Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Refly Harun
SEORANG wartawan bertanya kepada saya ihwal penilaian setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang penegakan hukum. Ia menyodorkan skala penilaian 1 sampai 10. Tentu tidak mudah menjawabnya. Saya mencoba memulainya dengan memberi contoh masalah hukum dan penyelesaiannya oleh Jokowi. Setelah itu, baru bisa ditentukan berapa nilai yang pantas untuk Jokowi.
Setelah Jokowi terpilih dan kemudian dilantik pada 20 Oktober 2014, harapan masyarakat terhadap dia memang begitu besar. Terlebih karena sosok Jokowi dianggap mau dekat dengan rakyat dan tidak menutup telinga terhadap aspirasi publik.
Setelah setahun pemerintahannya, tentu banyak hal yang sudah dilakukan. Tapi sebagian besar hasil survei yang dilansir belakangan ini menunjukkan tren tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi menurun. Pencapaian kinerja Jokowi di bidang hukum termasuk yang paling disorot.
Blunder di Awal
Kebijakan pertama Jokowi di bidang hukum yang paling banyak mendapat sorotan masyarakat adalah penunjukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepala Kepolisian RI, dan Jaksa Agung. Publik awalnya berharap Jokowi memilih orang-orang yang tepat untuk tiga posisi ini. Kriterianya: ketiga posisi hendaknya tidak diisi orang yang punya ikatan dengan partai politik serta punya integritas dan kapasitas. Tidak berasal dari partai politik tentu saja hal yang mutlak di bidang hukum karena adanya tuntutan bisa bersikap netral.
Namun harapan itu jauh panggang dari api. Jokowi justru membuat blunder. Ia menunjuk orang-orang yang punya kedekatan erat dengan partai politik, bahkan ada yang benar-benar kader partai. Yasonna Laoly, yang dipilih untuk mengisi posisi Menteri Hukum dan HAM, misalnya, merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Publik juga marah ihwal posisi Jaksa Agung, yang seharusnya benar-benar diisi orang netral, justru diserahkan kepada Muhammad Prasetyo. Ia adalah kader Partai NasDem, partai yang kini dirundung masalah karena sekretaris jenderalnya, Patrice Rio Capella, menjadi tersangka kasus suap di Komisi Pemberantasan Korupsi. PDI Perjuangan dan NasDem merupakan penyokong utama Jokowi dalam pemilihan presiden lalu.
Penunjukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian juga memicu hujan kecaman. Penolakan semakin keras setelah KPK menetapkan mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu—kini Mega Ketua Umum PDI Perjuangan—sebagai tersangka dugaan korupsi kepemilikan rekening tak wajar. Penetapan itu diumumkan tiga hari setelah Jokowi menyodorkan Budi ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk diuji kelayakannya.
Penetapan Budi sebagai tersangka ini seolah-olah menghidupkan lagi perseteruan lama Kepolisian dan KPK atau "Cicak versus Buaya" jilid kedua. Perseteruan dimulai ketika tim Badan Reserse Kriminal Polri menangkap pemimpin KPK, Bambang Widjojanto, setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan kesaksian palsu. Tidak berhenti di Bambang, Kepolisian juga menetapkan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka dua kasus berbeda. Kedua ujung tombak komisi antikorupsi itu akhirnya tersingkir sebelum masa jabatan mereka berakhir pada Desember ini.
Penunjukan ketiga pejabat hukum tersebut menunjukkan Jokowi tidak peka. Mereka yang dipilih dianggap publik menjadi bagian dari masalah penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi. Yasonna, misalnya, tampak gagap ketika dituntut netral dan obyektif menyelesaikan kepengurusan ganda Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Untuk urusan remisi koruptor dan revisi Undang-Undang KPK, Yasonna juga tidak menampakkan determinasi sebagai pihak yang menjadi bagian dari gerakan pemberantasan korupsi.
Sedangkan untuk Prasetyo, mari kita melihat catatan penanganan kasus sejak ia terpilih. Rasanya belum ada prestasi menonjol dari Korps Adhyaksa di bawah kepemimpinannya. Alih-alih bisa mengangkat citra Kejaksaan yang buruk di mata publik dalam penanganan korupsi, Prasetyo kini justru dikaitkan-kaitkan dengan kasus Patrice Rio di KPK. Patrice sendiri dijadikan tersangka karena ia diduga menerima suap untuk mengamankan kasus dugaan korupsi bantuan sosial Sumatera Utara yang ditangani Kejaksaan Agung.
Untung saja, belakangan, Jokowi batal melantik Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian. Pembatalan ini juga terjadi karena penolakan publik yang begitu besar. Penggantinya, Badrodin Haiti, juga tidak terlalu istimewa memimpin kepolisian. Belum ada gebrakan yang menonjol. Justru yang terjadi adalah kegaduhan yang dibuat anak buahnya, Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso. Bisa dicatat sejumlah langkah kontroversialnya, dari penetapan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka, penetapan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana sebagai tersangka kasus paspor online, hingga aksinya ikut "cawe-cawe" dalam urusan Pelindo II. Langkah Budi Waseso ini malah dipersepsikan publik sarat dengan kepentingan ketimbang upaya penegakan hukum.
Cara Jokowi mengelola dan menyelesaikan konflik KPK-Polri juga tak sesuai dengan harapan, bahkan cenderung dianggap membiarkan terjadi pelemahan KPK. Kasus Bambang dan Abraham, misalnya, dibiarkan saja sampai sekarang. Sedangkan terhadap Budi Gunawan, kendati batal dilantik menjadi Kepala Polri, Jokowi seolah-olah "tutup mata" ketika dia diproyeksikan menjadi Wakil Kepala Kepolisian.
Pelemahan KPK
Usul revisi Undang-Undang KPK yang berembus di Dewan juga menjadi perhatian publik. Semakin menarik karena motornya adalah PDI Perjuangan. Seratus persen usul revisi itu bakal membuat komisi antikorupsi tidak bergigi.
Dalam draf rancangan revisi yang beredar ke publik, tidak ada satu pun poin yang bisa dikatakan menguatkan KPK. Pelemahan paling nyata terlihat dari durasi hidup KPK yang dibatasi hanya untuk 12 tahun ke depan, bila RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang. Upaya pelemahan lainnya: amputasi kewenangan penuntutan yang diserahkan kepada kejaksaan. Ketentuan yang akan membuat KPK menganggur dan mati pelan-pelan adalah besaran kasus korupsi yang bisa disidik, yaitu di atas Rp 50 miliar. Penyadapan juga hendak "dikebiri" dengan dicantumkan syarat adanya bukti permulaan yang cukup dan izin dari ketua pengadilan negeri. Selama ini penyadapan menjadi senjata ampuh untuk menangkap tangan pejabat yang tengah bertransaksi suap, termasuk anggota DPR.
Karena desakan publik, Jokowi akhirnya menolak revisi tersebut. Kendati bahasa yang digunakan memang "menunda", dengan iming-iming "penguatan" bila revisi tetap hendak dilakukan. Jokowi sepertinya akan terus berhadapan dengan PDI Perjuangan, yang punya hasrat tinggi merevisi aturan tersebut.
Masih Ada Harapan?
Bila indikator pencapaian Jokowi di bidang hukum adalah sejumlah kejadian hukum selama tahun pertama pemerintahannya, sukar untuk menilai Jokowi lulus ujian. Dalam skala 1-10, nilai Jokowi dalam penegakan hukum mungkin cuma 5-6.
Masih adakah harapan kepada Jokowi? Tentu saja jawabannya masih ada. Ekspektasi publik masih besar karena menganggap Jokowi bukan bagian dari masalah hukum itu sendiri. Tidak ada catatan ia memiliki dosa korupsi. Nah, persoalan sebenarnya terletak pada pembantu dan partai penyokongnya. Mengganti ketiga pejabat hukum di atas dengan orang baru yang sesuai dengan harapan publik akan memperbaiki citra Jokowi di bidang penegakan hukum. Prioritas utamanya adalah mencari sosok Kepala Polri yang bisa membersihkan tubuh institusi kepolisian dari praktek-praktek menyimpang.
Kendati keberhasilan penegakan hukum, terutama penegakan hukum antikorupsi, ibarat jalan terjal yang diselimuti kabut tebal, kita berharap Jokowi menjadi presiden pertama yang mampu melaluinya. Presiden-presiden terdahulu terbukti telah gagal membangun sistem penegakan hukum yang kredibel.
Praktisi dan pengajar hukum tata negara, Mengajar di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo