Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Noor Din M. Top sudah didaulat sebagai tersangka dalang sejumlah pengeboman. Berita tentang dirinya selalu membuat penasaran, apalagi di televisi. Begitulah, Sabtu dua pekan lalu, ketika televisi menyiarkan langsung kabar bahwa Noor Din terpojok di sebuah rumah di Dusun Beji, Temanggung, Jawa Tengah, jutaan pasang mata tak mau ketinggalan mengikutinya.
Di antara para penonton itu adalah para guru dan murid di Sekolah Dasar Negeri 02 Kidangbang, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Penayangan terus-menerus, sejak pengepungan polisi dilakukan pada Jumat malam, membuat para penonton setia ini tak ingin ketinggalan babak akhir pengepungan.
Sabtu pagi itu, guru muda Mahmudah dan seniornya, Yuni Astuti, mestinya memimpin 54 murid latihan baris-berbaris sebagai persiapan mengikuti lomba defile 17 Agustusan di Kantor Dinas Pendidikan Kecamatan Wajak. Murid peserta latihan dibagi dalam dua kelompok dan berlatih di tempat terpisah di luar sekolah.
Sebelum istirahat, Mahmudah dan Yuni sempat mengintip kelas. Anak-anak masih mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya. Namun, ketika waktu istirahat tiba pukul 09.00, mereka satu per satu beringsut pulang. Padahal, kegiatan belajar-mengajar mestinya masih berlangsung dua jam lagi. Siapa yang duluan pergi? Menurut desas-desus, ada empat guru pria yang pergi duluan, disusul enam guru perempuan, dan akhirnya hampir seratus murid yang ada di sekolah itu pun menghilang.
Tinggallah Mahmudah dan Yuni celingukan karena mendapati sekolah mereka mendadak lengang. Tak bisa berbuat banyak, Mahmudah dan Yuni pun sepakat untuk... ikut pulang. ”Toh, Sabtu, biasanya jam sekolah memang lebih pendek,” Mahmudah nyengir, memberi maklum dirinya sendiri. Keduanya pun bergegas pulang. Barangkali juga tak mau ketinggalan tayangan tentang Noor Din.
Abdi Purnomo
Kapolda pun Bersorban
Alunan zikir asmaul husna atau 99 nama Allah diiringi sayup-sayup suara electone tiba-tiba membuyarkan puluhan polisi yang sedang berbaris di depan masjid Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, sekitar pertengahan Juli lalu. Bukan bubar lalu masuk markas, para polisi ini bergegas mengambil air wudu di masjid yang berada tepat di tengah markas.
Dari pengeras sua-ra, alunan zikir itu berulang-ulang diputar hingga beduk berdentum, tanda dimulainya salat Jumat. ”Bagi anggota nonmuslim, diharap berkumpul di ruang Tribrata untuk berdoa bersama,” seseorang berkata melalui pengeras suara.
Suasana markas di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, itu memang beda sejak kepemimpinan tertinggi di sana dipegang Inspektur Jenderal Polisi Anton Bachrul Alam. Tiap pagi dan siang, zikir asmaul husna, yang dibacakan 30 polisi dan dipimpin Kepala Bidang Telematika Polda Komisaris Besar Polisi Samsul Huda, selalu mengalun lirih, terdengar di semua pengeras suara yang ada di pojok-pojok markas.
Masjid pun selalu dipenuhi makmum pada saat salat zuhur dan asar. Bahkan apel sore (bubaran untuk pulang), yang dulu dilakukan sebelum azan asar atau bahkan di tengah-tengah waktu azan, kini diundur menunggu selesainya asar di masjid.
”Kalau waktu salat ada tamu, kami berharap seluruh tamu diajak ke masjid. Kalau nonmuslim, ya, diajak berkumpul di salah satu ruangan untuk berdoa bersama,” kata Anton Bachrul Alam.
Tak cukup di situ. Selain menyarankan anggotanya rajin salat berjamaah lima waktu serta meluncurkan tim asmaul husna, Anton juga menyarankan mereka bergiliran sehari 30 orang mengaji tiap habis subuh dengan target khatam Al-Quran tiap hari. ”Tiap hari Pak Kapolda juga keliling ke masjid-masjid untuk salat berjamaah,” kata Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Polisi Pudji Astuti.
Ketika dilantik sebagai Kapolda Jawa Timur, Anton bahkan sering mengenakan sorban putih layaknya sosok Wali Songo dalam poster atau film. ”Rasul dan para kekasih Allah dulu pakai sorban. Jadi, tak ada salahnya meniru beliau,” kata Anton.
Fatkhur Rohman Taufiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo