PRESENTASI hasil penelitian finalis LPIR ke-14 dan LKIR LIPI-TVRI ke-22 baru saja usai. Ada saja suara sumbang yang menyebut mutunya menurun dibanding tahun lalu. Tapi, Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion, Ketua Dewan Juri LPIR, memberi acungan jempol. "Mereka berani menghadapi para pakar ilmu yang memiliki sederet gelar," ujar Andi senang. Nyatanya, memang ada sejumlah hasil penelitian yang mampu mengundang decak kagum. Misalnya percobaan yang dilakukan dua siswa kelas III SMAK Frateran, Surabaya. Selama tiga bulan Herry Darmawan dan Sentiono sibuk menjajal Controlled Stopwatch -- alat pengukur percepatan gravitasi buatannya. Hasilnya dituangkan dalam makalah dengan judul "Controlled Stopwatch sebagai Alat Pengukur Percepatan Gravitasi". Bentuk alat itu sederhana. Tiang kayu setebal kira-kira 5 cm, tinggi 50 cm, ditancapkan pada sebuah kotak berukuran sekitar 25 X 15 cm. Pada ujung tiang kayu terdapat bandul untuk menjatuhkan benda keras yakni gotri -- bola besi berukuran kecil. Nah, kotak di bawahnya yang dilengkapi dengan perangkat elektronik berfungsi sebagai pengukur besarnya percepatan gravitasi (daya tarik bumi) terhadap suatu benda. Di situ ada counter, alat pencacah yang secara otomatis menghitung besarnya percepatan gravitasi. Kedua siswa itu mengklaim alatnya mampu mencatat lebih akurat dibanding alat konvensional yakni "bandul ayunan". "Derajat penyimpangannya lebih kecil," kata Herry, 18 tahun. Di depan juri, ia menunjukkan tabel hasil perlombaannya sebanyak sembilan kali -- dalam waktu yang berbeda -- di sekolah dan rumah. Di sekolah, alatnya mencatat percepatan gravitasi rata-rata 9,783 m/dt2 (meter per detik kuadrat), atau lebih akurat dibandingkan alat konvensional "bandul ayunan" yang 9,793 m/dt2. "Bandul ayunan" menurut Herry punya kelemahan. Antara lain tegangan tali ayunan, pengaruh angin, perubahan kelenturan tali, dan kesalahan paralaks. Sedang alat ciptaannya punya keunggulan seperti tahan guncangan, mudah dibawa, dan bisa dihubungkan dengan komputer. Finalis lain yang tampil mempesona adalah Retno Listyarti. Mahasiswi tingkat I Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) IKIP Jakarta ini menampilkan hasil penelitian berjudul "Studi terhadap Pemulung di Tiga Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta". Selama hampir empat bulan, Retno mewawancarai 100 pemulung di Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur. Retno, misalnya, menemukan fakta bahwa penghasilan pemulung di Jakarta cukup tinggi. "Rata-rata mereka mengantongi Rp 15 ribu per bulan. Kan lebih tinggi daripada pegawai negeri yang baru masuk," ujar Retno sambil berseloroh. Yang menarik, pemulung Jakarta adalah kaum urbanis dari Jawa Barat dan Jawa Tengah yang rata-rata hanya berpendidikan SD. "Laskar mandiri" -- di Jakarta ada 30.000 orang -- itu punya peranan penting. Ruang ujian LKIR-LIPI juga sempat dikejutkan oleh penampilan teknolog bocah. Dialah Nindyo Cahyanto, 13 tahun, siswa kelas I, SMP Regina Pacis, Bogor. Peserta termuda ini tampil dengan alat - buatannya, "Robot Bergerak Serba Guna". Tentu belum secanggih robot buatan Jepang. Namun, Robot Bogor ini sempat mempesona dewan juri. Priyono B. Sumobogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini