BANGSA Arya tak datang di Bali -- setidaknya tak berkuasa di pulau ini. Tapi ajaib, di pulau mayoritas Hindu ini pun muncul semacam manipulasi terhadap konsep Catur-warna. Yakni konsep Triwangsa, dan inilah yang tampaknya di luar Bali dipahami sebagai kasta. Sebagaimana kasta di India, Triwangsa (arti harfiahnya: tiga bangsa) itu pun mengabaikan pembagian Caturwarna, yang didasarkan pada pembagian kerja, menjadi pembagian kerja, menjadi pembagian derajat sosial seseorang. Menurut I Ketut Wiana, Wakil Ketua Parisadha Hindu Dharma, kepada Silawati dari TEMPO, Triwangsa mulai melembaga pada abad ke-15, ketika Bali di bawah pemerintahan Dalem Watu Renggong. Awalnya adalah kedatangan dua brahmana dari Majapahit, Dang Hyang Dwijendra dan Dang Hyang Astapak, beberapa tahun sebelum abad ke-15 itu. Konon, untuk membedakan keturunan mereka dengan mereka yang bukan keturunan brahmana, mereka mencantumkan "gelar" di depan anak-anak mereka. Yakni "Ida Bagus" untuk anak lelaki, dan "Ida Ayu" untuk wanita. Dari situlah muncul anggapan -- entah disengaja atau tidak -- bahwa "derajat" kebrahmanaan turun-temurun sifatnya. Mungkin kebetulan anak turun Dwijendra dan Astapak kala itu memang jadi brahmana semuanya. Adapun munculnya Wangsa Kesatria dan Jaba Wangsa (mereka yang di luar wangsa) sebagai wangsa kedua dan ketiga dalam konsep yang akhirnya disebut Triwangsa, kata Ketut Wiana, sulit dilacak. Diduga itu ada sesudah dinasti Dalem Watu Renggong. Pelan-pelan konsep Triwangsa, yang memandang wangsa sebagai hal yang melekat turun-temurun, yang kemudian dianggap bagian dari ajaran Hindu. Maka, anak seorang raja, meski kemudian ia tak menjadi raja, tetap saja berwangsa kesatria dengan segala hak yang melekat. Tapi, berbeda dengan di India bahwa tingkatan seseorang tak bisa diubah lagi, wangsa di Bali bisa berubah. Yang menentukan perubahan itu adalah raja yang berkuasa, dengan kriteria yang tak jelas. Pada zaman penjajahan Belanda, konsep Triwangsa terus dihidupkan, karena memang menguntungkan penjajah untuk memecah-belah orang Bali. Pada zaman kolonial inilah, pada 1910, lahir hukum adat hubungan antar wangsa, yang dikukuhkan oleh Residen Bali dan Lombok pada 11 April 1927. Yang mencolok dalam hukum itu adalah soal perkawinan antar wangsa, yang melarang perempuan Hindu kawin dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah. Wanita keturunan brahmana yang menikah dengan lelaki dari wangsa lebih rendah dianggap telah melakukan asu pundung. Seorang wanita Kesatria yang menikah dengan lelaki Jaba Wangsa dianggap alangkahi karang hulu. Dua-duanya menyalahi hukum adat, dan hukumannya, si lelaki di-selong, dibuang ke tengah lautan, atau di-lebok, ditenggelamkan ke samudera, sampai mati dimakan ikan. Indonesia merdeka pada 1945, tujuh tahun kemudian hukum adat itu dihapuskan. Namun, hukum adat yang sudah berlaku sekitar 35 tahun itu, beserta konsep Triwangsa yang sudah berjalan sekitar lima abad, tampaknya tak lalu hapus begitu saja. Sampai tahun 1960-an, sisa-sisa Triwangsa masih bisa dilihat. Umpamanya, bila ada keluarga brahmana atau kesatria meninggal dunia, orang-orang yang digolongkan Jaba Wangsa dengan sukarela ikut mengusung jenazahnya. Sebaliknya, bila orang Jaba yang meninggal, dua wangsa lainnya diam saja. Untunglah, Triwangsa tak sampai menimbulkan permusuhan sosial. Pelan-pelan konsep itu pun hilang, dan Caturwarna kembali yang dipegang. Yakni konsep pembagian masyarakat dalam empat fungsi (brahmana, kesatria, waisya, dan sudra) lebih sebagai dasar etos kerja umat Hindu. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini