Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kalah ranjang

Untuk menutupi kelemahannya karena "mati pucuk", bujang menuduh erawati yang baru dinikahinya tidak perawan lagi. melalui jalan damai, bujang harus mengganti biaya pesta, cerai, minta maaf.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALU tak pandai menari, dibilang lantai yang salah. Inilah akal Bujang, 27 tahun, dari Desa Kototuo Selatan. Si pandai emas ini sepulang berkelana dijodohkan dengan Erawati, 20 tahun. Gadis yang menetap 1 km dari desanya itu pilihan ibunya. Pestanya di rumah orangtua Er di Desa Kototuo Barat, Kecamatan IV Koto, Bukittinggi, akhir April lalu. Bujang lalu diberi gelar Sutan Mangkuto. Larut malam menjelang hari keempat perkawinan mereka, awal Mei lalu, Bujang yang tidak tamat SD itu mengundang mertuanya, Rosni, ke kamar pengantin. Ia menyodorkan kotak rokok kosong. "Tak ada rokoknya, Sutan," ujar Rosni tak mengerti. "Betul. Artinya, anak Ibu tidak perawan lagi," sahut Bujang. Bu Rosni, 52 tahun, bagai disengat petir. "Sejak lulus SMP, Er sibuk menerima pesanan jahitan. Ia jarang keluar rumah," katanya. Mendengar jawaban itu, Bujang malah mengancam akan menceraikan Erawati kalau tidak diberi tiga keping rupiah emas yang nilainya sekitar Rp 1,8 juta. Rosni kelabakan, dan Er terisak. Tapi Bujang tak peduli. Malam itu, sebelum pulang ke desanya, ia mendatangi ayah Er, Syamsi Sutan Tamangguang, 57 tahun, yang menginap di rumah seorang familinya. Mendengar cerita Bujang, darah tinggi Syamsi kumat. Ia pingsan. Ceritanya melebar. Orangtua dan ninik-mamak Er kalang kabut. Mereka membahas dakwaan Bujang hingga beduk subuh, dan sepakat memeriksakan Er ke dokter di Bukittinggi. Hasilnya? "Jangankan bolong, retak pun tidak," ujar Dokter Gusmawati, yang memeriksa Er. Jadi, Er masih ting-ting, alias belum terjamah siapa pun, juga oleh Bujang. Bukan main geramnya keluarga Er. Dengan bekal visum tadi lalu mereka mengadukan Bujang ke Polsek IV Koto: mencemarkan nama baik keluarga. Bujang pun ditangkap. Di depan polisi Bujang tak dapat lain kecuali membuka kedoknya. Diakuinya, tuduhan terhadap Er itu hanya akal bulus untuk menutupi kelemahannya. Ini dirancangnya bersama ibunya karena ia "mati pucuk", alias tak sanggup berperang di atas ranjang. Maka, keadaannya jadi terbalik. Kini pihak keluarga Er yang di atas angin. Mereka bersedia damai dan mencabut pengaduan ke polisi asal pihak Bujang mengganti biaya pesta Rp 1 juta. Selain itu, ia tak mengambil kembali harta bawaan, menceraikan Er, dan minta maaf kepada seluruh ninik-mamak Er dan tiga kepala desa di lingkungan Kenagarian Kototuo. Semuanya harus dipenuhinya dalam 21 hari. "Bila lewat, perkaranya dilanjutkan di pengadilan," ancam Syamsi. Empat hari sebelum deadline, dua pekan silam, kedua pihak menandatangani perdamaian dengan disaksikan Kepala Desa Kototuo Barat. Tentu setelah semua syarat dipenuhi. "Saya ingin segera selesai supaya Bujang cepat pergi. Bikin malu kampung saja," ujar Naan, 54 tahun, ayah Bujang, kepada Fachrul Rasyid dari TEMPO. Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus