Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kalau kredit menjadi bukit

Sejumlah bank meminta fasilitas diskonto bi untuk menutupi krisis likuiditas mereka. banyak yang terjepit akibat kredit macet. inflasi perlu dikendali kan. ada bank yang pinjam ke luar negeri.

18 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI sibuk bagi Bank Indonesia akhirnya berlangsung mulai pekan lalu. Berpeti-peti uang tampak keluar dari bank sentral itu. Sejumlah mobil membawa duit yang jumlahnya milyaran itu ke sejumlah bank. Inilah bank yang karena kesulitan likuiditas terpaksa memanfaatkan fasilitas pinjaman uang melalui jendela diskonto. Menurut sumber TEMPO, ada delapan bank yang telah memanfaatkan fasilitas melalui jendela diskonto BI itu. Di antaranya, bukan cuma bank swasta juga disebut-sebut nama beberapa bank pemerintah. Bahkan dua bank besar swasta yang belum lama ini menyedot dana sebanyak Rp 350 milyar dengan menjual saham di bursa efek Jakarta, termasuk dalam daftar yang memanfaatkan pinjaman diskonto itu. Tapi, bank-bank yang disebut namanya oleh kalangan perbankan itu, setelah dicek TEMPO, membantah. Maklum, terdaftar sebagai bank yang memanfaatkan fasilitas itu, salah-salah, bisa dicap tidak bonafide, dan ditinggal para nasabahnya. Juru bicara Bank Indonesia Dahlan Sutalaksana membenarkan bahwa pekan lalu ada sejumlah bank yang meminta pinjaman diskonto. "Bukan cuma delapan bank, tapi lebih. Ada yang meminjam Rp 0,5 milyar, ada juga yang mengambil lebih dari Rp 30 milyar," kata Dahlan. Menurut juru bicara BI, peristiwa itu bukan luar biasa. Sebab, katanya, yang diambil adalah fasilitas diskonto I, yakni pinjaman berjangka waktu maksimal tiga hari. "Itu belum mencerminkan manajemennya tidak sehat, atau bank bersangkutan sudah melanggar ketentuan likuiditas," ujar Dahlan. Para bank peminjam diskonto itu kebanyakan tak bisa membayar kewajibannya pada saat jatuh tempo karena uang yang diharapkan sudah masuk ternyata belum. Jadi, ibarat kuda sudah terpegang, tapi talinya belum ada. "Itu terjadi antara lain karena bank mempunyai cabang-banyak," tutur Dahlan. Berbeda dengan keterangan Dahlan, menurut beberapa bankir, di antara bank-bank yang ke BI itu, ternyata ada juga yang telah mengambil fasilitas diskonto II (yang berjangka sampai 90 hari), pinjaman yang sebenarnya bisa menunjukkan bahwa bank bersangkutan sudah mengalami kesulitan likuiditas lebih parah dibandingkan dengan mereka yang baru mengambil fasilitas diskonto I. Terlepas dari informasi yang berbeda itu, yang jelas pemegang otoritas moneter, belakangan ini, bersikap agak longgar dalam memberikan fasilitas diskonto. Bahkan Gubernur BI Adrianus Mooy, belum lama ini, memang mengatakan bahwa jika ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas, jangan segan-segan mengetuk jendela diskonto (TEMPO, 4 Agustus 1990). Menteri Keuangan J.B. Sumarlin pun, Selasa pekan lalu, muncul di TVRI, dan mengatakan bahwa wajar-wajar saja jika ada bank-bank yang kejepit, lalu lari ke BI untuk mengambil fasilitas diskonto. Padahal, sewaktu Pakto (paket deregulasi perbankan 27 Oktober 1988) diluncurkan, Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin sama-sama menegaskan bahwa BI tak akan begitu saja mengumbar fasilitas diskonto. Soalnya fasilitas diskonto, yang dulu telah sering juga digunakan, menurut anggapan Pemerintah, hanya membuat bank-bank itu menjadi manja (TEMPO, 5 November 1988). Tak mengherankan jika sejak Pakto, bank-bank yang kesulitan likuiditas lebih suka meminjam di pasar uang antarbank (call money). Sebab, menurut Priasmoro, bekas Dirut BPA, yang kini menjabat Vice President BNP-Lippo (bank patungan Prancis dan Lippobank), pinjaman antarbank senantiasa tersedia, dan bunganya relatif lebih murah daripada fasilitas diskonto BI. Namun, sejak April lalu, pasar uang antarbank mulai demam. Hal itu tercermin dari suku bunga call money yang melonjak sampai 40%. Akibatnya, bank-bank mulai melirik ke BI, yang meminta bunga bayar di muka (diskonto) sekitar 19%- per tahun. Bagaimanapun, bank-bank yang telah mengetuk jendela diskonto, menurut Priasmoro, bukanlah mereka yang sudah bobrok atau mau runtuh. "Yang terjadi di bank itu hanyalah mismanajemen. Bank itu pada dasarnya tetap solvabel, artinya kekayaan bank itu masih bisa mengimbangi utang-utang yang dibuatnya. Cuma tidak likuid," kata Priasmoro. Namun, diakuinya bahwa bank yang mengambil diskonto itu siap menghadapi risiko buruk. Jika pinjaman yang diambil dalam waktu tiga hari belum dapat dilunasi berarti pihak BI akan datang memeriksa. "Daripada isi perut bank dibongkar BI, pemiliknya lebih baik menambah modal, atau pemegang saham memberikan kredit subordinasi," kata Priasmoro. Mengapa jendela diskonto BI kini mudah terkuak? Menurut seorang pakar ekonomi dari kalangan Pemerintah, itu karena Pemerintah menyadari bahwa banyak bank, termasuk bank pemenntah, dewasa ini sedang terjepit. Di satu pihak, bank-bank sudah telanjur mengikat kontrak untuk memberikan kredit. Di lain pihak, mereka dikejar-kejar BI untuk segera melunasi kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang jatuh tempo. Seperti diketahui, pada akhir Januari 1990 keluar keputusan pemerintah yang memangkas kredit-kredit yang disubsidi Bank Indonesia dari 23 jenis tinggal empat jenis. Beleid yang dikenal sebagai Pakjan 1990 itu menghapuskan antara lain kredit investasi kecil (berjangka waktu maksimal delapan tahun), kredit modal kerja permanen (berjangka maksimal lima tahun), dan kredit ekspor (berjangka tiga bulan). Kredit-kredit tersebut dihapuskan karena dianggap bersifat menambah tingkat inflasi (inflatoar). Dampak beleid itu, bagi dunia perbankan, cukup besar. Tahun ini saja, KIK, KMKP, dan KE yang jatuh tempo diperkirakan sekitar Rp 5 trilyun. Kalau sejumlah uang itu disetor bank-bank ke BI, berarti -- jumlah uang beredar tahun ini akan mengkeret sekitar jumlah itu. Tahun lalu, kenaikan uang beredar memang sangat mencolok. Pada tahun-tahun sebelumnya pertambahan uang beredar rata-rata tak sampai 20%, tetapi pada tahun 1989 ternyata melesat sampai 40%. Jika dibiarkan terus, tentu akan merang-sang inflasi. Gejala itu memang telah tampak. Dalam tujuh bulan pertama (Januari - Juli) 1990 ternyata inflasi meningkat sampai lebih dari 7%. Namun, dari kalangan bankir ada yang berpendapat bahwa Pemerintah sebaiknya membiarkan aja inflasi berkibar sampai 12%. Kenaikan yang berarti 1% sebulan itu dianggapnya masih dalam tahap yang wajar. Tapi, usul itu agaknya hanya siasat para bankir untuk mencari keuntungan di air keruh. Mengapa? Jika inflasi dilonggarkan sampai 12% setahun, itu berarti Bank Indonesia juga harus melonggarkan kendali kurs rupiah terhadap dolar. Pada tahun-tahun lalu, Pemerintah bisa mengendalikan inflasi sekitar 6%. Dengan demikian, BI bisa leluasa melepaskan kurs rupiah terhadap dolar secara pelan-pelan, 4%-4,5%, tanpa membuat masyarakat curiga. Kalau inflasi dibiarkan sampai 12%, dua kali lipat, itu berarti BI juga harus melonggarkan kurs rupiah sampai sekitar 10%. Hal ini tentu akan merangsang orang berspekulasi dolar. Akibatnya adalah pelarian modal ke luar negeri. Pada akhirnya ekonomi nasional secara makro akan terpukul. Batas plafon inflasi 5% yang ditargetkan Pemerintah memang sudah tembus. Tapi, diduga pada lima bulan terakhir 1990 (Agustus-Desember), Pemerintah akan memperketat uang beredar. Salah satu cara yang ditempuh, yakni dengan menyedot dana masyarakat lewat penjualan SBI yang menawarkan bunga lebih tinggi daripada bunga deposito. Yang akan pertama-tama merasakan dampaknya adalah kalangan perbankan. Maklum, kini Bank Indonesia hendak bersaing dengan bank-bank untuk merebut dana masyarakat dengan menjual SBI. "Tampaknya, napas Bank Indonesia sendiri sudah terengah-engah, sehingga BI merasa perlu benar untuk memasyarakatkan SBI," kata seorang bankir swasta. "SBI itu kan instrumen yang akan memberangus rupiah. Beda dengan treasury bin di AS, yang menyedot dana masyarakat tapi kemudian disalurkan kembali lewat anggaran pemerintah," tambahnya. Tapi langkah pengetatan rupiah itu, menurut sumber dari kalangan Pemerintah, sebagian karena permainan perbankan belakangan ini. Pihak BI semula menduga bahwa beleid Pakjan secara otomatis akan menyebabkan kontraksi moneter. Ternyata, kenaikan uang beredar belum bisa dibendung. Dari Januari hingga April, jumlah uang beredar ternyata masih bertambah 14%. Angka itu cukup tinggi dibandingkan dengan kenaikan yang cuma 4% pada periode yang sama tahun lalu. Itu antara lain karena menjelang dihentikannya program kredit ekspor (1 April 1990), bank-bank telah berlomba menyalurkan kredit ekspor. Akibatnya, dalam tempo satu minggu di akhir Maret, BI dipaksa memompa sejumlah uang sekitar Rp 1,3 trilyun. Itu terlihat dalam Laporan Minggu BI yang mencatat angka kredit ekspor pada April minggu I, berjumlah Rp 4.286 milyar. Padahal, angka pada bulan Maret minggu IV tercatat hanya Rp 2.942 milyar. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa kenaikan jumlah uang yang beredar itu terutama disebabkan oleh kebijaksanaan pemenntah. Misalnya, beleid 27 Oktober 1988 (Pakto) telah merangsang bank-bank untuk mengerahkan dana masyarakat. Banyak uang yang tadinya tak bisa bertelur di bawah bantal, kini menjadi lebih cepat bergerak lewat tangan-tangan lincah perbankan. Setelah bank-bank berhasil menghimpun dana, mereka pun berlomba-lomba menciptakan berbagai kredit. Tak mengherankan jika kredit yang disalurkan bank-bank sekarang ini melonjak jauh melampaui dana yang dihimpunnya dari masyarakat. Pemerintah, konon, tak akan sampai mengatur ketentuan loan deposit ratio (kredit yang disalurkan dibandingkan dengan dana masyarakat) ini. Sebab, hal ini sudah menyangkut teknis manajemen perbankan. Buktinya, ada bank yang telah memberikan kredit melampaui jumlah dana yang dihimpunnya dari masyarakat, tapi masih dinilai sehat. Bank Niaga, misalnya, dalam neracanya per 30 Juni 1990, yang baru diumumkan Senin pekan ini memperlihatkan jumlah kredit yang telah disalurkannya mencapai Rp 1.713 milyar. Sedangkan dana masyarakat (giro, deposito, dan tabungan) yang dihimpunnya Rp 1.252 milyar. Itu berarti loan deposit ratio mencapai 136%. Dalam keadaan demikian, Bank Niaga ternyata masih berani tampil untuk memperkenalkan jasa baru bagi perusahaan-perusahaan. Pekan lalu, untuk pertama kalinya Bank Niaga bersama 23 bank dan LKBB -lembaga keuangan bukan bank) meneken kontrak pinjaman tunggu bagi PT Astra International Inc. Ini merupakan pinjaman siaga berjangka tiga tahun, yang sewaktu-waktu bisa ditarik Astra. Bahwa dana untuk Astra itu ada, barangkali tak perlu diragukan. Sebab, sindikat itu diperkuat oleh bank pemerintah (BBD dan BDN), dua perusahaan milik BI (PT Ficorinvest dan PT Uppindo). Tapi, Bank Niaga sendiri apakah memang mempunyai dana? "Kami kan telah mendapatkan pinjaman dari luar negeri. Biaya pinjaman dari luar negeri itu relatif lebih ringan, lo. Jangkanya pun sampai tiga tahun," kata Presdir Bank Niaga Robby Djohan. Menggali dana dari luar negeri belakangan ini ternyata mulai menjadi mode. Bank-bank swasta lainnya, seperti Bank Danamon, Lippobank, dan Bank Bali, juga bank-bank pemerintah (BNI, BBD, BRI, Bank Eksim, dan BDN) sudah terjun di pasar uang internasional untuk menarik pinjaman luar negeri yang rata-rata berjangka tiga tahun. "Mereka itu enak, karena pihak BI bersedia menanggung risiko kurs dengan swap sekitar 7% per tahun," kata sebuah sumber TEMPO. Dalam hal ini, konon BI telah dikelabui oleh bank-bank pemerintah. Seperti diketahui, tingkat swap itu kan ditentukan BI berdasarkan selisih suku bunga rata-rata deposito enam bulan dari bank-bank pemerintah di sini dengan suku bunga pinjaman antarbank di Singapura. Pada bulan April dan Mei lalu, ketika bank-bank mengambil pinjaman dari luar negeri, deposito enam bulan yang diumumkan bank-bank pemerintah cuma berbunga 15,5%. "Padahal, kalau kita datang, dia menawarkan suku bunga yang lebih tinggi," kata sumber TEMPO. Belakangan hal itu disadari BI, sehngga selama tiga minggu terakhir swap rate dinaikkan BI. Dengan demikian, hasrat bank-bank untuk meminjam dari luar negeri diperkirakan sudah akan terbendung. Hal ini akan mengurangi uang beredar. Max Wangkar, Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus