Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Masyarakat Indonesia dan Sektor Keuangan

20 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fauzi Ichsan
Managing Director Standard Chartered Bank

Hampir sepuluh tahun terakhir saya rutin bertemu dengan investor global yang berminat berinvestasi atau sudah berinvestasi di Indonesia. Dalam setiap pertemuan, "cerita" tentang Indonesia hampir sama. "Indonesia ditopang tiga pilar ekonomi", yakni sektor konsumsi domestik (sekitar 65 persen dari produk domestik bruto), sektor komoditas (60 persen dari ekspor-yang diuntungkan oleh prospek kenaikan harga komoditas dalam 10 tahun ke depan), dan prospek pembangunan infrastruktur-kalau dengan infrastruktur yang buruk saja ekonomi Indonesia tumbuh 6-6,5 persen per tahun, apalagi bila infrastruktur lebih baik.

Konsumsi domestik pulalah yang menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi pada 1998 dan 2009. Pola belanja 240 juta rakyat Indonesia menjadikan Indonesia pasar terbesar di ASEAN. Saat ekonomi dunia tenggelam dalam resesi-ketika volume perdagangan internasional menciut dan negara yang ekonominya berbasis ekspor terpukul pada 2009-ekonomi Indonesia masih tumbuh 4,5 persen karena pasar domestik yang besar. Ketika itu tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga di antara negara G-20, setelah Cina dan India. Analis yang skeptis menilai, cepat atau lambat, dominasi konsumsi domestik akan melemah. Namun saya melihat, dalam 10 tahun ke depan, konsumsi masyarakat Indonesia akan tetap dominan karena peran sektor keuangan.

Peran perbankan dan sektor keuangan dalam ekonomi Indonesia memang masih sangat kecil, tapi akan terus tumbuh. Rasio kredit perbankan Indonesia terhadap PDB berkisar 30 persen, kalah jauh dibandingkan dengan Cina (125 persen), Malaysia (120 persen), dan Thailand (91 persen). Juga masih kalah dengan posisi Indonesia sebelum krisis moneter pada 1998. Saat itu rasio perbankan Indonesia terhadap PDB sudah 60 persen. Artinya, ruang gerak perbankan Indonesia untuk mendukung belanja masyarakat dan pertumbuhan ekonomi masih besar.

Beban utang masyarakat Indonesia pun relatif masih kecil. Rasio utang rumah tangga terhadap PDB di Indonesia baru berkisar 13 persen, sementara di Malaysia sudah 49 persen, Thailand 28 persen, dan Cina 17 persen. Artinya, masyarakat Indonesia masih memiliki ruang untuk berutang lebih banyak guna membiayai belanja, misalnya untuk membeli rumah, mobil, atau sepeda motor, yang pada akhirnya akan membantu sektor konstruksi dan manufaktur. Intinya, sementara beban utang masyarakat di Amerika Serikat dan Eropa sudah terlampau tinggi serta telah memicu "property bubble" dan krisis ekonomi, di Indonesia utang masyarakat justru masih rendah dan bisa "dipompa" untuk menggerakkan perekonomian.

Perbankan dan lembaga keuangan

Peran perbankan dalam mengembangkan kelas menengah Indonesia besar. Pasca-krisis moneter 1998, perbankan trauma memberikan pinjaman kepada sektor korporasi, yang macet secara massal tanpa bisa diselesaikan melalui jalur hukum dan pengadilan. Setelah diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional, direkapitalisasi (disuntik modal segar oleh pemerintah melalui obligasi) dan didivestasi ke investor asing seperti Temasek, perbankan Indonesia menjadi lebih sehat, tapi juga lebih konservatif.

Perbankan kian berhati-hati menyalurkan kredit korporasi, tapi lebih berani memberikan pinjaman kepada industri kecil-menengah serta sektor rumah tangga untuk konsumsi dan kredit pemilikan rumah (KPR). Pinjaman sektor rumah tangga berisiko lebih kecil (non-performing loan atau NPL rata-rata lebih rendah), sementara selisih bunga pinjaman dan biaya dana (net interest margin/NIM) lebih besar, sehingga perbankan bisa meraup keuntungan lebih besar. Bagi masyarakat kelas menengah, KPR meningkatkan kemampuan mereka memiliki rumah. Karena harga tanah di hampir semua kota di Indonesia naik pesat dalam 10 tahun terakhir, kekayaan (net worth) kelas menengah Indonesia pun meningkat tajam.

Di sisi konsumsi, tumbuhnya industri "shadow banking", terutama lembaga pembiayaan, juga ikut mendongkrak daya beli masyarakat. Lembaga pembiayaan, yang menggalang dana dari perbankan dan penerbitan obligasi, secara agresif memberi kredit (walau masih berkisar 3 persen dari PDB) kepemilikan mobil dan sepeda motor, termasuk kendaraan bekas. Sekitar 70 persen kredit lembaga pembiayaan untuk konsumsi rumah tangga. Pembiayaan untuk konsumen telah naik dari Rp 8,5 triliun pada 2000, 10 tahun kemudian sudah menjadi Rp 130 triliun.

Karena lembaga pembiayaan tidak diawasi Bank Indonesia, proses pemberian kreditnya bisa lebih longgar, yang berisiko meningkatkan NPL jika penyaluran kredit terlalu "diobral". Namun pengawasan serta pengaturan perbankan, lembaga pembiayaan, dan pasar modal akan digabung dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2013, sehingga pengendalian atas penyaluran kredit bisa diharmonisasi, antara perbankan dan lembaga pembiayaan-dengan asumsi OJK menjadi lembaga yang kredibel. Untuk sementara, risiko ekonomi Indonesia overheating dan NPL naik masih kecil, mengingat peran pembiayaan kredit dalam ekonomi Indonesia masih kecil.

Pasar modal

Semakin besarnya kelas menengah menambah jumlah penduduk yang bankable. Namun kelas menengah tidak hanya membutuhkan pelayanan deposito bank dan rekening koran, tapi juga jasa keuangan lainnya: asuransi, tabungan dana pensiun, dan investasi melalui pasar modal, baik pasar saham maupun obligasi. Bagi masyarakat kelas menengah baru, yang belum memiliki dana investasi yang besar dan kemampuan teknis untuk bermain di pasar modal secara langsung, kesempatan berinvestasi menguat seiring dengan tumbuhnya industri reksa dana.

Awalnya, reksa dana dibentuk oleh perusahaan sekuritas untuk menampung kebutuhan investor institusi (seperti dana pensiun dan dana asuransi). Namun, pada awal 2000-an, reksa dana mulai dijual oleh perbankan, sebagai distributor, kepada nasabahnya. Dengan adanya reksa dana, dana masyarakat kelas menengah bisa dikumpulkan untuk dibelikan obligasi dan saham dalam jumlah yang besar serta terdiversifikasi, sehingga mengurangi risiko investasi.

Kepercayaan masyarakat kepada reksa dana sempat terpuruk pada 2005, sewaktu harga Surat Utang Negara (SUN) jatuh karena ketidakpastian pemerintah atas kebijakan harga bahan bakar minyak-sewaktu harga minyak internasional naik tajam. Industri reksa dana juga terpuruk tajam pada 2008 sewaktu terjadi krisis finansial global. Namun, karena krisis tersebut tidak berlangsung lama serta pasar SUN dan saham pulih pada 2006 dan 2009, kepercayaan masyarakat berangsur pulih. Justru dengan adanya krisis finansial, kelas menengah mengerti risiko investasi dan berpengalaman dalam berinvestasi di pasar modal. Dana masyarakat yang dikelola reksa dana pun melejit, dari Rp 29 triliun pada 2005 menjadi Rp 163 triliun pada akhir 2011.

Kesempatan untuk berinvestasi di pasar obligasi melalui reksa dana terbantu dengan adanya obligasi rekapitalisasi perbankan (kemudian menjadi SUN), yang diterbitkan oleh pemerintah pasca-krisis 1998. Setelah itu, korporasi juga menerbitkan obligasi dengan bunga yang lebih tinggi dari SUN. Namun, dengan derasnya aliran modal asing ke pasar SUN, harga SUN naik dan imbal hasilnya turun-imbal hasil SUN rupiah dengan tenor 10 tahun, misalnya, turun dari 15,7 persen pada 2005 menjadi 5,3 persen pada Februari 2012, level yang kurang diminati oleh investor lokal yang sudah terbiasa dengan suku bunga yang mendekati 10 persen. Sebaliknya, bagi investor asing, imbal hasil SUN Indonesia relatif tinggi dibanding US treasury bonds, misalnya.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat juga telah mendorong kenaikan laba korporasi, dan memicu kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG). Antara 2004 dan 2010, kapitalisasi bursa saham Indonesia naik rata-rata 30 persen per tahun. Investor global yang berinvestasi di lima pasar saham (Indonesia, Cina, India, Brasil, dan Amerika Serikat) pada awal 2006 mampu meraih keuntungan dalam dolar Amerika. Amerika meraih keuntungan sebesar 16 persen, India 54 persen, Brasil 108 persen, Cina 133 persen, dan Indonesia yang tertinggi, 233 persen. Logikanya, kenaikan IHSG yang pesat 10 tahun terakhir telah memperkaya kelas menengah Indonesia yang turut berinvestasi di pasar saham melalui reksa dana.

Intinya, ekonomi Indonesia telah pulih dari krisis 1998. Awalnya pulih secara perlahan, dan mulai terakselerasi sejak 2006. Hal itu menjadikan ekonomi Indonesia berada di urutan ke-18 dalam G-20. Pertumbuhan ekonomi tersebut telah membentuk kelas menengah, yang pola konsumsinya didorong kredit perbankan dan lembaga pembiayaan. Kekayaan masyarakat kelas menengah terpompa oleh kenaikan harga rumah (melalui KPR) dan kenaikan IHSG (melalui reksa dana). Tren ini, saya perkirakan, akan terus berlanjut dalam 10 tahun ke depan. Pembangunan infrastruktur dalam 20 tahun ke depan serta investasi asing di sektor riil akan menjaga pertumbuhan Indonesia tetap tinggi, yang kondusif terhadap kenaikan IHSG dan reksa dana. Dalam skala global, kekuatan ekonomi juga sedang bergeser dari Barat ke Timur, dan Indonesia adalah salah satu yang diuntungkan oleh perubahan ini. All in all, it is good to be an Indonesian now.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus