TRADITIONAL AUTHORITY, ISLAM, AND REBELLION: A STUDY OF
INDONESIAN POLITICAL BEHAVIOR
Karl D. Jacksn, Berkeley: Uniwrsity of California Press, 1980,
XXIV ñ 375 halaman
BUKU ini laik menjadi sebuah referensi yang memancing dan
memberi banyak ide bagi setiap sosiolog. Ia mempertanyakan
kembali uraian terdahulu tentang perilaku politik masyarakat
pedesaan, dan membahasnya dari berbagai aspek metodologi
kuantitatif.
Sayang, karena pembuktian yang lemah dan rendahnya reliabilitas,
kesimpulan karangan ini masih bersifat spekulatif. Meskipun,
dengan demikian, penerapan tipe metodologi kuantitatif seperti
ini pada riset sosial telah dibuka kemungkinannya.
Tahun 1969 Dr. Jackson melakukan studi sejarah partisipasi
masyarakat desa dalam pemberontakan DI di Jawa Barat. Juga, ia
melakukan surveiterhadap masyarakat pedesaan Sunda. Ia ingin
membuktikan, bahwa hubungan otorius tradisionallah yang
merupakan kunci untuk memahami perilaku politik masyarakat
pedesaan Indonesia. Bukannya ideologi, aliran, penyorotan
melalui media, sosialisasi ke dalam simbolimbol nasional,
kekurangan ekonomi ataupun keterasingan fisik masyarakat
pedesaan tersebut.
Piramida Kepemimpinan
Dalam bab pendahuluan, secara meyakinkan Dr. Jackson memadukan
sumber-sumber sejarah utama dan pelengkap. Bab ini diikuti
sebuah apendiks terjemahan dokumen, termasuk buram konstitusi
Negara Islam Indonesia. Babbab terakhir lebih banyak membahas
masalah yang teoritis.
Konsep utama hubungan otoritas trs disional dijabarkannya dengan
membedakannya dari hubungan patron-klien yang sekedar bersifat
material, oportunis atau yang sementara saja. Jackson
menyimpulkan, bahwa hubungan otoritas tradisional dan paksaan
fisik merupakan cara-cara yang paling efektif untuk mencapai
integrasi politik di kalangan masyarakat Sunda. Dan kesimpulan
ini menjadi landasan tipologi integrasi politik yang mendua
(tradisional dan modern).
Menurut Jackson, mekanisasi integrasi politik setiap masyarakat
akan berbeda menurut konteks yang diciptakan oleh: (1) proses
modernisasi dan, (2) sifat organisasi yang dipilih oleh kelompok
elite dan kontraelite masyarakat tersebut.
Dosen Ilmu Politik di Universitas Kalifornia Berkeley ini
menyimpulkan sifat-sifat umum ikatan otoritas tradisional
berdasarkan sebagian jawaban responden, yang mengaku memandang
diri mereka dalam dua kedudukan sekaligus. Sebagai pembimbing
pelindung (Bapak, Sesepuh) dan anak buah. Responden mengaku
mengadakan konsultasi mingguan. Dan ternyata, sebagian dari
ikatan otoritas tradisional ini ada yang telah berlangsung lebih
dari 25 tahun.
Kalau jumlah 'anak buah' digabungkan dengan reputasi kedudukan
responden dalam kegiatan desa, akan terlihat betapa runcingnya
piramida kepemimpinan di ketiga desa utama tersebut. Tapi
kesimpulan ini agaknya bisa dianggap meragukan. Ternyata 84%
responden adalah anggota kelompok elite desa. Dan kebanyakan
responden mengaku mempunyai beberapa pembimbing bukan satu figur
yang berkuasa penuh.
Meskipun demikian Dr. Jackson menyanggah bahwa gejala ini
merupakan sumber pluralisme. Sebab kalau ia mengakui hal itu,
berarti ia mengakui implikasi pilihan si anak buah problematik
sifatnya.
Ikatan otoritas tradisional dianggapnya berkembang dari hubungan
bapakanak buah karena adanya perasaan berutang budi dan perasaan
segan. Ia menyimpulkan bahwa di sini ada potensi untuk
mobilisasi paramiliter. Ia berpendapat begitu, karena para
responden yakin bisa meminta bantuan anak buah mereka pada
saat-saat gawat.
Demi Agama
Hubungan antara pemberontakan dan otoritas tradisional "sangat
jelas tercermin" dari reaksi para responden terhadap sebuah
persoalan fiktif yang disodorkannya. Persoalan itu tentang
"keributan dalam lingkungan". Sebanyak 42% responden yang
menyatakan wajib dengan serta merta membantu bekas komandannya.
Juga mereka siap menyokong para komandannya secara finansial.
Meskipun ada kesamaan struktural pada tiga desa tersebut, Dr.
Jackson menemukan, di desa-desa bekas Dl sentralisasi usulan
responden tentang berbagai masalah ekstra di desanya, lebih
besar. Responden menunjukkan dukungan yang lebih kuat terhadap
negara Islam. Dan di antara pemimpin tertinggi desa ada
kesediaan yang lebih, untuk membunuh demi agama.
Sebetulnya pimpinan tertinggi dari desa yang propemerintah dan
desa bekas Dl mempunyai latar-belakang sosial, pengetahuan
politik serta keyakinan agama yang sama. Perbedaan antara dua
desa tersebut, menurut Jackson, disebabkan struktur otoritas
tradisional yang mengaitkan para pimpinan dengan gerakan politik
di luar desa (jadi bukan antardesa).
Tapi argumentasi ini diperlemah oleh penemuan Jackson mengenai
perbedaan sikap mereka terhadap negara Islam, kesediaan membunuh
untuk agama, umur dan jabatan.
Pada akhir buku Jackson membuat sketsa sejarah tiap desa.
Semuanya sepanjang 12 halaman, untuk menunjukkan bahwa otoritas
tradisional benarbenar "membentuk karakter dan isi dari
integrasi nasional serta partisipasi politik".
Reliabilitas penemuan Dr. Jackson ini saya anggap meragukan.
Pertama, bukti-buktinya lemah, bersifat tak langsung dan
seringkali bertolak belakang.
Selain itu ada masalah-masalah yang mendasar pada metodologi dan
disain risetnya. Kesulitan yang umum dalamriset, diperumit lagi
oleh pekanya responden terhadap gagasan pemberontakan dan
fanatisme agama, ketika diwawancara. Lagipula riset lapangan
dilakukan 7 tahun setelah pemberontakan Dl berakhir, dan
bahan-bahan untuk penelitian boleh dibilang sangat kurang.
Prosedur yang digunakan untuk menyeleksi tiga desa tempat
dipilihnya sampel-sampel utama, menyebabkan pengurangan variasi
yang besar. Ini menjadikan hipotesa Jackson berat sebelah. Lagi
pula hanya 8% (200 orang penduduk) dari jumlah total lapisan
penduduk, yang dimasukkan bagi penarikan contoh. Itu pun
sebagian besar terdiri dari sampel golongan elite (79 sampai
84%). Hal ini menunjukkan kurang telitinya stratifikasi terhadap
sampel kecil.
Bukan Titik Utama
Bagaimanapun buku ini menunjukkan kemampuan tajam Dr. Jackson
dalam menampilkan isu yang relevan secara teoritis. Sesudah itu
baru ia menyusun data empiris untuk menjawab isu tersebut. Ia
mulai dengan teori perilaku politik. Lalu, memakai sebuah
peristiwa historis, yaitu pemberontakan Dl, sebagai laboratorium
untuk mengetes teori tersebut.
Biasanya ahli-ahli ilmu sosial berangkat dengan cara berlawanan.
Mereka menghabiskan waktu mengumpulkan dan memanipulasi data
secara statistik. Dari itu mereka mengharap isu teoritis, secara
lambat atau malah otomatis, akan muncul.
Sebaliknya, Dr. Jackson sudah siap dengan teori-teori bandingan.
Ia kemudian, meskipun kurang meyakinkan, memilih teori yang
paling tepat untuk menjelaskan variasi terbanyak dari data-data.
Salah satu idenya yang bagus adalah anggapan, bahwa seorang
responden bukanlah satu-satunya unit yang bisa diandalkan untuk
analisa. Di kebanyakan masyarakat rural, individu bukan titik
utama untuk pengambilan keputusan.
Buku ini juga menyadarkan kita, bagaimana -- dengan berbagai
cara--sebuah lingkungan atau komuniti dapat mempengaruhi tingkah
laku individu. Sayangnya, pelaksanaan teorinya meleset karena
analisa masing-masing desa dan penduduknya dilakukan secara
terpisah. Mestinya, disebutkan juga ciri-ciri desa tiap
responden, baru analisa dilakukan terhadap seluruh responden.
Sekaligus.
Dwight Y. King
Dwight Y. King pernah tinggal di Indonesia (1972-1975) dalam
rangka riset disertasi. Ia merangkap menjadi konsultan Biro
Pusat Statistik di bidang indikator sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini