Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah keluarga korban yang memperingati Tragedi Mei 1998 semakin menyusut. Hal itu dirasakan perwakilan Paguyuban Mei 1998, Darwin.
Baca: Korban Tragedi Mei 1998 Ingin Temui Presiden Jokowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Beberapa tahun belakangan jumlah keluarga yang memperingati semakin berkurang. Mungkin sudah lelah karena tidak juga diperhatikan pemerintah," kata Darwin usai membaca doa peringatan Tragedi Mei 1998 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, Senin, 13 Mei 2019.
Di TPU Pondok Rangon dimakamkan ratusan korban peristiwa berdarah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Darwin mengatakan telah mengikuti peringatan Tragedi Mei 1998 sejak 20 tahun lalu. Menurut dia, jumlah keluarga yang ikut memperingati peristiwa ini mencapai ratusan orang. "Tapi sekarang sudah menurun empat kali lipatnya."
Padahal, kata Darwin, peringatan tragedi Mei 1998 merupakan suatu hal yang penting. Tidak hanya bagi keluarga korban, melainkan untuk generasi muda sebagai penerus bangsa.
Peringatan tragedi Mei 2019, mengingatkan bahwa negara ini pernah dikuasai oleh rezim otoriter yang memulai kekuasaan dengan darah dan berakhir dengan pengorbanan darah kembali.
"Jadi peringatan peristiwa ini penting. Jangan sampai Indonesia kembali dipimpin oleh rezim otoriter seperti Soeharto," ujarnya.
Darwin berharap mahasiswa dan para aktivis tidak kehilangan semangat untuk mendorong agar pemerintah bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Menurut Darwin, ada dalang yang menyebabkan terjadi tragedi Mei 1998. "Kami berharap pemerintah bisa mengadili dalang tragedi ini."
Ia menjelaskan tragedi 1998 merenggut nyawa anaknya, Eten Karyana, 32 tahun, yang mengabdi sebagai seorang guru. Eten tewas terpanggang di pusat perbelanjaan Yogya (sekarang Citra Mall) pada 13 Mei 1998. "Negara bertanggungjawab atas tragedi ini."
Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, mengatakan rentang waktu 21 tahun merupakan sebuah anomalitas untuk menyelesaikan sebuah pelanggaran hukum. "Jangka waktu yang cukup panjang membuktikan negara benar-benar sengaja mengabaikan korban," ujarnya.
Baca: 21 Tahun Tragedi Mei 1998, Jangan Sampai Rezim Otoriter Kembali
Menurut Amnesty International Indonesia, tragedi Mei 1998 menelan korban tewas sebanyak 1.190 jiwa, 85 perempuan etnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaan dan ratusan gedung dirusak dan dibakar. Kejadian brutal itu terjadi di 88 lokasi yang tersebar di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Solo, Klaten, Boyolali, Medan, Deli, Simalungun, Palembang dan Padang.