Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menekan Kekerasan Seksual di Kampus

Perguruan tinggi merespons peraturan Menteri Pendidikan soal kekerasan seksual dengan membuat aturan dan unit penanganan kasus pelecehan. Ada pelaku yang sudah dikenai sanksi.

22 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi diam menuntut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menindak lanjuti pelaku kekerasan seksual di kampus di kantor Kementerian Mendikbud, Jakarta, 10 Februari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Berbagai perguruan tinggi bergerak cepat merespons peraturan Menteri Pendidikan soal penghapusan kekerasan seksual.

  • Universitas melansir peraturan rektor dan membentuk unit perlindungan korban.

  • UGM telah memiliki aturan soal kekerasan seksual setelah kasus Agni pada 2017.

JAKARTA – Sejumlah perguruan tinggi berupaya menekan angka kasus pelecehan seksual di lingkungannya dan menciptakan ruang aman bagi para mahasiswa serta warga kampus. Universitas Brawijaya di Malang, misalnya, membentuk Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) di tiap fakultas dan berlandaskan surat keputusan masing-masing dekan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembentukan unit ini untuk menyokong penegakan Peraturan Rektor Nomor 70 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan. “Agar ada landasan hukum dalam bekerja, maka digagaslah peraturan rektor tersebut,” kata Abdul Hakim, Wakil Rektor Universitas Brawijaya Bidang Kemahasiswaan, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, draf ketentuan itu disusun oleh tim yang melibatkan mahasiswa dan dosen yang memahami substansi persoalan kekerasan seksual. Lalu, dibahas bersama para wakil dekan bidang kemahasiswaan dan diselaraskan oleh bagian hukum dan tata laksana tingkat universitas.

Peraturan Rektor Universitas Brawijaya hadir sebelum Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim melansir Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. “Peraturan menteri tersebut menguatkan landasan hukum penanganan kasus kekerasan seksual dan perundungan,” ujar Abdul Hakim.

Peraturan Menteri Pendidikan tentang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi menjadi perbincangan dan memantik pro-kontra sejak awal bulan ini. Sejumlah pihak mendukung, tapi ada juga pihak yang meminta aturan ini direvisi, bahkan dihapuskan.

Sejumlah rektor perguruan tinggi telah mengeluarkan aturan tentang pencegahan kekerasan seksual di lingkungan akademis, sebelum terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Senada dengan di Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, juga membentuk Unit Layanan Terpadu (ULT) yang menerima dan mendokumentasikan laporan dugaan kekerasan seksual.

Rektor UGM, Panut Mulyono. ugm.ac.id

Kehadiran unit layanan itu sebagai turunan dari Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Jika terdapat laporan kasus, unit layanan akan membentuk tim untuk mendampingi korban dan menindak pelaku dalam sistem yang di bawah koordinasi sekretaris rektor. “Tugas tim, dari pemeriksaan, investigasi, hingga menjatuhkan sanksi berdasarkan SK rektor,” kata Rektor UGM, Panut Mulyono.

Guru besar ilmu energi itu mengatakan kelahiran aturan itu tak lepas dari beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang telah terjadi di perguruan tinggi tertua Indonesia tersebut. Sejumlah kasus kekerasan seksual di UGM sempat menjadi perbincangan, seperti kasus Agni, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, empat tahun silam. Panut menyatakan aturan internal tersebut berjalan secara efektif.

Korban ataupun penyintas bisa melapor melalui pengurus fakultas, yang kemudian meneruskan ke tingkat universitas. Pengaduan juga bisa langsung ke level universitas. Setelah tim penanganan dibentuk, universitas menangani korban dan terduga pelaku. Korban akan mendapat pelayanan awal, lanjutan, hingga pemulihan.

Petugas mencatat jenis pelecehan seksual, kronologi kejadian, dokumentasi, konseling, perlindungan identitas korban, termasuk penyediaan rumah aman bagi korban yang merasa terancam. UGM juga memberikan sanksi terhadap pelaku.

Apabila tidak bisa menerima sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku, korban bisa melapor ke polisi. Dalam proses hukum tersebut, UGM memberikan pendampingan terhadap pelaku dengan alasan menjunjung asas praduga tak bersalah. “Orang jadi mikir kalau mau main-main. Bisa menimbulkan efek jera,” kata Panut.

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa juga mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Sebagai penerapan peraturan Menteri Pendidikan, pengelola membuat edaran tentang jam malam. "Karena kami butuh sistem yang mengarahkan perwujudan kampus sehat dan nyaman,” kata Rektor Fatah Sulaiman kepada Tempo.

Meski sudah mengeluarkan aturan ini, masih ada kasus dugaan kekerasan seksual mencuat di perguruan tinggi di Serang, Banten, itu. Kasus ini muncul pada Oktober lalu dengan terduga pelaku Presiden Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. “Secara teknis, dilakukan pembinaan oleh bidang kemahasiswaan. Secara penegakan regulasi, (terduga pelaku) sudah diberhentikan sebagai Presma,” kata Fatah. "Kami sudah tegas."

DIKO OKTARA | PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus