan menangkap ikan. Jadi kebijakan pemerintah harus dibarengi dengan kebijakan yang membuat lebih banyak nelayan kita yang dapat melaut. Mereka pun perlu dibantu dengan perbaikan sistem pengolahan hasil penangkapan, pembiayaan, dan pengetahuan manajemen pengelolaan hasil tangkapan yang lebih baik.
Pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang baru-baru ini diluncurkan merupakan upaya yang baik untuk menggalakkan investasi (asing dan domestik). Pemerintah tampaknya cukup menyadari bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diperlukan investasi dalam jumlah besar, dan selama ini para pelaku bisnis sering mengeluhkan lambatnya proses perizinan yang amat menghambat rencana mereka untuk melakukan ekspansi bisnis ataupun untuk investasi baru. Hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa PTSP bukanlah barang baru. Kita sudah mendengar penerapannya pada pemerintahan terdahulu. Namun implementasinya tidak sesuai dengan yang direncanakan. Pemerintah baru harus menyadari hal ini dan harus mempelajari kesalahan di masa lalu serta memperbaikinya sesegera mungkin.
Pemerintah juga tampak berusaha keras menunjukkan kemampuannya dalam memberikan hasil kerja dalam waktu singkat. Hal ini antara lain dilakukan dengan mempercepat peresmian proyek yang sudah direncanakan. Salah satunya peresmian Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei di Simalungun, Sumatera Utara. Sei Mangkei akan menjadi kawasan ekonomi khusus yang berbasis pada kelapa sawit, karet, dan potensi perkebunan. Sei Mangkei diharapkan dapat menarik investor membangun industri hilir berbasis perkebunan. KEK ini diperkirakan akan meningkatkan ekspor produk perkebunan dan mendorong penghiliran di industri berbasis produk perkebunan.
Pemerintah pun cukup cepat mengajukan revisi anggaran (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015) ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya beberapa kementerian baru, anggaran yang lama menjadi kurang sesuai untuk kementerian-kementerian tersebut. Revisi anggaran merupakan langkah yang amat penting untuk membuat kementerian baru bekerja dengan baik. Keterlambatan mengajukan perbaikan anggaran dapat membuat kinerja pemerintah pada 2015 tidak optimal.
Sementara itu, untuk membantu melakukan terobosan pembangunan di sektor unggulan, seperti sektor maritim, pangan, dan infrastruktur, pemerintah tampaknya akan menggunakan badan usaha milik negara sebagai agen pembangunan. Hal ini terlihat dari langkah pemerintah yang cukup agresif memperkuat permodalan BUMN. Selain mengurangi pembayaran dividen, pemerintah akan memberi modal tambahan sekitar Rp 73 triliun (dalam bentuk penyertaan modal negara) kepada beberapa BUMN. Rencana ini diperkirakan memberi dampak yang cukup signifikan untuk mengurangi kemacetan pembangunan infrastruktur yang selama ini kita hadapi.
Jadi pemerintah baru sudah bekerja cukup keras untuk memperbaiki keadaan ekonomi kita. Tapi hasilnya (paling tidak dalam jangka pendek ini) belumlah terlalu optimal untuk membalikkan arah perekonomian.
Perekonomian kita mulai melambat sejak pertengahan 2012. Hal ini disebabkan oleh pengetatan kebijakan moneter, yang diperburuk juga oleh tidak optimalnya penyerapan anggaran belanja pemerintah. Pada triwulan ketiga 2014, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,01 persen. Kenaikan harga BBM pada November tahun lalu turut memperburuk keadaan. Data terbaru memberi indikasi bahwa perekonomian kita masih melambat.
Melemahnya kondisi perekonomian kita terlihat antara lain dari turunnya pertumbuhan penjualan mobil, sepeda motor, dan semen. Angka penjualan mobil, misalnya, turun 18,3 persen (tahunan) dan 19,3 persen pada November dan Desember 2014. Angka penjualan sepeda motor turun 15,3 persen pada November dan hanya tumbuh 0,9 persen pada Desember. Angka penjualan semen hanya tumbuh 1,7 persen pada Desember, turun dari 5,7 persen pada September 2014.
Seratus hari bukanlah waktu yang cukup untuk menilai kemampuan kerja suatu pemerintahan baru. Namun dalam waktu yang relatif singkat ini kita sudah bisa melihat bahwa pemerintah baru tampak lebih berani dalam mengambil keputusan yang mengandung risiko, dan sudah mulai bekerja untuk memperbaiki keadaan perekonomian kita.
Itu saja belumlah cukup karena perekonomian kita saat ini masih melambat. Kabinet Kerja tampaknya masih harus bekerja lebih keras lagi untuk membalikkan arah perekonomian. Ekonomi Indonesia harus tumbuh lebih cepat daripada saat ini bila kita ingin mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, dan bila kita ingin mengubah negara kita menjadi negara maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo