Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Chatib Basri
Pendiri CReco Research Institute dan dosen Fakultas Ekonomi UI
Sebagian dari mereka berkumpul di kafe-kafe atau dalam kerumunan penonton di konser-konser musik. Sebagian dari mereka begitu fasih berbicara mengenai musikus jazz Stan Getz atau Dave Brubeck. Sebagian dari mereka lalu-lalang dengan telepon seluler di pusat belanja. Sebagian dari mereka getol dan aktif memperdebatkan soal otomotif atau film Hollywood dengan kekerasannya yang menjemukan. Sebagian dari mereka juga aktif dalam diskusi-diskusi politik, ekonomi, dan kebudayaan. Sebagian dari mereka menjadi penggiat demokrasi lembaga swadaya masyarakat dan berbagai aktivitas sosial. Pada 1998, kita juga melihat sebagian dari mereka aktif dalam perubahan politik di negeri ini.
Mungkin itulah wajah strata menengah kita sepintas lewat. Begitu beragam dan sulit disimpulkan. Kalau ada keseragaman, mungkin itu adalah kesamaan dalam mengeluh di media sosial, seperti Twitter dan Facebook, tentang kemacetan atau kualitas jasa publik yang buruk. Ada konsistensi sebagai professional complainer. Keseragaman lain mungkin kesamaan dalam konsumsi, misalnya kuliner, atau tren dalam pakaian. Dalam soal kuliner, kita melihat kegandrungan yang mirip. Perbedaannya mungkin hanya dalam pilihan harga dan kualitas makanan. Begitu pula dengan pola berpakaian: cara berpakaian dan model pakaian hampir sama. Perbedaannya hanya dalam kualitas atau merek pakaian.
Menarik karena hal itu bukan unik untuk Indonesia saja. Lalu apakah kita hanya bisa mengidentifikasi kelompok ini dari segi konsumsi? Lebih dari 20 tahun lalu, Richard Robison dan David Goodman mencoba merekamnya dalam sebuah risalah yang menarik: The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonald’s and Middle Class Revolution. Siapakah mereka? Bagaimana strata menengah melakukan transformasi ekonomi dalam konfigurasi ekonomi politik yang ada? Pedulikah mereka terhadap perubahan?
Saya agak enggan masuk terlalu jauh dalam wilayah ini, karena konsep kelas menengah adalah konsep yang "membingungkan" dari sisi akademik. Ada beberapa persoalan di sana. Pertama, soal definisi. Bagaimana kita mendefinisikan middle class atau kelas menengah. Apakah dari segi pendapatan, jenis pekerjaan, atau hal lain. Kedua, strata ini tidak memiliki satu kohesi politik yang bisa merepresentasikan perilaku politiknya. Ia bisa mencakup mereka yang berkumpul di kafe-kafe dan lobi hotel, mereka yang apolitis, mereka yang besar karena peran negara, sampai mereka yang menjadi aktivis atau yang bekerja sebagai klerek.
Saya lebih suka menyebutnya "Kelas Konsumen Baru", karena identifikasi kelompok ini muncul dari konsumsinya, dan kita belum tahu pasti implikasi politiknya. Karena itu, saya akan berfokus pada antisipasi yang harus dilakukan dengan perkembangan kelas konsumen baru ini. Perhitungan Bank Dunia (2011) menunjukkan persentase penduduk dengan pengeluaran per kapita di atas US$ 4 per hari meningkat dari 5 persen (2003) menjadi 18 persen (2010). Artinya, dalam tujuh tahun terakhir terjadi tambahan 30 juta orang. Inilah yang menjelaskan mengapa investasi asing langsung kembali lagi memperhitungkan Indonesia dalam radar mereka—selain tentu saja sumber daya alam yang kita miliki. Hampir semua perusahaan yang menghasilkan barang-barang konsumsi memiliki kinerja yang baik.
Apa dampaknya bagi ekonomi Indonesia? Studi seminal Chenery dan Syrquin (1975) menunjukkan, sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, akan terjadi proses akumulasi, alokasi, dan distribusi, yang akan mengubah struktur perekonomian sebuah negara. Inilah yang dikenal dengan istilah transformasi struktural. Sektor mana yang akan berkembang dengan meningkatnya kelas konsumen baru ini? Chenery dan Syrquin membenarkan hukum Engle bahwa elastisitas pendapatan terhadap permintaan nonmakanan lebih besar dari 1. Kenaikan pendapatan per kapita sebesar satu persen akan meningkatkan permintaan konsumsi nonmakanan lebih dari satu persen. Mengapa?
Sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita, konsumsi akan bergeser dari "kebutuhan" (seperti makanan) ke "keinginan". Ini yang menjelaskan mengapa penjualan mobil, sepeda motor, telepon seluler, dan rumah naik tajam. Ada hal yang penting lagi: elastisitas pendapatan untuk sektor jasa amat tinggi. Kenaikan pendapatan per kapita akan meningkatkan permintaan terhadap jasa jauh lebih cepat dibandingkan dengan sektor manufaktur. Jangan heran bila permintaan terhadap jasa pendidikan, kesehatan, rekreasi (leisure), dan industri kreatif akan luar biasa di masa depan. Semakin modern proses industri manufaktur, semakin tinggi kebutuhan akan sektor jasa yang andal (management, procurement, logistik, dan sebagainya). Jasa adalah sektor masa depan.
Lalu bagaimana dampak ekonomi politik kebijakan dengan munculnya kelas konsumen baru sebagai kekuatan ekonomi? Apakah preposisi klasik bahwa akumulasi kapital mempengaruhi kekuasaan akan berlaku penuh, lalu kita dapat mengharapkan kelas konsumen baru ini menjadi ujung tombak kelompok penekan dan perubahan? Agaknya kita harus agak hati-hati di sini. Sejarah ekonomi kita memang menunjukkan akumulasi kapital mereka terjadi sebagai akibat dari kekuasaan. Akibatnya, kelas menengah yang muncul adalah kelas menengah yang bergantung pada negara, sehingga lebih merupakan kelas konsumen ketimbang kelas menengah yang menjadi ujung tombak perubahan politik.
Namun apakah perubahan pada 1998 dan munculnya kelas konsumen baru tak memberikan ruang baru bagi borjuasi ini untuk melakukan transformasi menuju kekuatan ekonomi politik baru? Mungkin terlalu pagi untuk menarik kesimpulan tentang ketidakberdayaan strata menengah dalam membangun sebuah rezim demokratis. Kita memang melihat bagaimana kecerewetan kelas konsumen baru di media sosial. Dan tidak bisa dimungkiri, walaupun terbatas, ada kontribusi dari kecerewetan ini dalam kebijakan ekonomi politik pemerintah, tentu dengan bantuan media konvensional. Meskipun demikian, terlalu dini untuk menyimpulkan kelompok ini telah menjadi kelompok penekan yang penting dalam ekonomi politik di Indonesia.
Fragmentasi dari kekuasaan di Indonesia pasca-1998 juga telah membuat relasi antara kekuasaan dan modal terpencar dalam unit-unit yang lebih kecil. Kekuasaan tak lagi berada di Istana, tapi juga terpecah di parlemen, lembaga hukum, dan daerah. Relasi modal dan kekuasaan kemudian juga mengikuti pola itu. Korupsi di pemerintah pusat, partai politik, parlemen, dan pemerintah daerah masih berjalan dalam pola power begets capital atau kalau Anda berkuasa, Anda dapat melakukan akumulasi kekayaan. Namun, di sisi lain, kita juga melihat bahwa peran negara tak lagi sedominan di masa lalu dan struktur kekuasaan tak lagi monolitik.
Kita bisa melihat bahwa kelompok kepentingan seperti pengusaha dan serikat pekerja mulai muncul dan mampu mengorganisasi diri dalam tekanan kolektif dan memperjuangkan kelompok kepentingan yang relatif independen. Tentu saja, kita perlu mencatat, pengaruh politik mereka memang relatif terbatas. Dengan kata lain, peran negara yang dominan mungkin bisa menjelaskan kerangka besar dalam interaksi ekonomi politik antara modal dan kekuasaan, tapi ia memiliki limitasi dalam kebijakan spesifik industri. Di sisi lain, kelas konsumen baru—yang cerewet—dengan pendapatan yang lebih baik akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik dan kualitas barang yang lebih baik. Permintaan akan bergeser dari barang murah ke kualitas baik.
Hal itu membawa implikasi kepada perbaikan kualitas pelayanan jasa publik. Lebih penting lagi: semakin kerasnya tuntutan akan pemerintah dan parlemen yang bersih. Dengan kondisi ini, pemerintah tidak bisa lagi hanya terfokus ke akses, tapi juga kualitas. Pelayanan jasa publik yang buruk akan menjadi isu politik. Sejauh ini, kelompok konsumen baru ini memang hanya bertindak sebagai pengeluh profesional, belum menjadi agen perubahan. Namun terlalu cepat untuk menyimpulkan bahwa perannya tak ada. Sebab, bukan tak mungkin keluhan atau ketidakpuasan ini kemudian ditransmisikan melalui pasar politik atau yang lebih berbahaya bila itu kemudian muncul dalam sikap ogah partai politik dan ogah parlemen. Di sini saya kira pemerintah, parlemen, atau partai politik harus menyadari bahwa munculnya kelas konsumen baru bisa menggerus kepercayaan terhadap mereka bila pemerintah dan politikus tak berbenah diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo