BANYAK pengusaha tersentak ketika Pemerintah mengumumkan target penerimaan PPh dianggarkan sebesar 35,9%. Tapi, di luar dugaan mereka, target yang ambisius itu tak sampai memunculkan jenis pajak baru. Juga tidak membuat tarif pajak yang sudah ada menjadi naik. Seperti dikatakan Presiden Soeharto, ''Kenaikan yang cukup besar ini akan dicapai dengan memperluas jumlah wajib pajak dan menyempurnakan administrasi pelaksanaannya.'' Bagi pengusaha yang tidak pernah lagi bermain mata dengan aparat pajak, kabar ini membawa rasa tenteram. Sebaliknya, pengusaha yang nakal pastilah tak enak hati. Soalnya, intensifikasi pemungutan pajak akan ditingkatkan. Apa pun jurusnya, banyak pihak gelenggeleng kepala. ''Saya juga bingung, dari mana angka anggaran PPh itu dicomot. Kok rasanya sangat tidak realistis,'' celetuk seorang pengusaha. Mungkin sekali reaksi itu erat kaitannya dengan kebijaksanaan Pemerintah ketika tahun silam mendongkrak target penerimaan pajak sebesar 33% menjadi Rp 23,37 trilyun. Sebenarnya, dengan menaikkan PPh 35,9%, pajak pertambahan nilai sebesar 5,9%, PBB 33,3%, dan pajak lainnya 2,6%, sektor pajak kali ini ''hanya'' menganggarkan lonjakan 14,44%, menjadi Rp 28,2 trilyun. Jadi, tidaklah terlalu mengadaada. Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad memperkirakan, target itu masih terjangkau, karena perolehan PPH semester I tahun anggaran berjalan mencapai Rp 5,7 trilyun, atau separuh lebih dari target. Lain halnya PPN yang pada kurun waktu sama baru menghimpun Rp 4,6 trilyun (42% dari anggaran). Maka Mar'ie pun optimistis. ''Tahun ini pun perolehan PPh pasti melampaui PPN. Tidak perlu diragukan lagi,'' katanya. Langkah pertama Pemerintah untuk memenuhi target kenaikan PPH 35,9% adalah dengan memperluas wajib pajak. Hingga saat ini WP yang terjaring baru 5,27 juta, atau separuh dari potensi teoretis. Kata Mar'ie, jika dalam setahun jumlah ini meningkat 5% saja, itu sudah lumayan. Jurus lain adalah dengan menggunakan bank data yang dimiliki instansi pemerintah. Dengan cara ini, kebenaran SPT (surat pemberitahuan tahunan) akan mudah dicek. Misalnya, ada WP yang baru menerima capital gain dari penjualan tanah, dengan cara ini transaksi tersebut akan segera diketahui. Dan yang bersangkutan tak akan bisa menghindar lagi. Selain itu, jurus law enforcement akan ditingkatkan. Dulu, tak ada kekayaan WP yang dilelang setelah disita. Mulai tahun ini, ''Kalau perlu, kami akan sampai ke tingkat pelelangan,'' kata Mar'ie. Tindakan ini terutama akan diarahkan kepada WP badan kelas menengah ke atas. Memang, WP kelas teri dengan kewajiban Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu pun akan tetap dikejar. Tapi tidak akan digiring ke jalur hukum, karena hasilnya tidak sepadan dengan jerih payahnya. Kiat lain ialah pemanfaatan jasa 800 akuntan publik. Mereka akan melakukan verifikasi -- terlebih dahulu -- kepada WPWP menengah atas. Untuk membayar para akuntan ini, Pemerintah harus mengeluarkan dana sekitar Rp 6 milyar. Namun hasilnya boleh diharapkan. Soalnya, sasaran pertama dari tim ini adalah 10.000 perusahaan yang beromset di atas Rp 10 milyar setahun. Tapi bagaimana jika akuntan yang ''detektif swasta'' Ditjen Pajak ini bersekongkol dengan WP? Tak ayal lagi, hasil verifikasi akan diperiksa ulang oleh sebuah tim yang beranggotakan aparat Pajak, Ikatan Akuntan Indonesia, dan BPKP. Dan jika terbukti ada main mata antara akuntan dan WP, akuntan yang bersangkutan akan dituntut ke meja hijau. Kesemua itu ''menjanjikan'' satu pergelaran penting sepanjang tahun 1993-94. Baiklah kita tunggu. Hanya Dirjen Mar'ie tampaknya lebih suka suasana serba tenang, tanpa gejolak. Atau seperti katanya, ''Tanpa ribut-ribut.'' Budi Kusumah dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini