Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kamla, Kebanggaan Dan Kepedihan

Perdagangan wanita di India diungkapkan oleh reporter Ashwini Sarin di koran the Indian Express. Ia baru membeli seorang wanita setengah umur bernama Kamla di sebuah desa dekat Shivpuri.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMARIN saya membeli seorang perempuan ceking berperawakan pendek di sebuah desa dekat Shivpuri, Madya Pradesh," tulis reporter Ashwini Sarin mengawali serialnya. "Harganya 2300 rupee (sekitar Rp 200 ribu)." Cerita yang disiarkan di koran The Indin Express--koran India dengan oplah paling besar -- itu, tentu saja mengejutkan. Terutama untuk para pembaca dari dunia beradab. Bahkan Ashwini Sarin sendiri tidak habis pikir. "Sulit dipercaya," katanya, "bahwa saya (empat bulan lalu - Red) telah membeli seorang wanita setengah umur dengan separuh harga seekor sapi di Punjab." Kini, wanita yang bernama Kamla itu dititipkan di sebuah rumah yatim piatu di Old Delhi. Ia tampak tak kerasan. Bukan saja lantaran ia harus patuh pada tata tertib asrama itu. Melainkan juga terhadap cara pekerja-pekerja yang bertugas di sana dalam memberikan pengarahan. Di pihak lain, pimpinan rumah yatim piatu itu sendiri tidak begitu bersenang hati menampung Kamla. "Ia sulit diatur," kata mereka. Tampaknya mereka ingin perempuan itu segera angkat kaki dari sana. Tapi ke mana? Sampai sekarang para penemu Kamla belum berhasil mencarikan tempat penampungan yang cocok. Mereka sudah menyurati Mahkamah Agung. Memohon perhatian pemerintah terhadap 'usaha' jual beli manusia yang rupanya kian meluas. Dan menuntut lingkungan yang ideal untuk merehabilitasikan orang-orang senasib Kamla. Namun pihak pengadilan nampak tenang-tenang saja. Sementara mengusut kasus ini, mereka memerintahkan perempuan itu tetap tinggal di rumah yatim piatu tadi. Dalam pada itu, petugas-petugas pemerintah di Shivpuri malah mau menuntut sang reporter yang telah membukakan kebiadaban itu. "Kamla sendiri seperti orang bingung menonton semua ribut-ribut ini," tulis wartawan New Yo,rk Times Michael T. Kaufman dari New Delhi. Menurut hemat perempuan itu, orang yang telah membeli dialah yang berkewajiban mencukupi sandang pangannya. Ia ingin meninggalkan rumah yatim piatu itu, tempat ia dilarang mengisap bidis, rokok lintingan sendiri yang amat digemarinya. Ia ingin mengabdi orang yang telah membelinya. Ia juga bangga, bahwa ia telah dibeli dengan harga yang "cukup tinggi". "Setiap kali saya mengunjunginya, ia menyatakan ingin mengikuti saya," kata Coomy Kapoor, editor kepala Express, Nona Kapoor pernah bekerja pada Departemen Kesehatan Mental Massachusetts, ketika menuntut ilmu di Amerika. Ia merasa sedih melihat kenyataan, bahwa di India belum terdapat institusi untuk para wanita serupa Kamla. "Saya merasa berdosa dalam hal ini," ujarnya. "Bagi kita, dia (Kamla) adalah simbol kesewenang-wenangan yang mengerikan. Mungkin satu-satunya jalan keluar adalah mengawinkannya. " He? Sementara tuduh-menuduh dan argumentasi dilempar ke sana ke mari, Kamla menunggu keputusan nasib di rumah yatim piatu itu. Ia tinggal di sana segera setelah tiba di stasiun kereta api Delhi, berdasarkan 'pesanan' Ashwini Sarin. Dan begitu ia mendekam di sana, direktur rumah yatim piatu itu, V.L. Sharma, melarang siapa saja yang hendak mewawancarai atau memotret cewek itu. Alasannya, Kamla masih dalam pengawasan pengadilan. Apalagi karena ketika itu sekujur tubuh Kamla biru legam penuh bekas pukulan. Ia tampak kurang makan, rapuh dan pemalu. Menurut direktur rumah yatim piatu itu, "ia suka bertindak irrasional, mencarut-carut,dan memekik-mekik minta dikeluarkan dari sini." Pengadilan lantas menunjuk seorang psikiater untuk memeriksanya. Tapi ternyata perempuan yang ber-tatoo biru pada pergelangan tangannya--sesuai kebiasaan umum para wanita di karnpungnya--itu cukup waras. Hanya kadang-kadang saja ia bertindak tidak senonoh. Mungkin terdorong oleh kegelapan masa lalunya. Nona Coomy Kapoor memang berusaha melacak latar-belakang kehidupan Kamla. Tapi perempuan itu selalu mengelak bila percakapan sampai pada lingkungan keluarganya. Tak jarang pula ia berbohong. Misalnya dengan menceritakan kepada Nona Kapoor, bahwa ia dijual oleh ipar lelakinya--segera setelah suaminya meninggal. Padahal, menurut penyelidikan Kapoor, keras dugaan wanita itu dijual suaminya sendiri. Sampai Kaufman menuliskan laporannya, Agustus kemarin, belum seorang pun tahu usia dan namanya yang sebenarnya. Tidak ada pula yang mengaku sebagai sanak-saudara atau teman sekampungnya. Ashwini Sarin sendiri membutuhkan waktu sembilan bulan sampai berhasil membeli Kamla. Ia melakukan perjalanan ke pelbagai pelosok. Berlagak sebagai seorang dokter dengan keluarga besar, yang sedang mencarikan calon istri bagi mandor perusahaan pertaniannya. Setelah berhasil memperoleh kepercayaan para 'penyalur tenaga kerja', Sarin 'menutup transaksi' dalam sebuah pertemuan di sebuah jalan yang berseberangan dengan pos polisi di Morena. Dalam pemeriksaan atas dirinya, Ashwini Sarin mengatakan ia memang mengamati perdagangan wanita yang tampaknya belakangan ini semakin berkembang. Sebagian, 'barang dagangan' itu dijadikan hamba sahaya. Sisanya dilemparkan ke rumah-rumah bordil. Harga yang ditetapkan juga terus berkembang. Yang tertinggi bisa mencapai sekitar 21 ribu rupee (sekitar Rp 1,75 juta). Dengan harga itu, seseorang boleh mengharapkan gadis berusia 15 tahun. Setelah berusaha penuh kesabaran, akhirnya Nona Kapoor berhasil juga mengorek keterangan dari Kamla tentang pengalaman hidupnya sebagai barang dagangan, meskipun serba sedikit. Kadang-kadang, tutur Kamla kepada Nona Kapoor, ia jatuh ke tangan seorang lelaki yang memperlakukannya dengan baik, dan imbalan yang diterimanya lebih dari cukup. Tapi lain kali ia dioperkan kepada orang lain yang suka main jotos dan membiarkannya gemetar kelaparan. Sampai demikian jauh, Nona Kapoor tidak melihat tendensi seksual dalam kasus Kamla. Perempuan itu hanya diperlakukan sebagai pelayan. Dan bahkan, "Dia sangat bangga akan harganya yang tinggi," ujar reporter itu. "Dan menganggap dirinya sebagai bagian kekayaan kita." Sehari setelah Express menyiarkan tulisan pertama Ashwini Sarin itu, dinas kepolisian India blingsatan. Di kota tempat jual beli itu berlangsung, para petugas menyusun rencana--bukan untuk mengusut perdagangan itu, melainkan untuk--memperkarakan Ashwini. Di Delhi, mereka mendatangi rumah yatim piatu itu dan membawa Kamla. Katanya "demi perlindungan, sebab orang ini bakal dibutuhkan sebagai saksi." Tapi Express tidak tinggal diam. Mereka mendatangi Mahkamah Agung, yang kemudian memerintahkan polisi mengembalikan Kamla ke rumah yatim piatu tersebut. Setidak-tidaknya, selama pengadilan belum mengambil kata putus. Rumah yatim piatu itu sendiri sebetulnya tidak menyediakan fasilitas untuk orang dewasa. Peristiwa seperti itu sesungguhnya merupakan 'lagu lama' yang Qmpai kini belum juga berjawab. Beberapa minggu yang lalu, misalnya, seorang anak lelaki penghuni rumah yatim piatu milik pemerintah melarikan diri ke sebuah rumah sakit. Ia sudah tak tahan mengalami 'perkosaan' berkali-kali di rumah yatim piatu itu. Suatu penyelidikan ke rumah sakit jiwa khusus untuk kaum wanita menunjukkan gejala lebih serius. Penghuni di situ sangat kotor. Mereka ditempatkan dalam sel bawah tanah yang tak tembus udara. Beberapa di antaranya bahkan menjadi gila benar-benar. Di India, umumnya para keluarga masih berusaha melindungi anggotanya yang mendapat cacat atau aib--seperti beberapa kasus pemasungan di sini, misalnya. Kebiasaan itu di India bahkan masih kukuh, sekalipun pada keluarga yang terhitung sangat miskin. Tapi begitu ikatan keluarga berantakan, tidak banyak lagi pilihan yang bisa diambil. Memang ada badan sosial yang dikelola kelompok-kelompok keagamaan. Umpamanya Arya Samaj, serikat Hindu reformis yang mengurus rumah yatim piatu yang menampung Kamla. Tapi jumlahnya sangat sedikit. Beberapa kuil menjanjikan perlindungan dan makanan a la kadarnya untuk fakir miskin. Tapi terbatas selama beberapa waktu. Maka mereka yang sudah tak lagi tahan dirundung malang tak segan-segan mengikatkan dirinya kepada perhambaan, atau dijadikan barang dagangan. Dalam hal Kamla, para penemunya dari Express toh tidak bisa berbuat banyak. Paling-paling sekedar mencarikan calon suami baginya. Jalan ke arah itu memang mulai dirintis. Antara lain mengumpulkan dana, yang kini sudah berjumlah sekitar Rp 500 ribu. Tapi keputusan terakhir berada di tangan pengadilan. Juga di tangan para lelaki: adakah yang sungguh-sungguh mau mengawini perempuan macam Kamla itu--dan bukan karena hanya tergiur oleh dana yang terkumpul itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus