KEMARIN saya membeli seorang perempuan ceking berperawakan
pendek di sebuah desa dekat Shivpuri, Madya Pradesh," tulis
reporter Ashwini Sarin mengawali serialnya. "Harganya 2300 rupee
(sekitar Rp 200 ribu)."
Cerita yang disiarkan di koran The Indin Express--koran India
dengan oplah paling besar -- itu, tentu saja mengejutkan.
Terutama untuk para pembaca dari dunia beradab. Bahkan Ashwini
Sarin sendiri tidak habis pikir. "Sulit dipercaya," katanya,
"bahwa saya (empat bulan lalu - Red) telah membeli seorang
wanita setengah umur dengan separuh harga seekor sapi di
Punjab."
Kini, wanita yang bernama Kamla itu dititipkan di sebuah rumah
yatim piatu di Old Delhi. Ia tampak tak kerasan. Bukan saja
lantaran ia harus patuh pada tata tertib asrama itu. Melainkan
juga terhadap cara pekerja-pekerja yang bertugas di sana dalam
memberikan pengarahan.
Di pihak lain, pimpinan rumah yatim piatu itu sendiri tidak
begitu bersenang hati menampung Kamla. "Ia sulit diatur," kata
mereka. Tampaknya mereka ingin perempuan itu segera angkat kaki
dari sana. Tapi ke mana? Sampai sekarang para penemu Kamla belum
berhasil mencarikan tempat penampungan yang cocok. Mereka sudah
menyurati Mahkamah Agung. Memohon perhatian pemerintah terhadap
'usaha' jual beli manusia yang rupanya kian meluas. Dan menuntut
lingkungan yang ideal untuk merehabilitasikan orang-orang
senasib Kamla.
Namun pihak pengadilan nampak tenang-tenang saja. Sementara
mengusut kasus ini, mereka memerintahkan perempuan itu tetap
tinggal di rumah yatim piatu tadi. Dalam pada itu,
petugas-petugas pemerintah di Shivpuri malah mau menuntut sang
reporter yang telah membukakan kebiadaban itu.
"Kamla sendiri seperti orang bingung menonton semua ribut-ribut
ini," tulis wartawan New Yo,rk Times Michael T. Kaufman dari New
Delhi. Menurut hemat perempuan itu, orang yang telah membeli
dialah yang berkewajiban mencukupi sandang pangannya.
Ia ingin meninggalkan rumah yatim piatu itu, tempat ia dilarang
mengisap bidis, rokok lintingan sendiri yang amat digemarinya.
Ia ingin mengabdi orang yang telah membelinya. Ia juga
bangga, bahwa ia telah dibeli dengan harga yang "cukup tinggi".
"Setiap kali saya mengunjunginya, ia menyatakan ingin mengikuti
saya," kata Coomy Kapoor, editor kepala Express, Nona Kapoor
pernah bekerja pada Departemen Kesehatan Mental Massachusetts,
ketika menuntut ilmu di Amerika.
Ia merasa sedih melihat kenyataan, bahwa di India belum terdapat
institusi untuk para wanita serupa Kamla. "Saya merasa berdosa
dalam hal ini," ujarnya. "Bagi kita, dia (Kamla) adalah simbol
kesewenang-wenangan yang mengerikan. Mungkin satu-satunya jalan
keluar adalah mengawinkannya. " He?
Sementara tuduh-menuduh dan argumentasi dilempar ke sana ke
mari, Kamla menunggu keputusan nasib di rumah yatim piatu itu.
Ia tinggal di sana segera setelah tiba di stasiun kereta api
Delhi, berdasarkan 'pesanan' Ashwini Sarin. Dan begitu ia
mendekam di sana, direktur rumah yatim piatu itu, V.L. Sharma,
melarang siapa saja yang hendak mewawancarai atau memotret cewek
itu. Alasannya, Kamla masih dalam pengawasan pengadilan.
Apalagi karena ketika itu sekujur tubuh Kamla biru legam penuh
bekas pukulan. Ia tampak kurang makan, rapuh dan pemalu. Menurut
direktur rumah yatim piatu itu, "ia suka bertindak irrasional,
mencarut-carut,dan memekik-mekik minta dikeluarkan dari sini."
Pengadilan lantas menunjuk seorang psikiater untuk memeriksanya.
Tapi ternyata perempuan yang ber-tatoo biru pada pergelangan
tangannya--sesuai kebiasaan umum para wanita di karnpungnya--itu
cukup waras. Hanya kadang-kadang saja ia bertindak tidak
senonoh. Mungkin terdorong oleh kegelapan masa lalunya.
Nona Coomy Kapoor memang berusaha melacak latar-belakang
kehidupan Kamla. Tapi perempuan itu selalu mengelak bila
percakapan sampai pada lingkungan keluarganya. Tak jarang pula
ia berbohong.
Misalnya dengan menceritakan kepada Nona Kapoor, bahwa ia dijual
oleh ipar lelakinya--segera setelah suaminya meninggal. Padahal,
menurut penyelidikan Kapoor, keras dugaan wanita itu dijual
suaminya sendiri.
Sampai Kaufman menuliskan laporannya, Agustus kemarin, belum
seorang pun tahu usia dan namanya yang sebenarnya. Tidak ada
pula yang mengaku sebagai sanak-saudara atau teman sekampungnya.
Ashwini Sarin sendiri membutuhkan waktu sembilan bulan sampai
berhasil membeli Kamla. Ia melakukan perjalanan ke pelbagai
pelosok. Berlagak sebagai seorang dokter dengan keluarga besar,
yang sedang mencarikan calon istri bagi mandor perusahaan
pertaniannya. Setelah berhasil memperoleh kepercayaan para
'penyalur tenaga kerja', Sarin 'menutup transaksi' dalam sebuah
pertemuan di sebuah jalan yang berseberangan dengan pos polisi
di Morena.
Dalam pemeriksaan atas dirinya, Ashwini Sarin mengatakan ia
memang mengamati perdagangan wanita yang tampaknya belakangan
ini semakin berkembang. Sebagian, 'barang dagangan' itu
dijadikan hamba sahaya. Sisanya dilemparkan ke rumah-rumah
bordil.
Harga yang ditetapkan juga terus berkembang. Yang tertinggi bisa
mencapai sekitar 21 ribu rupee (sekitar Rp 1,75 juta). Dengan
harga itu, seseorang boleh mengharapkan gadis berusia 15 tahun.
Setelah berusaha penuh kesabaran, akhirnya Nona Kapoor berhasil
juga mengorek keterangan dari Kamla tentang pengalaman hidupnya
sebagai barang dagangan, meskipun serba sedikit.
Kadang-kadang, tutur Kamla kepada Nona Kapoor, ia jatuh ke
tangan seorang lelaki yang memperlakukannya dengan baik, dan
imbalan yang diterimanya lebih dari cukup. Tapi lain kali ia
dioperkan kepada orang lain yang suka main jotos dan
membiarkannya gemetar kelaparan. Sampai demikian jauh, Nona
Kapoor tidak melihat tendensi seksual dalam kasus Kamla.
Perempuan itu hanya diperlakukan sebagai pelayan. Dan bahkan,
"Dia sangat bangga akan harganya yang tinggi," ujar reporter
itu. "Dan menganggap dirinya sebagai bagian kekayaan kita."
Sehari setelah Express menyiarkan tulisan pertama Ashwini Sarin
itu, dinas kepolisian India blingsatan. Di kota tempat jual beli
itu berlangsung, para petugas menyusun rencana--bukan untuk
mengusut perdagangan itu, melainkan untuk--memperkarakan
Ashwini. Di Delhi, mereka mendatangi rumah yatim piatu itu dan
membawa Kamla. Katanya "demi perlindungan, sebab orang ini bakal
dibutuhkan sebagai saksi."
Tapi Express tidak tinggal diam. Mereka mendatangi Mahkamah
Agung, yang kemudian memerintahkan polisi mengembalikan Kamla ke
rumah yatim piatu tersebut. Setidak-tidaknya, selama pengadilan
belum mengambil kata putus. Rumah yatim piatu itu sendiri
sebetulnya tidak menyediakan fasilitas untuk orang dewasa.
Peristiwa seperti itu sesungguhnya merupakan 'lagu lama' yang
Qmpai kini belum juga berjawab. Beberapa minggu yang lalu,
misalnya, seorang anak lelaki penghuni rumah yatim piatu milik
pemerintah melarikan diri ke sebuah rumah sakit. Ia sudah tak
tahan mengalami 'perkosaan' berkali-kali di rumah yatim piatu
itu.
Suatu penyelidikan ke rumah sakit jiwa khusus untuk kaum wanita
menunjukkan gejala lebih serius. Penghuni di situ sangat kotor.
Mereka ditempatkan dalam sel bawah tanah yang tak tembus udara.
Beberapa di antaranya bahkan menjadi gila benar-benar.
Di India, umumnya para keluarga masih berusaha melindungi
anggotanya yang mendapat cacat atau aib--seperti beberapa kasus
pemasungan di sini, misalnya. Kebiasaan itu di India bahkan
masih kukuh, sekalipun pada keluarga yang terhitung sangat
miskin. Tapi begitu ikatan keluarga berantakan, tidak banyak
lagi pilihan yang bisa diambil.
Memang ada badan sosial yang dikelola kelompok-kelompok
keagamaan. Umpamanya Arya Samaj, serikat Hindu reformis yang
mengurus rumah yatim piatu yang menampung Kamla. Tapi jumlahnya
sangat sedikit.
Beberapa kuil menjanjikan perlindungan dan makanan a la kadarnya
untuk fakir miskin. Tapi terbatas selama beberapa waktu. Maka
mereka yang sudah tak lagi tahan dirundung malang tak
segan-segan mengikatkan dirinya kepada perhambaan, atau
dijadikan barang dagangan.
Dalam hal Kamla, para penemunya dari Express toh tidak bisa
berbuat banyak. Paling-paling sekedar mencarikan calon suami
baginya. Jalan ke arah itu memang mulai dirintis. Antara lain
mengumpulkan dana, yang kini sudah berjumlah sekitar Rp 500
ribu. Tapi keputusan terakhir berada di tangan pengadilan. Juga
di tangan para lelaki: adakah yang sungguh-sungguh mau mengawini
perempuan macam Kamla itu--dan bukan karena hanya tergiur oleh
dana yang terkumpul itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini